Sebagai ibu kota Kabupaten Mimika, Timika terbilang lebih maju dibanding distrik lain. Mimika terdiri dari 18 distrik (kecamatan), 19 kelurahan dan 133 kampung yang tersebar dari perkotaan, pegunungan, dan pesisir. Untuk skala lebih besar, meski secara keseluruhan pada Maret 2018, Papua masih tercatat sebagai provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia, namun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), bersama Kota Jayapura, Kabupaten Mimika termasuk kabupaten paling baik secara ekonomi. Ini terjadi karena tingkat pendidikan, infrastruktur kesehatan dan kesejahteraan masyarakat dianggap lebih baik dibanding daerah lainnya di Papua.
Dari ukuran gini ratio, secara keseluruhan ketimpangan distribusi pendapatan di Papua mengalami fluktuatif dalam kuran waktu 5 tahun (2015-2019) dan cenderung mengalami perbaikan. Provinsi Papua masuk dalam kategori ketimpangan sedang. Di Mimika, angka gini ratio juga terus membaik.
Kabupaten Mimika sendiri memiliki penduduk sebanyak 311.969 jiwa (Mimika Dalam Angka 2020), dengan laju pertumbuhan penduduk selama 10 tahun (2010-2020) sebesar 70,02 persen. Penduduk terbanyak berada di Distrik Mimika Baru (142.909), terendah di Distrik Agimuga. Selain Mimika Baru, distrik lainnya yang jumlah penduduknya di atas 10 ribu jiwa adalah adalah Distrik Iwaka (10.981), Distrik Kuala Kencana (27.774), Distrik Kwamki Narama (13.750), Distrik Mimika Timur (10.179), Distrik Tembagapura (23.022) dan Distrik Wania (58.904).
Sementara itu, kehadiran PT Freeport Indonesia di Mimika, turut mendorong Timika (ibukota Distrik Mimika Baru) menjadi kota yang berorientasi pada bidang industri dan jasa. Hal ini memicu beberapa perusahaan skala nasional masuk dan menarik orang luar untuk datang di Timika. Warga negara asing (WNA) yang bekerja di PT Freeport juga banyak terkonsentrasi di Timika.
Pemerintah baik daerah maupun pusat terus membangun akses dan infrastuktur di Mimika, terlihat dari penataan Distrik Kuala Kencana, Bandar Udara Mosez Kilangin, rumah sakit, jalan. Dan yang terakhir adalah fasilitas olahraga skala nasional sebagai penunjang penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional Papua XX.
Kabupaten Mimika juga mempunyai lanskap yang lengkap, yakni dimulai dari dataran tinggi Pegunungan Jayawijaya hingga dataran rendah di pesisir Selatan yang menghadap langsung ke laut Arafura.
Wilayah Mimika memiliki luas 21.693,51 km2 didiami oleh dua suku asli Papua yaitu suku Amungme dan suku Kamoro. Selain dua suku asli tersebut, di Mimika juga ada lima suku kekerabatan lainnya (Mee, Dani, Damal, Nduga dan Moni). Suku-suku ini menempati dua jenis topografi yakni dataran tinggi dan dataran rendah. Distrik yang bertopografi dataran tinggi adalah Tembagapura, Agiuga, Hoya, Alama dan Killa. Selain kelima distrik tersebut, distrik lainnya berada di dataran rendah.
Distrik Mimika Baru, Kuala Kencana, Tembagapura, Kwamki Narama, Wania, Iwaka, Hoya, Alama, Agumiga dan Jila tidak memiliki pantai. Sedangkan Distrik Mimika Barat, Mimika Barat Tengah, Mimika Barat Jauh, Mimika Timur, Mimika Tengah, Mimika Timur Jauh, Amar dan Jita sebagian wilayah-wilayahnya berbatasan dengan laut. Kondisi ini membuat OAP di Mimika memiliki keanekaragaman dan kebiasaan berbeda dalam memenuhi ekonomi mereka.
Mama Rita misalnya, sebagai seorang Kamoro, Mama Rita akan sulit berkebun karena terbiasa meramu, hidup dari hasil alam. Suku Kamoro dikenal hidup dengan 3S (sungai, sampan, sagu). Jadi sekeras apapun mencoba, Mama Rita percaya akan gagal saat berkebun. Berbeda dengan suku Amungme, yang bisa mengandalkan kreatifitas berkebun di gunung dengan kemiringan tertentu. Mereka mampu menggarap beberapa lahan secara bergantian.
“Kalau tidak ada hasil alam, Sa tanam salak lebih mudah, hanya tanam sekali saja, baru bisa panen-panen terus to. Kalau kangkung atau bayam bikin capek. Pinggang Sa retak semua saat mau bikin bedeng. Dulu Sa dengan pace coba tanam, tapi tidak pernah berhasil,” keluh Mama Rita.
Cara pandang terhadap tradisi dan budaya orang asli Papua (OAP) yang beragam berdasarkan suku, begitu berbeda dengan pendatang yang berasal dari berbagai suku bangsa lain di Indonesia. Hal inilah yang diduga menjadi salah satu faktor OAP belum bisa sepenuhnya merasakan manfaat dari pembangunan. Sehingga kehidupan ekonomi OAP sebagai pemilik hak ulayat lebih terbelakang dibanding pendatang yang memiliki tradisi berbeda dan beragam serta sumber daya manusia mumpuni.
“Dasar atau praktek OAP berbeda, mereka kebanyakan masih berdasar pada sistem pertukaran, memberi dan menerima. Tanah itu bagi mereka tidak dibeli, tapi diserahkan. Dan mereka bersifat komunal, yang satu akan menanggung yang lain. Jadi mereka tidak mengenal keluarga inti yang harus diprioritaskan. Kalau ada uang, itu akan habis dipakai bersama, sebab untuk bertahan di alam, mereka terbiasa membangun sistem sosial yang erat. Selain karena mereka memang sangat dekat dengan alam, hidup dari alam. Jadi uang bukan ukuran kesejahteraan,” kata Prof. Dr. Cahyo Pamungkas, Ph.D., peneliti Sosiologi Etnisitas dan Multikulturalisme dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat diwawancarai lewat seluler, Selasa, (29/12/2021).
Cahyo menjelaskan, OAP tidak menolak pembangunan, hanya saja butuh pemahaman yang baik terutama dari sisi tradisi, agar tidak terjadi kesalahan dalam pembangunan, sehingga OAP memang benar-benar bisa merasakan manfaatnya.
“Sebenarnya pembangunan di Mimika tidak jauh berbeda, rencana strategis pembangunan kampung, program dana kampung itu sama di seluruh Papua. Ada desa mandiri, listrik membangun, desa pintar, cuma berbagai program itu, sejauh ini bisa dikatakan belum berhasil,” jelas Cahyo.
Masih banyak Orang Asli Papua di bawah garis kemiskinan
Wakil Bupati Mimika, Johannes Rettob tidak menampik hal tersebut. Johannes mengakui, angka ketimpangan yang terus membaik adalah angka yang terlihat dari luar saja. Hanya berdasar data BPS di kota Timika, bukan keseluruhan Mimika.
“Bahkan jika dilihat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kita (Mimika), sekarang berada di urutan pertama atau ke dua, mungkin, di Papua. Tetapi kita harus jujur melihat, dilihat dari sisi mana dulu, apakah dari sisi pendidikan, kesehatan, sisi pengembangan manusia, atau ekonomi,” ujar Johannes saat ditemui pada Rabu, (8/12/2021).
Sebagai daerah dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) terbesar di Papua dan masuk 10 besar di Indonesia, Johannes menganggap, wajar jika Mimika menjadi daerah yang dinilai baik perekonomiannya. Namun, angka tersebut tidak menjadi jaminan, tidak ada lagi masyarakat miskin Mimika.
“Dalam sehari perputaran uang kita bisa sampai Rp7 miliar, APBD Mimika sekitar Rp4.4 triliun. Paling besar dari perusahaan (PTFI). Sementara Mimika ini begitu heterogen. Faktanya, masih banyak OAP hidup di bawah garis kemiskinan. Menjadi keluarga penerima manfaat (KPM bantuan sosial – red). Dari data Dinsos dan Kantor Pos, ada 30 ribu warga Timika menjadi KPM. Nah kan, kalau KPM-nya terus bertambah, berarti pemerintah gagal, sebab orang miskin justru semakin banyak,” kata Johannes.
Johannes juga mengakui bahwa kontrol pemerintah daerah secara spesifik terhadap pendatang masih lemah. Di samping ada fenomena lain, banyak orang yang datang langsung ke wilayah-wilayah tertentu, seperti wilayah pendulang (area Kali Kabur).
“Mungkin ada 10 atau 15 ribu pendatang di atas (area Kali Kabur), baik dari Papua pun dari luar Papua. Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlahnya,” kata Johannes.
Dari berbagai klaim masyarakat pendatang, jumlah pendatang di Mimika saat ini jauh lebih besar dari OAP. Namun sayang, hingga liputan ini tayang, Zonautara.com belum mendapatkan balasan surat permintaan data dari Distrinaker Mimika, soal berapa komposisi masyarakat pendatang dan OAP. Sebelumnya, pihak Distrinaker Mimika saat dikonfirmasi secara langsung, meminta surat permohonan data secara resmi dari Zonautara.com. Sementara BPS Mimika juga berkilah baru akan merilis jumlah pastinya pada Mei mendatang.
“Itu adalah program BPS Mimika tahun lalu. Tapi baru bisa merilisnya Mei 2022 mendatang,” singkat Kepala BPS Mimika, Trisno L Tamanampo.