Artikel ini sebelumnya telah tayang du The Conservation, yang ditulis oleh: Andrianto Ansari, Universitas Gadjah Mada
Perubahan iklim dapat menyebabkan perubahan curah hujan yang berdampak pada kekeringan di suatu wilayah, dan banjir di wilayah lainnya, serta peningkatan suhu yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Kondisi tersebut berisiko mempengaruhi produksi sekaligus kualitas beras – makanan pokok yang dikonsumsi 90% masyarakat Indonesia. Pasalnya, padi merupakan tanaman yang sensitif terhadap perubahan suhu dan pasokan air.
Padi membutuhkan debit air sebesar 450-700 milimeter (mm) selama musim tanamnya atau sekitar 1,9 – 2,25 mm/hari. Jika padi kekurangan air, terutama selama tahap tanam dan reproduksi, maka pertumbuhannya akan memburuk. Serangan hama penyakit tanaman juga berisiko lebih intens.
Pertumbuhan tanaman padi pun rentan terhadap perubahan suhu. Kondisi ideal untuk tanaman padi berkisar 25 – 28 °C dan tidak lebih dari 35 °C. Jika suhu melebihi angka itu, maka kualitas maupun kuantitas produksi beras dari padi akan terganggu.
Studi yang saya lakukan menganalisis dampak perubahan iklim terhadap produksi beras di Wonogiri, salah satu sentra pangan Jawa Tengah. Hasilnya, pada 2050, temperatur di kawasan tersebut akan naik 1.3 – 2.0 °C. Pada waktu yang sama, kenaikan suhu akan mengubah pola hujan secara spasial (wilayah) dan temporal (waktu). Akibatnya, produksi beras kawasan tersebut akan berkurang sekitar 2,56 – 11,77 persen pada 2050 .
Penelitian yang saya lakukan menjadi asesmen pertama ihwal dampak perubahan iklim terhadap produksi tanaman di lokasi tertentu. Kita perlu lebih banyak membuat pemodelan iklim dan tanaman di masa depan berbasis suatu lokasi, terutama lumbung pangan nasional. Pemodelan diperlukan karena efek iklim regional bisa saja berbeda satu sama lain.
Pentingnya membuat model iklim dan tanaman berbasis daerah
Model iklim akan memprediksi iklim di masa depan. Sedangkan model tanaman mensimulasikan pertumbuhan dan hasil tanaman berbasis data iklim masa depan serta data lainnya seperti data sifat tanah, praktik pengelolaan, dan karakteristik agronomi.
Dalam hal ini, penggunaan model iklim sebagai input pada model tanaman dilakukan melalui beberapa skenario yang disusun para ilmuwan dari Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change, atau IPCC), yakni Representative Concentration Pathway (RCP) 2.6 (risiko rendah), RCP 4.5 (risiko menengah), RCP 6.0 (risiko cukup berat), dan RCP 8.5 (risiko amat berat).
Skenario tersebut akan menghasilkan data iklim yang berbeda-beda baik suhu maksimum, suhu minimum, curah hujan, intensitas matahari serta konsentrasi karbon dioksida.
Perbedaan data iklim tersebut berpengaruh pada pertumbuhan dan produksi beras karena padi memiliki respons yang berbeda terhadap suhu, ketersediaan air, ataupun intensitas sinar matahari.
Pemodelan akan menjadi bekal bagi petani untuk menyusun langkah – langkah antisipasi dampak perubahan iklim terhadap pertumbuhan dan produksi beras di sawahnya.
Strategi berbasis pemodelan
Pemodelan iklim dan tanaman berbasis lokasi dapat dimanfaatkan petani secara langsung. Misalnya, berbasis data tersebut, petani dapat mengubah tanggal tanam yang akan membantu mencegah banjir di musim hujan dan potensi kekurangan air di musim kemarau. Strategi ini bertujuan untuk mencegah gagal panen yang mempengaruhi produksi beras.
Strategi pindah tanam (transplanting) – teknik memindahkan suatu tanaman ke tempat lain – juga dapat diberlakukan untuk menyiasati efek iklim regional yang bervariasi.
Selain itu, penerapan praktik pengelolaan pupuk yang tepat, seperti meningkatkan frekuensi dan dosis aplikasi pupuk, jumlah pupuk yang diterapkan setiap aplikasinya, dan penggunaan bagan warna (alat bantu pemupukan berdasarkan warna daun padi), menjadi faktor penting dalam meningkatkan produksi padi.
Misalnya, penggunaan pupuk nitrogen (N) yang tidak dapat menyeimbangkan kadar fosfor (P) dan kalium (K) akan berdampak negatif terhadap hasil padi, kualitas tanah, dan lingkungan sekitarnya. Risiko lainnya adalah rubuhnya tanaman, persaingan gulma, dan serangan hama.
Petani juga mesti menerapkan manajemen terpadu nutrisi tanaman (IPNM) agar meningkatkan efisiensi nutrisi secara bijaksana untuk meningkatkan kesuburan dan kelestarian tanah. Contohnya adalah penggunaan nutrisi pupuk dari sumber organik yang tersedia di lahan pertanian.
Hal lainnya yang patut diterapkan adalah pengembangan asuransi tanaman. Ini penting untuk melindungi ekonomi petani dari risiko ketidakpastian terkait iklim.
Bagi pemerintah, pemodelan iklim dan tanaman dapat diprioritaskan di kawasan lumbung pangan nasional. Strategi-strategi adaptasi yang tepat berbasis data iklim juga mesti disosialisasikan secara masif kepada kelompok tani.
Hal lainnya yang dapat dilakukan pemerintah adalah memperbaiki pengelolaan irigasi, mengembangkan area pertanian baru, dan mengembangkan varietas tanaman tahan panas.
Andrianto Ansari, Lecturer, Universitas Gadjah Mada