bar-merah

Dispensasi karantina bagi pejabat membahayakan kesehatan masyarakat di tengah ancaman Omicron

kesehatan masyarakat
Ilustrasi dari Pixabay.com

ZONAUTARA.com – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Kesehatan Masyarakat memandang ketentuan yang memuat dispensasi pengurangan durasi pelaksanaan karantina kepada pejabat eselon 1 (satu) diskriminatif dan dapat membahayakan kesehatan masyarakat.

Pandangan Koalisi tersebut didasarkan atas alasan, pertama, SE Kasatgas Penanganan Covid-19 25/2021 diskriminatif dan tidak adil, sebab memberikan perlakuan istimewa kepada pejabat. Sebagaimana tertuang dalam No. 5, “Masa karantina 10 x 24 jam sebagaimana dimaksud pada angka 4.e. dapat diberikan dispensasi pengurangan durasi pelaksanaan karantina mandiri kepada WNI pejabat setingkat eselon I (satu) ke atas berdasarkan pertimbangan dinas atau khusus sesuai kebutuhan dengan ketentuan…”

Virus SARS-CoV 2 tidak mengenal jabatan, tidak mengenal jenis kelamin, tidak mengenal umur, dan tidak mengenal waktu. Sebaliknya, siapapun bisa terinfeksi ketika melakukan kontak dengan seseorang yang sudah terjangkit sebelumnya.

Karenanya, pengistimewaan pejabat dalam aturan karantina tidak bisa diterima, diskriminatif, dan tidak adil. Padahal aturan sebelumnya (SE Kasatgas Penanganan Covid-19 23/2021) tidak memberikan keistimewaan bagi pelaku perjalanan luar negeri pejabat tertentu.

Pentingnya kesehatan masyarakat

Kedua, SE Kasatgas Penanganan Covid-19 25/2021 ini dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Di tengah ancaman varian baru Omicron, pemerintah seharusnya mengambil langkah pencegahan dan mitigasi risiko penularan kasus lebih ketat. Karenanya, pengetatan dan pemusatan karantina harus dipatuhi oleh setiap orang termasuk pejabat untuk memastikan perlindungan kesehatan seluruh masyarakat dari ancaman Covid-19.

Pengubahan aturan karantina yang tumpul kepada pejabat tertentu menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak dibangun berdasarkan ilmu kesehatan masyarakat (public health evidence-based policy). Adanya beberapa kasus pelanggaran karantina seperti yang dilakukan oleh warga negara asing, selebritas, hingga anggota DPR seharusnya menjadi evaluasi bagi pemerintah untuk lebih mengetatkan kembali ketentuan dan pelaksanaan di lapangan.

Kasus suap karantina, pengistimewaan pejabat tertentu serta pengubahan aturan karantina SE Covid-19 25/2021 merusak rasa keadilan masyarakat. Konsekuensinya, wajar jika masyarakat semakin tidak percaya kepada pemerintah. Pengistimewaan pejabat dalam aturan karantina menegaskan bahwa politisi busuk selalu menutupi kesalahan pejabat.

Pejabat publik seharusnya menjadi teladan bagi publik dalam mengedepankan praktik protokol kesehatan sebaik-baiknya. Alih-alih menjadi teladan, justru regulasi membuka ruang pengistimewaan yang semakin menjauhkan jarak pejabat publik dengan masyarakat umum.

Atas dasar alasan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Kesehatan Masyarakat mendesak Presiden Joko Widodo meminta Ketua Satgas Covid-19 mencabut SE Kasatgas Covid-19 25/2021 dan menggantinya dengan ketentuan yang lebih berlandaskan pada sains dan berkeadilan bagi masyarakat. Ini perlu dilakukan guna memberikan pencegahan ancaman Omicron serta perlindungan seluruh masyarakat.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Kesehatan Masyarakat terdiri dari LaporCovid-19, Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lokataru Foundation, Hakasasi.id, Transparency International Indonesia (TII), LBH Jakarta, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), LBH Masyarakat, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Yayasan Desantara.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com