Seorang pria berjongkok sambil memegang alat penyembur api yang menyala dan menghadapkannya di sebuah tungku kecil. Di samping dan belakang pria ini, ada empat pria yang tampak menunggu. Satu jam berlalu, apa yang mereka tunggu-tunggu akhirnya keluar juga. Emas. Ukurannya kecil, hanya sebesar koin logam Rp500. Seketika emas itu ditimbang menggunakan timbangan digital. Beranta 47,99 gram. Wajah sekelompok pria ini tampak lega.
Rupanya hasil olahan emas itu sesuai dengan yang mereka harapkan. Tak kurang, hanya lebih sedikit. Jika dikalikan harga jual Rp 770 ribu per gram, hasilnya Rp 36.952.300. Setiap kali mengolah material emas yang mereka tambang, selalu ada rasa harap-harap cemas. Karena hasil olahan tak bisa dipastikan. Bisa banyak, tapi juga bisa sangat sedikit, tergantung rezeki.
Baru saja 47,99 gram itu selesai ditimbang, beberapa orang lainnya sudah mulai kembali mengolah kembali material berikutnya. Rumah warga bernama Atid Paputungan, di Desa Buyat, Kecamatan Kotabunan, Bolaang Mongondow Timur itu tak pernah sepi sejak beberapa bulan belakangan. Rumahnya menjadi tempat pengolahan material emas hasil pertambangan tradisional. Meski sudah berbeda kabupaten, Buyat masih berada di kawasan lingkar tambang Ratatotok, Minahasa Tenggara.
Selain bak perendaman dan peralatan untuk mengolah material emas, rumah Atid juga dipenuhi material hasil tambangnya dan 30 orang yang ia pekerjakan. Atid adalah seorang pemilik lubang tambang yang menghasilkan emas lumayan banyak. Lubangnya berlokasi di Nibong, Ratatotok. Lokasi yang belakangan banyak diserbu penambang rakyat.
Atid menegaskan, meski tak berizin lubang tambang miliknya berada di luar kawasan Kebun Raya Megawati. Atid Paputungan tergolong pendatang baru di dunia pertambangan rakyat, baru sekitar tiga hingga empat bulan dirinya memberanikan diri untuk terjun di bisnis tambang rakyat.
Tak mudah jalan yang Atid lewati untuk bisa mendapat untung menambang. Ia berkali-kali rugi karena lubang yang tak ada hasil. Padahal biaya operasional untuk menambang ini tak sedikit. Modal yang dibutuhkan menyentuh angka ratusan juta rupiah. Namun Atid sadar betul, ketika ia berani melepas modal tersebut, ia sudah harus siap dengan segala konsekuensinya. Bak di meja judi, lenyap, atau uang itu kembali berlipat-lipat.
Di dua bulan pertama ia menggeluti bisnis ini, lubang tambang yang ia beli tak ada hasil sama sekali. Atid tak pantang menyerah. Ia terus berdoa dan berusaha, dengan harapan rezeki akan berbalik pada dirinya. Pada bulan ketiga, tanda-tanda emas mulai bermunculan. Mulai dari standar di bawah satu gram untuk satu koli, sebutan untuk satu karung, hingga saat ini sudah nyaris menyentuh standar dua gram per koli. Dari yang hanya empat sampai lima orang pekerja, kini sudah ada 30 orang pekerja.
“Intinya berusaha, berdoa dan tetap sabar. Karena hasil tambang ini tergantung rezeki,” katanya saat berbincang di rumahnya, awal Maret 2021.
Atid sangat bersyukur, hasil tambang rakyat ini sangat membantu perekonomian keluarganya. Lebih dari itu, Atid juga bersyukur sudah bisa memberi rezeki bagi orang lain. Bahkan dengan penghasilan yang terbilang fantastis. Para pekerjanya bahkan bisa meraup Rp 10 juta dalam sekali mengolah material. Atid memprioritaskan keluarga dan kerabat dekat untuk bekerja bersamanya.
“Alhamdullilah dari usaha ini saya boleh bagi-bagi rezeki untuk mereka,” katanya.
Para pekerja Atid ada yang sudah bisa beli kapling untuk bangun rumah dan membeli motor. Atid memang mewanti-wanti para pekerjanya untuk menggunakan uang hasil tambang dengan baik, jangan untuk hura-hura.
“Saya selalu ingatkan mereka, beli yang perlu dan penting, jangan hanya habis begitu saja.Karena berpikir, gampang dapat uang. Menambang lagi, bisa dapat uang lagi.Tapi bukan seperti itu,” ujarnya.
Di balik hasil tambang yang menggiurkan, Atid tahu betul risiko yang menghantui dirinya dan para penambang. Keselamatan hingga kekacauan di lubang tambang kapan saja bisa terjasi. Karena tak berizin, sistem kepemilikan lubang tambang ini menggunakan hukum rimba. Siapa kuat, dialah penguasanya. Tak bisa saling klaim, karena tak berizin dan berada di kawasan hutan milik negara. Atid mengaku, ia menghindari hal yang bisa memicu konflik dengan penambang lainnya.
“Makanya saya atur baik-baik jadwal para penambang. Pekerja saya dan mereka yang meminta bagian di lubang tambang saya,” katanya.
Sebagai seorang penambang rakyat, Atid berharap pemerintah bisa memberikan izin bagi warga, biar asap di dapur mereka bisa terus mengepul. Sebab banyak warga yang menggantungkan hidup dari hasil tambang rakyat.
“Coba kalau ada aturan, pasti bisa tertib. Bisa juga jadi pemasukan untuk negara. Semoga pemerintah memerhatikan nasib para penambang rakyat,” katanya.
Hasil tambang emas juga menopang kehidupan Andi Puasa (31). Ia sudah menambang sekitar 18 tahun lamanya, sejak masih remaja. Menjadi penambang tradisional memang tak mudah bagi Andi, namun penghasilannya yang menggiurkan membuatnya bertahan hingga kini.
Andi sudah merasakan asam garam di dunia tambang rakyat. Andi pernah menambang hingga di kedalaman 800 meter, hanya dengan peralatan manual seadanya. Dirinya bahkan nyaris tewas tertimbun saat sedang menambang di kedalaman ratusan meter. Andi mengisahkan, peristiwa sepuluh tahun lalu itu sempat membuat ia pasrah. Ia tertimbun dalam lubang tambang dari kaki hingga leher. Beruntung saat itu, temannya bisa menyelamatkan dirinya dari timbunan tanah dan bebatuan di dalam tambang.
Andi mengakui, peristiwa itu membuatnya trauma hingga kini. Ia menjadi sangat sensitif terhadap suara, apalagi suara-suara retakan seperti tanda mau longsor. Namun trauma Andi tak menghentikannya untuk menjadi penambang rakyat. Alasannya, sudah pasti karena ekonomi. Apalagi Andi memang lahir dan besar dari keluarga penambang manual.
“Saya sudah bisa beli rumah dan kendaraan, juga bisa memenuhi kebutuhan keluarga dari hasil tambang ini,” katanya. Menambang adalah satu-satunya pekerjaan Andi dan ia mengaku akan terus menambang selama fisiknya masuk menunjang.
Seperti Andi, Gunawan Lasambu (42) juga rela bertaruh nyawa menambang demi ekonomi keluarganya. Sudah sekitar 25 tahun Gunawan jadi penambang emas. Berbeda dengan Andi, Gunawan bersyukur tak pernah mengalami kecelakaan parah dalam lubang tambang. Hasil dari menambang selama puluhan tahun yang ia lakoni, bisa menunjang perekonomian keluarganya.
“Hasil tambang ini memang kalau banyak, bisa banyak sekali,” katanya.
Gunawan selalu menyiapkan fisiknya agar prima saat turun ke lubang.“Karena sangat melelahkan. Harus menghancurkan material saat di bawah, belum lagi harus menyusuri lubang yang hanya seukuran badan,” katanya.
Gunawan mengaku akan terus menambang selama fisiknya masih bisa. “Pokoknya akan terus menambang,” katanya.
Pengawasan lemah, penertiban tak beri efek jera
Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara mengklaim, sudah melakukan upaya maksimal untuk menjaga kebun raya dari penambang rakyat. Kenyataan di lapangan, masyarakat masuk keluar area tambang dengan mudah. Bahkan masuk melalui pintu utama Kebun Raya Megawati Soekarnoputri. Dalam area kebun raya, terlihat ramai aktivitas penambang rakyat.
Bupati Minahasa Tenggara, James Sumendap, sudah berkali-kali memberi pernyataan keras terkait aktivitas tambang rakyat di dalam Kebun Raya Megawati. Beberapa kali James Sumendap turun ke lokasi menggandeng TNI dan Polri untuk menertibkan lokasi tambang rakyat di kawasan terlarang tersebut. Saat ditertibkan, tenda-tenda penambang rakyat bahkan dibakar. Sumendap menyebut penertiban itu untuk memberi efek jera pada masyarakat.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Minahasa Tenggara, Muchtar Wantasen mengatakan hingga Maret 2021, sudah tujuh kali penertiban terhadap tenda penambang rakyat dilakukan. Ia mengatakan Bupati James Sumendap telah menegaskan tak boleh ada aktivitas apapun di dalam kebun raya.
“Pemkab Mitra bekerja sama dengan Polri telah memasang baliho peringatan ancaman pidana bagi penambang ilegal. Saat penertiban dilakukan, petugas telah membakar tenda-tenda penambang rakyat,” katanya.
Wantasen menampik soal pengawasan pemerintah yang dinilai lemah sehingga aktivitas tambang rakyat di dalam kawasan kebun raya masih berlangsung. Wantasen malah mempertanyakan kinerja petugas jaga di dalam kebun raya, ketika tambang rakyat masih berlangsung. Ia memang mengakui masalah tambang rakyat bukan perkara mudah. Ada sisi kemanusiaan, di mana masyarakat menggantungkan hidup dari hasil tambang tradisional. Sementara di sisi lain, aktivitas tersebut merusak lingkungan.
Di samping kesadaran masyarakat yang rendah, Wantase mengakui pengawasan di area kebun raya memang sulit karena banyak jalan tikus yang digunakan masyarakat untuk masuk. Meski pemerintah sendiri sudah mengantongi semua titik lokasi tambang rakyat di Ratatotok.
“Yang pasti segala upaya telah kami lakukan. Tak boleh ada aktivitas tambang rakyat di dalam kebun raya,” ujarnya.
Kabid Humas Polda Sulut Kombes Pol Jules Abraham Abast mengatakan pihaknya sudah melakukan penjagaan ketat. Penjagaan melibatkan pihak kepolisian maupun pemerintah daerah.
“Tapi yang namanya hutan lindung itu kan luas. Tidak mungkin kami membentuk pagar betis,” ujarnya.
Jules mengakui pihaknya sering kecolongan terhadap penambang yang masuk ke area tambang ilegal tersebut lewat ‘jalan tikus’. Sebenarnya bagi masyarakat yang melanggar bisa dikenakan sanksi secara tegas. Sanksi yang bisa dikenakan tentu berdasar undang-undang yang berlaku, yakni undang-undang lingkungan hidup, peraturan soal Amdal, undang-undang soal kehutanan, dan undang-undang di bidang pertambangan.
“Tidak ada satupun yang boleh memasuki kawasan hutan lindung tanpa izin, apalagi beraktivitas di dalamnya. Maka kami ajak semua pihak terkait termasuk Pemda dan Dinas KLHK, ayo sama-sama kita awasi,” katanya.
Bupati usulkan pendirian koperasi
Pemerintah mengatur pembentukan wilayah pertambangan rakyat (WPR) berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Sesuai beleid tersebut, WPR memilki beberapa kriteria di antaranya mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai, mempunyai cadangan primer logam atau batu bara dengan kedalaman maksimal 25 meter, dan luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 24 hektare (ha).
Peraturan Daerah Minahasa Tenggara Nomor 3 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah menetapkan daerah sekitar kebun raya sebagai area pertambangan. Bupati Minahasa Tenggara, James Sumendap memberi solusi bagi penambang rakyat dengan pendirian koperasi. Sumendap menyebut akan memberikan rekomendasi bagi masyarakat yang ingin membuat koperasi penambang rakyat di Ratatotok. Catatan Pemkab Mitra, hingga kini sudah ada tiga perusahaan pertambangan yang beraktivitas. Sementara ada empat koperasi baru mendapatkan rekomendasi Pemkab untuk memulai pertambangan di sana.
Ketua Asosiasi Penambang Rakyat (APRI) Minahasa Tenggara Valdy Suak mengatakan koperasi penambang rakyat yang dibuat Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara bisa saja menjadi solusi bagi penambang rakyat di Ratatotok. Sebab jika ada regulasi bagi penambang rakyat, kehidupan di tambang bisa teratur. Bahkan menurut Suak, hal ini bisa menyumbang PAD bagi daerah. Kehidupan di pertambangan tradisional yang seolah berlaku hukum rimba serta tak peduli dengan keselamatan, dikarenakan tak ada aturan.
“Tambang tak akan kacau kalau ada aturan. Faktor keselamatan juga tak dipedulikan karena ada rasa was-was, ditertibkan atau lubang tambang ini direbut orang lain. Tak ada beda kami dengan petani dan nelayan, yang menggantungkan hidup dari situ,” ujar Suak yang juga menjadi Ketua Aliansi Masyarakat Lingkar Tambang Ratatotok ini.
Suak menyebut pada dasarnya masyarakat mendukung ada pembangunan Kebun Raya Megawati Soekarnoputri, juga pembersihan lokasi tambang di luar kebun raya. Namun pihaknya meminta pada pemerintah untuk menyisakan lahan tambang bagi masyarakat untuk mengais rezeki.
“Sudah hampir dua tahun kami mengurus izin tapi belum terealisasi. Belum ada kepastian, meski undang-undang menyebut pemerintah harus bahkan wajib menyediakan wilayah pertambangan rakyat,” ujarnya.
TAMAT // Kembali ke Halaman Utama
Editor: Ronny A. Buol