“Selamat ulang tahun, Tifani Sayang.”
Jantungku berdegup dengan cepat saat mata cokelatnya menatapku seperti itu, juga bibir yang tak henti menyunggingkan senyuman.
Tommy adalah sahabatku sejak masih sekolah menengah pertama, sahabat yang selalu ada, bahkan ketika aku sedang terpuruk. Kedua orang tuaku meninggal saat kecelakaan mobil. Aku satu-satunya yang selamat, meski harus kehilangan kaki kiri. Kecelakaan itu menyebabkan kakiku luka parah dan harus diamputasi.
Sejak kejadian satu tahun yang lalu itu, hubungan persahabatan kami berdua tak pernah berubah. Meski kami sama-sama memiliki perasaan yang sama, kami tidak berpacaran.
Hingga semalam ia mengutarakan perasaannya yang selama disimpan. Tepat jam dua belas, ia datang membawa kue dan sebuah cincin perak bermata berlian.
Kalimat indah ia lontarkan dari mulutnya, “Sahabat Cantikku, maukah kamu menikah denganku?”
Kata yang tak pernah ia ucapkan sebelumnya.
Ya Allah, apakah dia tengah melamarku?
Ya, aku tidak menyangka dia memberi kejutan dengan melamarku di hari ulang tahunku. Entah ada kekuatan dari mana hingga membuatku menganggukkan kepala di hadapannya saat itu, sebagai isyarat aku menerima lamarannya.
“Makasih ya, Tommy,” balasku sambil tersipu malu.
Aku yakin, wajahku pasti sudah bersemu merah sekarang. Lelaki yang ada di hadapanku ini hanya tersenyum padaku. Ya Allah, dia sungguh tampan bila tersenyum seperti ini.
“Iya, Fani Sayang.”
Ah, aku bisa meleleh mendengar suara merdu pria ini— bukankah selama ini ia selalu begitu? Kali ini, kenapa hatiku berdebar tidak keruan setiap kali mendengar suaranya?
“Kamu tahu, nggak? Kamu selalu terlihat cantik tiap aku melihatmu, apalagi kamu memakai blush on gitu,” goda Tommy, bibirnya mengulum senyum.
“Ish… Tommy! Udah dong ah, aku jadi malu nih,” ucapku setengah merajuk. Tanpa ditahan lagi dia tertawa lepas.
Huh, dasar cowok menyebalkan!
Sengaja aku memonyongkan bibirku supaya terlihat kesal, padahal aku sedang berusaha menutupi rasa maluku. Bisa-bisanya dia membuatku salah tingkah begini.
“Marah nih, ceritanya?” pria itu meringis, “iya, deh, aku minta maaf, ya,” ucapnya dengan wajah menyesal dibuat-buat.
Sedetik kemudian ia berkata lagi, “Aku ke sini pagi-pagi tuh mau mengajak kamu bersepeda.”
Mendengarnya, aku tersentak dan mengalihkan padangan tepat pada kedua bola matanya yang teduh, mencari jawaban.
Apa maksudnya bersepeda? Bagaimana bisa aku bersepeda dengan satu kaki? Apa ia sedang mengolok-olokku? Tapi, tak ada candaan yang kulihat di sana.
“Aku akan membawamu ke suatu tempat,” jawabnya cepat, seakan mengerti apa yang tengah kupikirkan.
Tanpa menunggu persetujuan dariku, dia membopongku keluar menuju ke halaman depan rumah.
“Tapi sebelum itu, kita jalan-jalan dulu, ya?” lanjutnya.
Perlahan dia meletakkanku di atas kursi roda yang selama ini sudah menjadi teman hari-hariku. Ada sesuatu yang berbeda.
Kursi roda itu diikat dengan sepeda yang berada di sampingnya.
Ternyata ini yang dimaksud oleh Tommy.
Jalan-jalan dengan bersepeda. Hmm, cinta memang selalu punya caranya sendiri.
“Siap untuk jalan-jalan?” tanyanya, melalui bahunya ia tersenyum lembut.
Aku mengangguk mantap.
“Siap, dong!”
Dia mengayuh sepeda membawaku berkeliling menikmati sejuknya pemandangan pagi dengan hamparan pepohonan kecil di sebelah kanan dan kiri jalan setapak yang kami lalui.
Di perjalanan, kami tak henti tertawa dan bersenandung seakan tak peduli dengan pandangan aneh atau mungkin pandangan kagum dari orang di sekitar jalan yang kami lalui. Di depanku, Tommy terus mengayuh sepedanya.
Hingga tiba di suatu tempat, Tommy menghentikan sepedanya. “Tunggu sebentar, ya?” ujarnya, lalu bergegas meninggalkanku.
Ia masuk ke sebuah bangunan bergaya rumah memanjang yang di depannya terdapat plang bertuliskan Pabrik Pembuatan Kaki Palsu. Aku bertanya-tanya.
Tak berapa lama, lelaki yang melamarku semalam keluar dengan benda terbungkus di tanganmya. Matanya berbinar, sarat akan kebahagiaan.
Senyum yang masih menghiasi bibirnya membuat jantungku ingin meloncat keluar dan naik ke tenggorokan.
Dia menyerahkan benda itu kepadaku, “Ini kado untukmu, Sayang,” ternyata sebuah kaki palsu.
Aku menatapnya, ada perasaan hangat melingkupiku.
“Aku ingin kamu bisa memakai sepasang sepatu yang kubelikan untukmu di hari pernikahan kita nanti,” kalimat itu meluluhkan kristal bening di sudut mataku. Aku bahagia sekaligus terharu. Tangan lembutnya menghapus perlahan bulir bahagia itu.
Aku bersyukur karena pria ini mencintaiku apa adanya dengan segala kekurangan yang kupunya.
“I don’t know what I’m feeling about. But I know, I love you more than everything,” ucapku terbata.
-selesai-
Baca juga cerpen karya Indah lainnya: Dikejar deadline nikah