ZONAUTARA.com –Â Soal serba mahal di Papua sudah bukan rahasia lagi. Pergi ke Papua termasuk ke Mimika identik dengan ongkos yang mahal, apalagi jika tujuannya adalah kampung-kampung yang jauh dari pusat keramaian. Siap-siap kantong terkuras.
Ini adalah perjalanan ketiga bagi saya mendatangi Papua. Yang pertama sewaktu ke Festival Lembah Baliem di Kabupaten Jayawijaya pada Agustus 2019, dan kedua sewaktu meliput PON XX di Mimika pada Oktober 2021.
Perjalanan kali ini bersama Neno Karlina Paputungan, yang mendapat fellowship liputan isu kekerasan dan HAM di Papua. Fellowship itu diterima Neno setelah mengikuti serangkaian pelatihan dan pitching ide liputan. Zonautara.com mengajukan tema liputan tentang pengaruh pendatang terhadap ekonomi orang asli Papua.
Awalnya kami mengajukan lokasi liputan di Wemena, yang kami pilih karena saya sempat melakukan pengamatan sekilas di tengah liputan Festival Lembah Baliem pada 2019 lalu. Namun atas berbagai pertimbangan, panitia penyelenggara (AJI dan INTERNEWS) meminta kami memindahkan liputan ke Mimika, khususnya di Timika.
Kami berangkat dari Kotamobagu pada Sabtu (4/12/2021), menuju Manado untuk melakukan tes RT-PCR, karena tidak ada lagi laboratorium umum di Kotamobagu yang melayani tes PCR untuk keperluan keberangkatan. Berbekal hasil negatif PCR di klinik yang ada di Bandara Sam Ratulangi Manado, kami membeli tiket maskapai Lion Air tujuan Timika untuk keberangkatan pada Selasa (7/12). Harga tiket Rp 3.598.600 untuk dua orang dengan rute transit Sorong, lantas ganti pesewat Batik Air di Jayapura.
Di tengah cuaca buruk yang melanda sebagian besar wilayah Sulawesi Utara pada Senin malam, kami bersiap terbang pada Selasa pagi. Jelang subuh sebuah SMS masuk dari Lion Group yang memberitahu bahwa penerbangan lanjutan dari Jayapura ke Timika dengan Batik Air status non connection. Saya mencoba menghubungi nomor yang disertakan. Alasan operatornya, pesawat Batik Air tersebut dimajukan jam terbangnya lebih pagi, jadinya penerbangan lanjutan kami tidak tersedia. Lucunya, operator tersebut hanya memberi opsi menggeser jadwal terbang tanpa jaminan apakah penerbangan Jayapura – Timika bisa tepat waktu. Saya memilih untuk mendatangi kantor Lion Air di bandara.
Selasa pagi saat check in, boarding pass Jayapura – Timika tidak dicetak. Saya diminta untuk ke kantor layanan saat mempertanyakan boarding pass itu. Di kantor layanan itu, puluhan orang termasuk yang dari kota lain memprotes soal tidak tersedianya penerbangan lanjutan. Petugasnya meyakinkan kami bahwa masalah itu akan teratasi saat melapor di Jayapura. Terbanglah kami.
Tiba di Bandara Sentani Jayapura, kami mendatangi kantor layanan Batik, dan mendapat jawaban dari petugasnya bahwa pesawat sudah terbang di pagi hari. Ya mau diapa, mengamuk pun tidak ada gunanya. Terpaksa kami harus menginap semalam di Jayapura.
Kesempatan berada di Jayapura itu saya manfaatkan memberi kejutan buat Neno, dengan membawanya ke Pos Perbatasan Indonesia – Papua New Guinea di Skow. Jaraknya sekitar 70 KM dari Bandara Sentani. Kami menyewa mobil dengan harga yang disepakti sebesar Rp 800.000 tidak termasuk BBM. Usai dari Skow kami mampir di rumah kakak saya di Abepura. Dia merupakan pendeta di Gereja Baptist Petra Kamkey. Setelahnya kami menginap di Hotel Front One Green Boutique di Abepura dengan tarif Rp 550.000 untuk type kamar deluxe room only.
Marah-marah di Bandara Sentani
Keesokan paginya kami ke Bandara Sentani dengan menyewa mobil seharga Rp 200.000. Jarak dari hotel ke bandara sekitar 22 KM. Hasil tes RT PCR kami dari Manado masih berlaku, karena saat ini hasil PCR expire dalam waktu 3×24 jam. Di Bandara Sentani saya sempat marah-marah karena petugas Batik Air lama sekali mengurus proses check in. Suara saya yang meninggi saat memprotes membuat seluruh orang yang ada di ruang check in mengarahkan perhatian ke kami. Petugas keamanan mendekat, dan ikut kena protes saya. Saya bilang ke petugas bandaranya, “saya tidak memprotes pihak bandara, tapi pihak maskapai. Kalau mau bandara aman dan tertib, urus juga maskapainya untuk tidak mempermainkan calon penumpang.”
Petugas bandara itu lantas meminta pihak maskapai mengurus proses check in kami. Boarding pass langsung keluar, dan ternyata banyak juga calon penumpang lain yang ditahan proses check in mereka. Karena marah-marah saya itu, semua boarding pass yang ditahan langsung diberikan. Saat berada di ruang tunggu, beberapa orang menghampiri saya dan mengucapkan terima kasih karena sudah ikut membantu mereka. Ternyata ada yang sudah lebih dua jam tidak diproses tiket mereka meski sudah melapor.
Batik Air ID-8187 yang kami tumpangi take off sesuai jadwal dan mendarat di Bandara Mozes Kilangin Timika menjelang siang dengan sedikit guncangan. Dari bandara kami menyewa ojek dengan tarif Rp 25.000 per orang. Hotel Kanguru yang kami tuju hanya berjarak 8 KM dari bandara. Tarif untuk kamar deluxe seharga Rp 600.000 per malam.
Usai istirahat sebentar, Kristina, wartawan seputarpapua.com, yang menjadi tandem Neno datang. Dengan mobil sewaan seharga Rp 1.000.000 per hari tidak termasuk sopir dan BBM, kami berkeliling Timika mendatangi berbagai narasumber.
Di hari ketiga, karena daftar target narasumber sebagian besar sudah kami datangi, dan Kristina masih punya pekerjaan lain, kami lantas menyewa motor dengan tarif Rp 300.000 per hari tidak termasuk BBM. Saya memberi jaminan SIM A, karena pemiliknya kenal dengan Kristina. Selama dua hari dengan motor itu kami berkeliling Mimika termasuk mendatangi beberapa kampung dan menyempatkan berkunjung ke Kuala Kencana, pemukiman modern ditengah hutan yang dikelola PT Freeport Indonesia.
Dari beberapa rincian biaya perjalanan yang saya sebutkan di atas sudah bisa dibayangkan biaya tinggi yang harus dikeluarkan untuk melakukan liputan khusus di Papua. Biaya-biaya itu akan menjadi lebih tinggi saat mendatangi kampung-kampung yang jauh dari kota. Kaban BAPPEDA Mimika bercerita bahwa mereka harus menghabiskan anggaran sekitar Rp 12 juta hanya untuk transportasi ke distrik terdekat yang aksesnya via laut.
Mahalnya biaya transportasi dan akomodasi di Papua, diakui pula oleh Wakil Bupati Mimika Johannes Rettob saat kami mewawancarainya. Menurut Johannes bahkan di Kota Timika sendiri pun belum tersedia angkutan umum masal seperti angkutan kota, bagaimana di distrik-distrik yang ada di pedalaman. Johannes menjelaskan bahwa transportasi yang mahal karena akses yang sulit ini menjadi salah satu hambatan utama dalam pemerataan pembangunan dan akses ekonomi bagi masyarakat Papua, termasuk di Mimika.
Selain soal transportasi dan akomodasi yang mahal itu, biaya makan bagi pejalan juga cukup tinggi jika dibandingkan dengan daerah lain di luar Papua. Sekali mampir makan di warung, kami berdua harus mengeluarkan uang Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Sewaktu mewawancarai seorang mama di pasar, untuk membuka komunikasi kami mencoba membeli nenas yang dia jual. Harganya Rp 50 ribu per buah. Sikap orang asli Papua terutama yang berasal dari kampug-kampung yang tertutup cukup menyulitkan dalam menggali informasi. Butuh kesabaran dan pendekatan yang baik agar bisa diterima oleh mereka.
Tes RT PCR terbatas di Mimika
Saat bersiap untuk pulang ke Manado usai liputan telah selesai, kami harus berhadapan dengan kondisi terbatasnya tes RT-PCR di Mimika. Rumah Sakit Daerah sebagai satu-satunya instansi yang membuka layanan tes RT PCR bagi penerbangan, ternyata punya kuota terbatas setiap hari. Itu pun hasilnya paling cepat diperoleh 3 hari setelah sampel diambil.
Dengan terpaksa, kami hanya melakukan tes antigen di Klinik Tjandra dengan harga Rp 150.000 per orang, lalu membeli tiket ke Jayapura. Tiket Batik Air dari Timika ke Sentani Jayapura seharga Rp. 986.330 per orang. Kami terbang pada Senin (13/12) pukul 11.30 ke Jayapura. Penerbangan ditempuh selama 1 jam. Tiba di Bandara Sentani, ternyata klinik tes RT-PCR di bandara sudah tutup. Terpaksa kami harus ke Entrop yang berjarak sekitar 22 KM. Di sana ada Klnik ASA yang buka hingga pkl 15.00. Kami menyewa mobil dengan tarif Rp 450.000.
Karena hasil RT PCR baru bisa keluar malam harinya, tidak ada pilihan kami harus bermalam lagi di Jayapura. Saat tiba di rumah kakak saya di Abepura, kami mencoba mencari tiket ke Manado untuk penerbangan Selasa. Dan…… harga tiket naik gila-gilaan. Dari biasanya harga normal Rp 1,3 juta menjadi hingga Rp 5 jutaan. Itupun beberapa kali saat sistem di aplikasi penjualan tiket gagal dibayar karena sudah dibooking orang lain. Saya mencoba berulang-ulang dengan beberapa aplikasi penjualan tiket. Beruntung kami masih bisa dapat.
Akhirnya kami tiba di Manado dengan Lion Air JT-799 pada pukul 19.00 setelah mengalami delay lebih dari 5 jam dan terbang dalam kondisi cuaca yang buruk.
Jadi bagi anda yang berkeinginan mendatangi Papua, apalagi punya impian ke lokasi-lokasi eksotis di Papua semisal Lembah Baliem, Asmat, Taman Nasional Lorentz, Raja Ampat dan lainnya, pastikan dana anda cukup.
Seorang teman pejalan pernah bilang, jangan dulu berbangga kalau sudah pernah jalan ke Singapura atau ke kota-kota wisata lainnya di luar negeri. Cobalah datangi wilayah-wilayah eksotis di Papua, dan rasakan bagaimana perjalanan yang sesungguhnya.
Papua sangat layak didatangi, dan saya pasti akan kembali lagi, menikmati keindahan alamnya dan keragaman budaya serta tradisi orang asli Papua.