ZONAUTARA.COM – Hingga saat ini, Pemerintah belum memutuskan kepastian terkait perjuangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Jawa-Bali, padahal kabar tersebut telah mencuat di masyarakat.
Lain halnya dengan Epidemolog Universitas Indonesia Hermawan Saputra, menurutnya lebih baik PPKM Darurat tidak diperpanjang dan kembali mengacu pada UU Kekarantinaan Kesehatan Nomor 6 Tahun 2018.
“Seharusnya kita mengembalikan kepada UU itu sebagai acuan utama dan menjadi krusial ketika PPKM Darurat dinilai tidak efektif,” ucap Hermawan, Senin (19/7).
Menurutnya PPKM Darurat masih memiliki banyak celah, termasuk dalam hal menjamin kebutuhan masyarakat yang rentan secara ekonomi.
Meskipun ditunjang dengan adanya bantuan sosial, namun hal tersebut bukanlah bagian dari kebijakan PPKM Darurat secara resmi. Sehingga menurut Hermawan sangat wajar jika implementasi masih terjadi banyak ketidakjelasan.
“Ini pun banyak sekali keluhan di lapangan ini belum terealisasi padahal PPKM Darurat sudah berjalan dua pekan,” ucap dia.
Berbeda dengan UU Kekarantinaan Kesehatan, Hermawan menyebut peraturan itu lebih baik. Sebab, dalam UU tersebut dikatakan setiap warga berhak mendapatkan jaminan kebutuhan selama karantina.
“Setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina,” bunyi pasal 8 UU Kekarantinaan Kesehatan.
Hermawan menilai, itu menjadi salah satu pertimbangan kuat untuk diterapkannya UU Kekarantinaan Kesehatan. Ketimbang, memperpanjang PPKM Darurat.
“Kembali ke PSBB atau lockdown. Kalau PSBB sudah ada peraturan pemerintahnya (PP) nomor 21 tahun 2020 juga ada kewajiban juga memperkuat ekonomi lemah,” jelas Hermawan.
Selain itu, Hermawan juga menjelaskan, UU Kekarantinaan sudah melewati tahapan kajian, penelitian, policy brief dan juga sudah melewati uji publik. Sehingga, jelas secara hukum.
Secara kedudukan, UU lebih kuat karena dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden. Sehingga, implementasi kebijakan juga akan menjadi jelas.
Berbeda dengan PPKM Darurat, Hermawan menyebut kebijakan tersebut lemah secara hukum. Sebab, kebijakan itu dikeluarkan oleh menteri.
Imbasnya, implementasi sulit direalisasikan dengan baik. Hermawan menilai, kebijakan tersebut tak seketat dan sedetil UU Kekarantinaan Kesehatan
“Ya memang PPKM darurat tidak memberi ruang cukup kuat ya untuk implementasi di lapangan,” ucapnya.
“PPKM ini kan dasar hukumnya agak lemah juga ya karena Instruksi Menteri Dalam Negeri,” imbuhnya.
Terkait itu, Hermawan mengatakan pemerintah harus berani memutuskan kembali pada UU yang ada. Ia mengatakan hal itu harus dilakukan demi memutus mata rantai Covid-19.
“Kebijakan itu kan semacam obat pengendalian, yang harusnya dikembalikan pada UU Kekarantinaan wilayah. Jangan mencari obat yang justru tidak pernah dilakukan uji terhadap obat itu,” ucapnya.
Berdasarkan perspektif epidemiologi, lanjut Hermawan, karantina wilayah memang ampuh memutus mata rantai persebaran Covid-19, tapi pemerintah harus siap dengan segala konsekwensinya yakni memberikan bantuan dan dukungan kepada masyarakat kecil.