ZONAUTARA.com – Dunia semakin modern, pergaulan semakin global. Batas-batas budaya semakin cair. Kehidupan modernitas bahkan merangsek hingga ke pelosok-pelosok desa. Kondisi ini salah satunya dipicu oleh semakin mudahnya orang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan semakin masifnya penetrasi teknologi informasi.
Budaya luar dengan mudah masuk ke satu komunitas masyarakat, menawarkan ragam kebiasaan baru termasuk dalam hal bahasa dan dialek atau logat, aksen. Tak heran banyak anak muda di kampung yang ingin terlihat seperti anak kota, lalu meniru gaya bahasa dari budaya lain. Tak jarang banyak malah banyak yang malu dengan dialek daerah sendiri.
Tapi tidak bagi Miranty Manangin, perempuan kelahiran 1994 asal Kotamobagu ini. Mira -panggilan akrabnya- terus berusaha mempertahankan tutur bahasa dan dialek kedaerahannya, dimanapun dia berada, tak peduli itu di forum resmi sekalipun.
Ditemui Tentangpuan.com, media sindikasi Zonautara.com, Mira menegaskan, sikapnya itu sebagai upaya menjaga identitas dan pelestarian nilai budaya daerah. Mira mengakui, globalisasi di era digital saat ini meniadakan batasan waktu dan lokasi, sehingga saling silang budaya adalah sesuatu yang lumrah, dan menciptakan homogenisasi.
Bagi Mira yang masih tercatat sebagai mahasiswi Fakultas Kehutanan, Universitas Dumoga Kotamobagu ini, kondisi tersebut adalah sebuah tantangan, untuk konsisten menghadirkan ciri identitas orang Mongondow.
Berkembang di lingkungan yang sarat tradisi
Mira lahir dan berkembang dari kedua orangtua yang bersuku Mongondow, membuat dia terbiasa melihat cara bertutur dan laku orang-orang Mongondow. Mobobahasan dan Mo’oaheran telah menjadi dasar laku yang terus diingatnya. Sifat berani yang tergambar dari intonasi tinggi saat berbicara khas Mongondow Atas, bukanlah hal baru bagi Mira.
“Banyak orang yang salah paham, mengira saya sedang marah. Padahal sebenarnya tidak. Hanya karena terbiasa saja dengan dialek seperti itu sejak kecil, sehingga terbawa dan memang sengaja saya bawa sebagai unjuk identitas,” kata Mira kepada Tentangpuan.com, Senin, (19/04/2020).
Di samping itu, Mira menuturkan bahwa karakter yang kuat akan terbangun ketika sebagai perempuan dan anak muda memiliki sikap menghargai budaya sendiri.
“Mental kita akan teruji. Sebab, bagaimana kita bisa menghargai budaya dan tradisi orang lain, jika budaya sendiri kita awam dan cenderung malu mengakui,” ujar Mira.
Kerap dibully
Teguh membawa ciri identitas orang Mongondow, tak lantas membuat Mira luput dari berbagai tantangan. Perempuan yang menjadi Ketua Pemuda di desanya Bilalang 1, dan Menjadi Ketua Kohati, HMI Cabang Bolaang Mongondow ini, kerap dibully.
Banyak orang yang terang-terangan memandang Mira sebagai anak muda kuno, beberapa bahkan dianggap telah sarkas. Tetapi Mira menganggap itu karena mereka tak paham saja.
“Yang paling melekat dalam benak saya adalah lanit bangkung, itu yang paling menyakitkan. Bahkan saat SMA saya sempat sangat malu. Tapi, semakin ke sini, saya semakin menyadari bahwa saya tidak bisa memaksa semua orang untuk paham, dan suka sama saya. Saya menerimanya sebagai semangat baru untuk lebih kuat lagi dalam mempertahankan ciri identitas daerah ini,” tutur Mira.
Apa yang dilakukan Mira mendapat perhatian Erwin Makalunsenge, jurnalis yang meminati isu-isu budata Mongondow. Erwin mengaku bangga dengan konsistensi Mira mempertahankan dialek kedaerahannya di tengah degradasi budaya yang semakin laju.
“Salut dan bangga dengan prestasinya. Fakta bahwa generasi muda Bolmong sudah semakin jarang yang suka menggunakan bahasa dan dialek daerah tidak bisa dipungkiri. Sehingga apa yang dilakukan Mira patut ditiru,” kata Erwin.
Menurut Erwin, jika degradasi nilai budaya hanya dipandang sebelah mata, maka tidak mustahil budaya dan tradisi suatu daerah perlahan akan punah.
Erwin merasa prihatin dengan bully yang kerap dilontarkan kepada Mira, dan kepada orang-orang yang masih konsisten mempertahankan dialek bahasa daerah mereka.
“Banyak contoh yang bisa kita lihat, suku Jawa, Gorontalo, dan yang lain, di mana pun pasti akan bangga berbahasa daerah, atau sekedar mempertahankan dialek mereka. Kenapa kita cenderung malu dan merasa kuno kalau menggunakan bahasa yang diwariskan nenek moyang kita,” ungkap Erwin.
Hingga ke Munas Kohati HMI
Karakter Mira sebagai orang Mongondow yang selalu menyukai hal baru, mengutamakan tegur sapa dan saling menghargai (bobahasaan dan mo’oaheran), membuat Mira bisa berbaur dan membangun silahturahami dengan perwakilan peserta di Musyawarah Nasional (Munas) Kohati Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari berbagai wilayah Indonesia Timur.
“Terkadang saat berbahasa Indonesia pun, intonasi dialek Mongondow saya masih sering terbawa. Bahasanya bahasa Indonesia, tapi intonasinya versi dialek Mongondow. Jadi mungkin itu yang membuat banyak orang mudah mengingat saya. Entah kanapa, saya sendiri kaget, diusulkan untuk jadi presidium sidang saat itu,” aku Mira.
Menurut Mira, selain beberapa bakat penguasaan panggung yang dimilikinya, konsistensi mempertahankan identitaslah yang sebenarnya mengantar kiprah Mira hingga ke tingkat nasional.
“Kan kalau sudah terbiasa dengan mobobahasaan dan mo’oaheran, pasti kita akan cenderung luwes dalam bergaul. Akan muda berbaur dan menghargai agama, budaya, ras dan perbedaan orang lain,” kata Mira.
Mira berharap, apa yang dilakukannya selama ini, dapat dipandang sebagai sebuah hal yang positif.
“Semoga apa yang saya lakukan bisa membawa kebaikan. Terkadang suara sumbang masih saya dengar. Soal ketidakcakapan saya dalam berbahasa Indonesia. Atau intonasi dialek yang tetap saya bawa ketika berbahasa Indonesia. Dan yang membuat saya sedih, suara-suara sumbang ini muncul dari sesama anak daerah. Padahal, penting bagi kaum muda memiliki intelektualitas sembari mempertahankan identitas aslinya,” pungkas Mira.