Bagian 4 dari catatan perjalanan ke Kalimantan ini dapat dibaca di sini.
ZONAUTARA.com – Berada di atas kapal motor penyeberangan (KMP) Laskar Pelangi rasanya sungguh luar biasa. Suasana hati saya kembali membaik setelah sempat memburuk saat mengingat aksi setengah pamer calo di pelabuhan Taipa. Syukurlah, saya selalu berusaha membuang segala energi negatif. Apalagi saat ini (25 Desember) umat nasrani di seluruh dunia sedang merayakan Natal. Saya ingin berbagi suka cita bersama Novi dan Bios. Tahun ini tidak biasa, mereka merayakannya di tengah perjalanan.
Klakson atau yang lebih sering disebut suling kapal telah dibunyikan. Bunyi kedua sudah terdengar, tanda persiapan sudah selesai dan kapal siap berlayar. Kemudian pada ‘tiupan’ ketiga, KMP (kapal feri) Laskar Pelangi akhirnya perlahan meninggalkan pelabuhan Taipa Palu. Kepada salah seorang ABK kami menyewa sebuah kamar. Kamar dengan empat dipan bersusun, ditambah satu sofa kecil, cukuplah buat merebahkan tubuh. Harga sewanya Rp450 ribu.
Saat KMP Laskar Pelangi mulai berlayar, saya masih harus beradaptasi. Ada sedikit rasa mual bercampur pusing, membuat saya lebih banyak menghabiskan waktu tiduran di kamar. Kak Ronny, Novi dan Bios asik mengeksplore bagian-bagian lain kapal. Tak lupa mereka mengecek motor yang terparkir bersama kendaraan lainnya di geladak bawah kapal.
Sambel dabu-dabu ibu mulai berkhasiat
Hari mulai malam, saya sudah bisa menikmati pelayaran. Melihat langit dan malam yang terlihat lebih hitam pekat sungguh menakjubkan. Tak ada daratan, tak ada musik, hanya suara mesin kapal bercampur sepoi angin dan gemercik air yang terdengar. Ini luar biasa.
Waktu makan tiba. Saya mengetahuinya dari pengeras suara. Semua penumpang diminta mengambil makanan dengan syarat harus menunjukkan tiket. Karena kami menyewa kamar, setiap waktu makan, akan ada anak buah kapal (ABK) yang datang mengantar jatah makan kami di kamar. Kami tak perlu repot mengantre.
Menu makanannya nasi dan ikan goreng, cukuplah untuk mengganjal perut. Banyak penumpang yang lebih memilih makan bekal yang dibawa sendiri, atau makan pop mie yang dibeli di kedai kapal. “Biar makan lebih berasa,” kata salah satu penumpang kepada saya.
Karena pelayaran kami tempuh kurang lebih dua hari satu malam, kami mendapat dua kali jatah makan. Malam dan pagi hari. Walau seadanya, kami berempat makan dengan sangat lahap. Bukan karena ada pop mie sebagai pendamping, tapi karena sambal dabu-dabu yang dibuat ibu. Pedasnya bikin ketagihan. Khasiatnya mulai terasa ketika dihadapkan dengan makanan ala kapal. Saya kira, selama perjalanan kami, sambal dabu-dabu bekal dari ibu akan jadi harta karun. Terutama, saat bertemu makanan yang tidak biasa kami santap. Di dalam hati saya berkata: setelah doa di Toboli, sekali lagi ibu menjadi penolong.
Hari mulai siang. Tidak seperti semalam, aktifitas di lautan terlihat mulai ramai dengan lalu lalang kapal-kapal. Termasuk tongkang yang memuat batu bara. Mungkin, inilah aktifitas laut teramai yang pernah saya lihat. Tak lama kemudian, daratan Kalimantan mulai terlihat. Dari pengeras suara terdengar pemberitahuan jika 30 menit lagi, KMP Laskar Pelangi akan tiba di pelabuhan Kariangau Kalimantan Timur (Kaltim).
Di Kariangau makan di kedai Manado
Suling kapal kembali terdengar, tanda kapal berlabuh. Dengan senang saya berucap ‘welcome to Kalimantan’. Kami diperhadapkan dengan aktifitas pelabuhan. Saya dan Novi perlahan keluar kapal dengan berjalan kaki. Kak Ronny dan Bios masih mengantre, keluar membawa motor setelah kendaraan di depan mereka keluar.
Pelabuhan Kariangau cukup ramai. Mata saya mulai tertuju pada plat nomor kendaraan. Dari yang saya amati, perjalanan kami dari Kotamobagu telah melewati kode wilayah yang mulai berubah. Dari nomor polisi kode DB, DN, dan sekarang KT. KT merupakan kode wilayah Kaltim, meliputi Bontang, Balikpapan, Samarinda, Kutai Timur, Berau, dan sekitarnya. Sekali lagi saya dengan gaya kegirangan bilang ke mereka bertiga: wah kita sudah di Kalimantan. Selamat!.
Asik memperhatikan plat nomor kendaraan, saya dikejutkan dengan Kak Ronny yang mengajak makan. Kami mampir di sebuah kedai di pelabuhan. Saat duduk, suara lirik lagu terdengar tidak asing. ‘Nae-Nae Teling Lampu Merah, Angin Batiop Dingin, Ngana Pe Badan, Ngana Bilang Manggigil. Maso Jalan Sam Ratulangi, Belok Kanan Jalan Boulevard, Doe Sayang Capat Jo Sampe Kong Polo Pa Kita, Di Kawasan Mega Mall.’ (Silahkan dengar lagunya disini 🙂 )
Saya memesan empat porsi makanan, lauknya ikan mujair woku dengan sayur campur. Setelah makanan usai dihidangkan, karena penasaran saya bertanya kepada pelayannya. Perempuan muda dan cantik. Dengan ramah dia memperkenalkan judul lagunya. Memori Motor Matic versi Manado berasal dari Manado. Kami serentak tertawa. Setelah saya tanya lebih jauh, ternyata pemilik kedai ini orang Ratatotok, salah satu wilayah di Sulawesi Utara. Hati riang gembira, perut terisi sudah. Kami meninggalkan Kariangau menuju Balikpapan.
Kalimantan menyambut dengan hujan
Keluar pelabuhan Kariangau kami mulai mengandalkan Google Map sebagai penunjuk arah. Truk besar yang lalu lalang menjadi pemandangan kami saat keluar pelabuhan. Karena hari mulai sore, kepadatan kendaraan di jalanan mulai bertambah. Kami harus bersabar dan sesekali disalib kendaraan dari belakang. Saya suka Balikpapan. Kotanya bersih, tidak ada sampah berserak, seperti di kota-kota yang pernah saya singgahi.
Sejauh ini perjalanan kami tidak ada kendala yang cukup berarti. Hanya saja langit terlihat mulai mendung. Ketika mulai memasuki Kecamatan Balikpapan Utara, tepatnya di Kelurahan Batu Ampar, kami harus menepi. Hujan tiba-tiba menderas, kami harus membeli kantong plastik untuk membungkus barang. Di kios milik Medi Junaidi kami menepi sekaligus membagi stiker @torang_bapontar. Medi sangat antusias mendengar cerita perjalanan kami. Dia membagi kursi, dan membiarkan kami berteduh di kiosnya.
Hujan belum sepenuhnya reda, tapi kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Di depan sebuah toko Alfamidi kami kembali menepi. Hujan tidak merata. Setelah 20 menit menepi, kami kembali melanjutkan perjalanan. Di hotel Mirama, kami akhirnya istirahat. Hotel ini lumayan ramai. Meski tidak seaneh di hotel di Palu, tapi kali ini untuk membuka pintunya harus setengah didobrak. Astaga, ada-ada saja.
Kepada resepsionis saya mencoba cari informasi tentang budaya, makanan khas dan tempat wisata di Balikpapan. Tidak banyak informasi yang saya dapat. Tapi, oleh resepsionis saya disarankan makan malam di pantai Kemala. Akhirnya dengan saran itu, kami bergegas mencoba mengeksplore Balikpapan. Sayang, tempat duduk banyak yang masih basah karena hujan sore tadi, membuat pantai Kemala tidak begitu menarik bagi kami.
Kami memutuskan makan disebuah rumah makan dekat pelabuhan. Meski rawonnya habis, dan lauknya sudah dingin kami tetap mengganjal perut. Selain membawa uang tunai, mengisi perut agar stamina terjaga menjadi sarat wajib dalam perjalanan. Usai makan, kami melanjutkan perjalanan dengan melewati areal perusahaan milik Pertamina. Pemandangan yang tersaji begitu indah. Kerlap lampu dari jauh begitu memesona.
Makan Elai di atas pick up
Saat berkeliling, kami melewati deretan penjual durian. Tanpa berlama-lama kami langsung singgah. Saya agak bingung saat penjual mengatakan bahwa yang kami lihat bukan durian. Buah yang mirip durian ini bernama Elai. Buah khas Kalimantan. Kami membeli satu buah, untuk dicoba. Ketika penjualnya mulai membelah buah Elai hujan begitu deras turun. Kami langsung naik ke mobil pick up milik penjual.
Sambil tertawa kami mulai bercerita tentang perjalanan kami. Dari pemilik pick up, kami dapat banyak informasi soal jalur menuju Kalimantan Selatan. Jalur ini tidak asing baginya, sebab dia sering memasarkan buah hingga ke sana.
Saya tak sabar ingin mencoba Elai. Berbeda dengan durian, isi buahnya berwarna kuning terang, bahkan menurut sang penjual jika sudah sangat matang, isinya akan berwarna oranye dan maron. Katanya, makan banyak Elai tidak akan membuat pusing. Dengan hati-hati saya memasukkan Elai ke mulut dan saya ternyata konsisten. Sebagai pencinta durian, saya hanya mampu menghabiskan sebiji saja. Sisanya, Bios yang makan. Itu juga tidak sampai habis. Rasanya agak tawar. Aromanya tidak menyengat. Kalau saya tidak keliru menggambarkan, rasanya hampir mirip seperti durian yang belum tua, tapi sudah matang.
Seiiring dengan percakapan bersama penjual Elai, hujan mulai mereda. Kami terbahak saat mengetahui jika salah satu penjual Elai pernah lama tinggal di Bitung. Mengetahui Novi berasal dari Bitung, dengan yakin penjual Elai berkata kepada Novi, jika kembali ke Bitung sampaikan salamnya kepada bapak Ahmad. Kami bersenda gurau, dan menjadikan itu guyonan. Novi yang tidak kenal bapak Ahmad pun terbahak-bahak. Kami meninggalkan penjual Elai dengan hati gembira.
Malam makin larut, kami kembali ke hotel dan istirahat. Besok perjalan panjang telah menanti. Kami akan kembali ke pelabuhan Kariangau. Kali ini bukan ke Palu, tapi menyebrang ke Penajam. Calon ibu kota negara yang selama ini hanya saya lihat dan baca di media.
Kami akan melintasi jalur Trans Kalimantan, melihat, merasakan, dan mengamati lebih dekat. Berkelana di setiap jengkal Kalimantan untuk dijadikan alasan sekian banyak nikmat untuk disyukuri. Kami menutup hari dan bersiap untuk kejutan-kejutan di perjalanan selanjutnya.
Bersambung