Sejak lama pendatang dari luar Papua terus mendatangi Mimika

Mimika, khususnya di wilayah perkotaan dan daerah pertambangan menjadi daya tarik bagi pencari kerja dari luar Papua.

Sejak lama pendatang dari luar Papua terus mendatangi Mimika

Mimika, khususnya di wilayah perkotaan dan daerah pertambangan menjadi daya tarik bagi pencari kerja dari luar Papua.

Bagian pertama dari laporan ini dapat dibaca di sini.

Sebagai orang asli Papua (OAP), Mama Rita tidak pernah tahu persis bagaimana sejarah awal kedatangan orang luar ke Timika. Mama Rita hanya tahu, bahwa salah satu lahan perkebunannya telah ditukar dengan sepeda motor keluaran tahun 2006 kepada kenalan anaknya yang merupakan pendatang.

“Karena biaya transportasi ke Timika itu sangat mahal e. Jadi kebun satu Sa tukar motor pada orang Manado. Dengan motor itu, tiap hari Sa bisa diantar-jemput anak saat jualan,” cerita Mama Rita.

Seperti Mama Rita, banyak juga pendatang tidak tahu sejarah awal kedatangan orang luar di Timika. Mereka datang dengan jalan dan cara yang berbeda-beda.

Hasanudin yang berasal dari Makassar salah satunya. Dia tidak ingat lagi kapan pertama ke Timika. Seingat Hasanudin, dia datang begitu saja ikut kapal. Awal-awal kedatangannya, Hasanudin bertemu Munawir Yakub (mantan anggota DPRD dan ketua Keluarga Bugis Sidrap Timika) dan beberapa orang dari Sulawesi Selatan (Sulsel).

“Waktu itu, ada program sewa tanah dari kecamatan. Saya menyewa tanah dari camat dengan harga sewa Rp10 ribu. Di tanah itulah saya awalnya berjualan pisang goreng, hingga membangun usaha dan beranak pinak,” kisah Hasanudin, Senin, (13/12/2021).

Menurut Hasanudin, saat itu komplek jalan Ahmad Yani Timika belum menjadi pusat toko-toko cenderamata. Masih belantara, ada pepohonan besar dan sebagiannya dipenuhi pohon pisang. Banyak buah pisang membusuk begitu saja di atas tanah.

“Di Makassar kita jarang sekali membiarkan makanan busuk, tapi di sini saking banyaknya pisang, tidak habis dimakan. Saya melihat orang-orang tidak mengolahnya. Jadi saya coba menggoreng. Sebenarnya untuk dimakan sendiri. Ternyata, setelah dirasa enak, orang-orang datang membeli, termasuk juga OAP. Mereka datang minta, atau menukar pisang goreng saya dengan buah pisang yang baru,” cerita Hasanudin.

mimika papua
Hasanudin yang berasal dari Makassar dan kini merasa menjadi orang Papua sedang berada di toko cenderamatanya di Mimika. (Foto: Ronny A. Buol)

Interaksi terjadi begitu lama seiring dengan berkembangnya usaha Hasanudin. Oleh OAP Hasanudin bahkan diangkat sebagai anak. Hasanudin sempat kembali ke Makassar untuk menikah. Setelahnya, ia kembali melanjutkan hidup di Timika bersama istri. Sekarang Hasanudin memiliki 4 orang anak, 1 perempuan dan 3 lelaki. Semuanya sudah lahir di Timika.

“Saya tidak lagi menggoreng pisang. Usaha sudah dilanjutkan anak perempuan. Dia menjadikan bekas tempat gorengan saya menjadi toko cenderamata khas Papua. Timika ini tempat hidup. Kami orang Makassar, saat pulang ke kampung disebut orang Papua. Jadi kami begitu cinta dengan tanah ini. Ada orang yang usik Papua atau OAP, kami juga merasa ikut terusik, sebab kami Papua,” aku Hasanudin.

Kehadiran Freeport di Papua

Mengutip riset Achmadi Jayaputra dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI, bahwa pada tahun 1986, PT Freeport Indonesia Inc sebagai cabang dari perusahaan induk Freeport Mc Moran Inc atau PT Freeport Mc Moran (PTFM) di Amerika Serikat mulai beroperasi. Menjelang akhir tahun 1991, ketika Kontrak Karya II ditandatangi, PT Freeport Indonesia Inc berganti menjadi PT Freeport Indonesia (PTFI) dengan wilayah eksplorasi di Distrik Tembagapura, diatas hutan tropis yang menyimpan cadangan bahan tambang terbesar ketiga di dunia, dimana 2,6 miliar ton berupa emas (terbesar di dunia) di areal seluas 202.950 Ha.

papua
Ban raksasa alat berat diletakkan di depan Bandar Udara (lama) Mozes Kilangin sebagai penanda hadirnya PT Freeport Indonesia. (Foto: Ronny A. Buol)

Kehadiran PTFI di Kabupaten Mimika menjadikan Mimika sebagai kabupaten terkaya di Provinsi Papua, karena membuka keterisolasian daerah yang dikelilingi hutan, perairan, dan pegunungan. Infrastruktur dibangun dengan kehadiran kota mandiri dan modern di Kuala Kencana, lapangan terbang, pelabuhan laut, dan fasilitas jalan. Lapangan kerja pun terbuka dan memberi kesempatan orang luar Papua datang ke Mimika.

Achmadi Jayaputra pun dalam risetnya menyebut kekuatan perekonomian Mimika hingga saat ini dan tahun-tahun mendatang akan sangat bergantungada sektor pertambangan.

Karakteristik penduduk Mimika

Penduduk di Mimika dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yakni penduduk asli atau OAP, dan penduduk pendatang. Penduduk asli terdiri dari dua kelompok besar. Pertama, kelompok masyarakat dari daerah pegunungan yaitu suku bangsa Amungme dan lima suku bangsa terdekatnya seperti Mee atau Ekari, Dani, Damal, Nduga dan Moni. Tingkah laku dan watak suku bangsa Amungme identik dengan alam pegunungan, sebagai penakluk dan pewaris alam. Kerasnya pegunungan menjadikan mereka keras, tidak mengenal kompromi, fair dan gentlemen dengan selalu melakukan tindakan preventif dalam semua kegiatannya.

Kelompok kedua dari penduduk asli adalah suku bangsa Kamoro sebagai kelompok masyarakat yang tinggal di pantai selatan Papua. Merekalah yang mempunyai hak ulayat atas tanah rawa dan pantai serta aliran sungai di sekitarnya. Mata pencaharian pokoknya berburu dan meramu. Permukiman tidak menetap, sehingga kehidupannya tergantung alam seperti ketersediaan sagu, babi, ikan, udang, kepiting dan lain-lain.

Seiring dengan pembangunan yang berjalan, suku Kamoro merasa harus mengikuti keberadaan hidup yang semi nomaden, populasi mereka harus dihitung, anak-anak disekolahkan, dikenakan pajak dan dikontrol. Suku bangsa ini selama beberapa dekade telah memiliki hubungan dagang terbatas dengan suku bangsa lain yang berasal dari wilayah Indonesia bagian Barat seiring dengan keberadaan pemerintah kolonial Belanda dan penyebaran agama Nasrani.

PON Papua
Ekspresi salah satu suku asli Papau saat perhelatan PON XX di Mimika. (Foto: Ronny A. Buol)

Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1958 pemerintah memulai proyek permukiman dan pengembangan pertanian dengan membuka pos pemerintahan yang terdiri dari pamong praja, polisi, mantri kesehatan, bidan, penyuluh pertanian, guru dan tukang. Perpindahan ke Timika pun dilakukan dengan alasan akan memperluas kota Tembagapura di Lembah Waa, dan alasan keamanan akibat konflik antara TNI dengan OPM. Kelompok pertama yang dipindahkan dimulai tahun 1960-an dari Lembah Tsinga dan Noema pindah ke daerah Agimuga. Kelompok kedua dimulai tahun 1973 dari Lembah Waa, Agimuga dan daerah lainnya ke wilayah Timika, terutama di Kwamki Lama dan Kwamki Baru.

Kelompok yang masuk ke wilayah Timika dipimpin oleh Yohanes Kapiyau. Perpindahan dilakukan lebih dikarenakan faktor alam dan penyakit. Faktor alam karena tempat tinggal suku bangsa tersebut di pegunungan yang menyulitkan dalam komunikasi dan pembinaan. Munculnya penyakit frambusia (yaws) yang menyerang sebagian besar penduduk setempat juga menjadi alasannya. Selain itu agar mendapat kemudahan untuk memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan dan perbaikan ekonomi.

Program transmigrasi pemerintah pusat

Program transmigrasi pemerintah pusat juga dilakukan di Mimika. enempatan transmigrasi pertama terjadi pada 16 November 1986 di Satuan Permukiman (SP) 1 dengan jumlah penduduk 156 jiwa. Sekarang SP 1 telah menjadi Desa Kamoro Jaya. Setelah itu unit pemukiman transmigrasi terus bertambah menjadi 13 SP. Mulai tahun 1986 hingga 1999 jumlah penduduk yang masuk melalui program ini mencapai 15.794 jiwa.

Pembagian kuota penempatan dilakukan dengan cara 80 persen dari daerah asal atau luar daerah dan 20 persen dari penduduk setempat. Kecuali dua SP yang ditempati penduduk setempat yaitu SP 8 Kaugapu ditempati suku bangsa Kamoro, dan SP 12 Utik ditempati suku bangsa Dani, Damal, Moni dan Mee atau Ekari.

“Jumlah penduduk Jawa di Mimika, belum selesai dihitung, sementara kita dalam proses kerjasama dengan Capil (kantor catatan sipil –red). Tapi, selama ini yang diklaim ada sekitar 20-30 ribu jiwa. Itu Jawa keseluruhan dari 6 provinsi. Tapi kalau perkiraan kami sudah ada. Sebab, awal-awal KKJB dibentuk, sudah ada 10.000 KTA terkumpul hanya setahun saja,” jelas Ketua Kerukunan Keluarga Jawa Bersatu (KKJB), Syaikuri saat ditemui di Sekretariat KKJB, Kamis, (9/12/2021).

Suku Jawa di Mimika datang dengan cara beragam, dari suka rela, ikut keluarga, hingga lewat program transmigrasi. Keinginan untuk silaturahmi dari komunitas ke komunitas, titik ke titik, SP ke SP, mendorong awal terbentuknya KKJB. KKJB merupakan induk 35 paguyuban komunitas kecil Jawa di Mimika. Menyebar hampir di semua sektor, dengan tujuan utama yaitu kerukunan.

“Jika diri sendiri rukun, maka dengan orang lain rukun. Dari sini toleransi terus kita bangun, hingga kita mulai mengawal gereja-gereja yang sedang melakukan ibadah saat natal. Kan kalau aman, pasti juga berdampak di ekonomi,” kata Syaikuri.

Syaikuri menjelaskan, tidak ada rekrutmen khusus untuk masuk jadi anggota KKJB. Persatuan dan semangat toleransi yang menjadi penyatu. Bahkan, beberapa anggota ada yang bukan dari suku Jawa.

“Ada yang namanya anggota luar biasa. Kami menyadari dengan organisasi lebih mempermudah koordinasi, baik koordinasi antar suku, maupun dengan pihak aparat keamanan, terkait dengan penyelesaian jika ada konflik,” jelas Syaikuri.

Kedatangan penduduk pendatang hanya diketahui dari keterangan tokoh masyarakat.

“Mungkin sekarang sudah ada hasil penelitian, atau buku-buku. Tapi, saya sendiri hanya tahu dari keterangan dan cerita-cerita tokoh masyarakat yang ada di sini,” kata Syaikuri.

papua
Pengurus Kerukunan Keluarga Jawa Bersatu Kabupaten Mimika berfoto usai diwawancarai. (Foto: Neno Karlina Paputungan)

Penduduk pendatang terbagi atas dua kelompok. Pertama, masyarakat Indonesia lainnya seperti pegawai pemerintahan dan pegawai swasta, anggota ABRI dan polisi, pedagang dan sebagainya. Kedatangan mereka karena pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan perusahaan dan penugasan sebagai pegawai negeri untuk instansi pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Sebagian dari masyarakat Indonesia lainnya ada yang datang secara spontan karena mengikuti saudaranya atau mencari peluang kerja. Kelompok kedua merupakan masyarakat pendatang yang berasal dari negara asing.

Penduduk pendatang ini ada yang sudah menetap sejak lama berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan dan penyebaran agama Nasrani di daerah Papua bagian selatan. Mereka terdiri dari rombongan missionaris dan zending, kebanyakan berasal dari Eropa dengan pekerjaan antara lain; pendeta, penginjil, pekerja sosial dan sebagainya.

Sejak dibukanya pertambangan makin banyak orang asing yang datang sebagai pekerja di PTFI dan di berbagai perusahaan kontraktornya. Mereka berasal antara lain dari Amerika Serikat, Kanada, Australia, Filipina dan sebagainya. Kedatangannya bersifat temporer biasanya berdasarkan ikatan kerja atau kontrak kerja. Pertambahan penduduk asing selalu menunjukkan peningkatan karena jenis pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus dan pergantian tenaga asing secara berkala.

Sejauh ini interaksi penduduk asli dan penduduk pendatang hanya berdasarkan kepentingan ekonomi. Seperti suku Makassar dan Bugis yang bergerak di sektor perdagangan, melayani pembelian barang dagangan dari seluruh suku bangsa yang ada di Mimika. Sedangkan suku lainnya juga mengambil bagian dalam aktivitas perekonomian.

“Bisa dibilang yang membuka sektor ekonomi di Timika ini termasuk orang Bugis Makassar, kemudian datang orang Cina yang saling menopang. Tapi, kalau bicara ekonomi strukturnya, ya 95 persen uangnya dari PTFI,” ucap mantan anggota DPRD Mimika sekaligus Ketua Keluarga Bugis Sidrap, Munawir Yakub, saat ditemui di kediamannya, Kamis, (9/12/2021).

Papua
Ketua Keluarga Bugis Sidrap, Munawir Yakub saat diwawancarai. (Foto: Neno Karlina Paputungan)

Munawir bercerita, pertama kali datang ke tanah Papua tahun 1988, tapi saat itu masih menetap di Jayapura karena ikut orangtua. Lalu kemudian pulang kuliah ke Makassar. Tahun 1993 balik lagi ke Jayapura dan memutuskan pindah ke Timika.

“Waktu itu, Timika masih berstatus sebagai desa. Saya memilih Timika karena ikut kakak yang sudah lebih dulu membuka usaha di sini. Setelah saya mendapat pengalaman, saya mencoba hidup mandiri,” kenang Munawir.

Munawir yang juga Ketua 1 Kerukunan Keluarga Sulsel (KKSS) ini, membangun usaha sendiri sejak 1999, dan pada tahun 2000 ikut partai politik. Ia menjadi sekertaris partai dan pada tahun 2004 terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Mimika sampai tahun 2009.

“Saya tidak tahu, saya terpilih karena sudah banyak orang Sulsel di Mimika atau bagaimana. Tapi bagi saya itulah kesempatan membangun Mimika. Setalah itu saya tidak lagi mencalonkan diri, tapi pada tahun ini (2021) saya masuk lagi, saya sudah menjadi ketua partai di partai baru,” jelas Munawir.

Berbeda dengan Munawir, Matuis Sedan, Sekertaris Ikatan Keluarga Toraja (IKT) Mimika mengisahkan, dirinya baru berada di Timika sejak tahun 1997. Pada saat itu, Matius mengatakan orang Toraja masih masih sangat sedikit. Pendatang yang banyak hanya orang-orang yang bekerja di Tembagapura (PTFI).

“Kita baru beberapa keluarga saja,” kata Matius.

Sekarang jumlah masyarakat Toraja di Mimaka sudah sekitar 15 ribu jiwa, dan sudah bekerja lintas sektor.

“Ada yang PNS, pengusaha, petani, tukang, peternak. Tapi mayoritas Toraja di sini adalah pengusaha babi,” ucap Matius.

Selain kedua suku Jawa, Makassar dan Toraja, kini berbagai suku lainnya seperti suku Minahasa dan Ambon juga berdatangan ke Mimika dengan berbagai alasan, terutama mencari peluang kerja. Mimika, terutama wilayah perkotaan dan daerah pertambangan menjadi daya tarik yang kuat bagi pencari kerja dan pedagangan.

Bersambung ke bagian 3

BALIK KE PENGANTAR



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article