Kebun Raya Megawati di Minahasa Tenggara, hadapi ancaman dari pertambangan rakyat

Saat ini kurang lebih ada 40 ribu penambang di kawasan Ratatotok.
Danau di bukit mesel
Area reklamasi eks PT BMR yang kini menjadi lokasi pertambangan rakyatm difoto pada Maret 2021. (Foto: Finneke Wolajan)

Kebun Raya Megawati di Minahasa Tenggara, hadapi ancaman dari pertambangan rakyat

Saat ini kurang lebih ada 40 ribu penambang di kawasan Ratatotok.

Lalu lalang kendaraan mobil dan motor terlihat di dalam kawasan Kebun Raya Megawati, Maret 2021. Ramai, bukan hanya sepuluh atau dua puluh, namun sekitar ratusan kendaraan. Umumnya berupa motor trail dan mobil jeep. Kendaraan-kendaraan ini terlihat berlumpur.

Beberapa pengendara memakai lampu senter di kepala mereka, dengan baju terlihat kotor. Mobil jeep lalu lalang mengangkut puluhan karung putih berlumpur. Di pintu masuk kebun raya, tampak beberapa orang berjaga. Ada polisi berseragam, polisi berbaju preman, maupun warga biasa. Di pintu masuk itu, keluar masuk warga yang diketahui adalah penambang rakyat.

Tepat di sebelah kiri setelah pintu masuk kebun raya, terparkir puluhan milik para penambang rakyat yang menambang di area lubang emas yang disebut Nibong. Lokasi inilah yang ramai beberapa bulan terakhir karena banyaknya kandungan emas di area ini. Tambang rakyat di lubang Nibong ini ada yang masuk kawasan kebun raya, ada pula yang lokasinya di luar kebun raya. Pertambangan rakyat ini tak mengantongi izin.

Dari parkiran motor tersebut, ada jalan tanah masuk ke hutan yang biasa dilalui warga. Tak sulit untuk menemukan lokasi pertambangan ini. Di area itu terdapat tenda-tenda yang didirikan penambang, untuk menutup mulut lubang tambang.Tenda-tenda ini sekaligus menjadi tempat melepas lelah usai menambang.

Makin ke dalam, lokasi pertambangan rakyat ini makin ramai. Bahkan mirip sebuah perkampungan warga dengan tenda yang bisa jadi mencapai ratusan jumlahnya karean ada ratusan orang juga di lokasi tersebut. Beberapa warung kecil didirikan yang menyediakan keperluan penambang dan keluarga mereka yang mendampingi. Air mineral ukuran botol 600ml dijual seharga Rp 5.000, sedikit lebih mahal dari warung di area perkampungan. Pemilik warung mengaku ia membuka lapaknya 1×24 jam, tak pernah tutup, karena tambang rakyat ini tak pernah sepi.

Siang itu, warga yang berada di tenda-tenda yang berdiri bak perumahan tampak sedang bersantai. Mereka bercengkerama, tertawa, bahkan terdengar dari pengeras suara lagu-lagu nostalgia diputar menemani suasa bersantai.

Banyak pria yang bertelanjang dada, tampaknya baru saja keluar dari lubang tambang. Tubuh mereka kecil dan kurus. Karena penambang memang harus berbadan kecil agar gesit masuk ke lubang dengan kedalaman ratusan meter yang hanya pas untuk satu orang saja. Ada pula ibu-ibu yang tampak menyiapkan makanan dan minuman. Di sisi lain ada yang sedang membangun tenda dan sementara menggali lubang yang baru saja dibuka. Banyak lubang yang sudah dibiarkan begitu saja karena tak ada hasilnya.

Di sudut lain berjejer mobil jeep yang siap mengangkut material emas yang digali para penambang. Mobil jeep bolak-balik di medan yang sulit itu, mengangkut berkarung-karung material emas. Kawasan ini menurut pengakuan warga berada di luar Kebun Raya Megawati Soekarnoputri.

“Ini di luar kebun raya, sudah ada batas-batasnya. Kalau kebun raya kami tak berani,” kata salah seorang penambang.

Di sebuah tenda, tiga orang pemuda tampak bersiap-siap masuk kembali ke lubang. Mereka memakai lampu senter di kepala, peralatan wajib jika masuk lubang. Lubang yang hanya berukuran badan satu orang itu ditopang papan penyangga di tiap sisipnya agar tak longsor.

Jika menyusuri lebih kedalam lagi, tepatnya di area kolam yang dulunya bekas penggalian PT NMR, di tepi kolam yang masuk di areal kawasan kebun raya ini terdapat banyak penambang rakyat. Tenda beragam warna berjejeran. Mereka mengitari sisi-sisi kolam, dari bawah hingga bukit curam. Akses ke lokasi itu ada yang dari puncak lalu turun ke bawah, atau akses dari tepi kolam lalu menanjak ke bukit. Jalur yang ditempuh curam dan berbahaya. Namun penambang rakyat yang ditemui, tampak sudah terbiasa dengan jalur tersebut. Sambil membawa barang, mereka tampak lihai menapaki setiap jalur. Dari yang muda hingga penambang yang sudah beruban.

Tak usah jauh-jauh ke dalam kebun raya, aktivitas penambang emas di kawasan itu sudah terlihat ramai sejak memasuki Ratatotok. Di jalanan, terlihat mobil dan motor lalu lalang mengangkut material emas. Pekarangan rumah warga pun penuh dengan karung berisi material emas.

Keramaian semakin tampak saat menuju ke lokasi Kebun Raya Megawati. Di sepanjang jalan, di sisi kiri dan kanan jalan terhampar mesin-mesin tromol yang tak henti menggiling material emas. Begitu pula dengan jejeran karung berisi material emas.

Sejak zaman penjajahan Belanda

Aktivitas tambang rakyat di Ratatotok ini sudah sejak lama digeluti masyarakat. Mereka menggantungkan perekonomian mereka dari hasil tambang di Bukit Mesel ini. Kegiatan penambangan di wilayah itu sendiri telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Jejak sejarah eksplorasi penambangan emas telah ada sejak 1900an. Setidaknya kolonial Belanda pernah memasang 60 mesin penumbuk emas di wilayah ini. Sebuah catatan menginformasikan, Belanda kala itu sempat mengangkut setidaknya 5.000 kilogram emas dari perut bumi Ratatotok.

mesin pengolah emas
Monumen mesin pengolah emas dari zaman kolonial Belanda di Ratatotok. (Foto: Ronny A. Buol)

Tak sampai di situ, bertahun-tahun setelah itu, mesin-mesin modern datang mengeksploitasi kekayaan mineral perut bumi Ratatotok. Limbahnya dibuang ke teluk Buyat, dan dianggap menjadi penyebab timbulnya penyakit minamata pada tahun 2004. Hal ini pula yang mendorong gugatan warga, yang akhirnya memaksa perusahaan penambangan emas multinasional PT Newmont Minahasa Raya angkat kaki dari sana.

Insiden kecelakaan yang menewaskan penambang kerap kali terjadi di dalam kawasan ini. Dalam catatan pemberitaan, dalam setahun terakhir saja sudah ada belasan penambang yang tewas di area pertambangan dalam kawasan kebun raya. Petugas dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara, TNI dan Polri juga sudah beberapa kali melakukan penertiban, namun aktivitas tambang rakyat di kawasan kebun raya tak juga berhenti.

Menurut catatan Asosiasi Penambang Rakyat (APRI) Minahasa Tenggara, saat ini kurang lebih ada 40 ribu penambang rakyat di Ratatotok, baik di dalam kawasan kebun raya, maupun di luar kawasan. Ketua APRI Mitra Valdy Suak mengatakan, pada akhir tahun 2020 lalu saat tambang Ratatotok diserbu warga, kurang lebih ada sekitar 15 ribu masyarakat setiap hari yang menambang. Sementara untuk jumlah lubang, tak ada catatan pasti. Valdy uak hanya mengira-ngira di angka ribuan lubang.

Penambang yang datang pada akhir 2020 itu tak hanya masyarakat lingkar tambang Ratatotok hingga Buyat, namun sudah datang dari seluruh penjuru Sulawesi Utara, bahkan hingga luar daerah.

“Bahkan ada yang dari Surabaya dan Makassar waktu itu,” kata Valdy yang juga merupakan Ketua Aliansi Masyarakat Lingkat Tambang Ratatotok ini.

Sejak dulu, masyarakat di kawasan lingkar tambang memang sudah menggantungkan hidup mereka dari hasil pertambangan tradisional. Namun jumlah pertambangan tradisional saat ini jauh lebih banyak, setelah PT NMR angkat kaki dari Ratatotok.

Saat PT NMR masih beroperasi, akses masyarakat untuk menambang sangat terbatas karena tidak sembarang masuk ke dalam area perusahaan. Meski warga di area lingkar tambang kala itu menikmati fasilitas dari perusahaan, seperti pembangunan jalan dan program bantuan lainnya, tetapi warga mengaku ekonomi mereka tidak terbantu.

“Tapi ekonomi warga tak sebagus sekarang setelah bisa menambang. Dulu banyak masyarakat yang tak bisa menikmati kekayaan di tanah sendiri,” kata Valdy.

Menurut catatan APRI Mitra, ada tujuh titik kawasan yang mengandung banyak emas di Ratatotok, diantaranya kawasan Nibong, Rotan, Ogus, Lobongan, Limpoga, Pasolo dan Alason. Sebagian besar kawasan tersebut dulunya merupakan area PT Newmont Minahasa Raya, sehingga tak bisa dijangkau pertambangan rakyat.

“Dulu juga masyarakat masih pakai merkuri, jadi emasnya tak keluar. Waktu itu belum tahu apa itu sianida. Nanti setelah tahu pemakaian sianida ini, barulah terjadi penambangan besar-besaran. Seperti yang terjadi di area Nibong sekarang ini,” kata Valdy. (Bersambung)

Baca Bagian 6 atau kembali ke Halaman Utama

Editor: Ronny A. Buol



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article