Bagian 5 dari catatan perjalanan ke Kalimantan ini dapat dibaca di sini.
ZONAUTARA.com – Pada pagi yang dingin kami meninggalkan hotel Mirama Balikpapan, Kalimantan Timur. Genangan air sisa hujan semalam mempertegas gigil. Tidak seperti biasanya, kami berempat lebih banyak diam, hanya laju motor yang terus dipacu, perlahan-lahan berpindah membawa kami kembali ke pelabuahan Kariangau.
Di Karingau, kami memesan tiket untuk bisa menyeberang ke Penajam Paser Utara. Dengan sewa tiket Rp30 ribu per motor kami menaiki KPM Srikandi Nusantara yang antri sandar di pelabuahan. Untuk rute ini, setiap harinya selalu ada kapal yang bolak-balik berangkat selama 24 jam. Kami tidak harus terburu-buru karena takut ketinggalan kapal seperti pelayaran sebelumnya.
Pemandangan tersaji begitu indah. Pohon bakau berjejer menyambut tatapan saat saya pertama kali membuka mata di atas kapal. Lalu lalang kapal yang saling berbagi suara klakson saat berpapasan membentuk sebuah keakraban yang susah diungkap kata-kata. Nahkodanya melambaikan tangan sambil tertawa saat saya yang berada tidak jauh dari ruang kemudi dengan spontan berteriak: “om telolet om”.
Rusa di calon ibu kota negara
Keindahan alam telah membuat perjalanan terasa cepat, tiga puluh menit menit berlalu dan saya terlambat menyadarinya. Kami harus turun dari kapal. Dalam hati saya mulai merapal mantra, melangitkan doa-doa berharap pemilik semesta menjaga perjalanan kami. Belakangan barulah saya menyadari, perjalanan jauh menjadikan saya merasa lebih dekat dengan Sang Yang Maha.
Walau langit selalu nampak mendung, dan tak sebiru yang kerap saya lihat di Sulawesi, namun setiap hal baru yang saya temui adalah kesyukuran tak terkira. Saya sedang tidak di dalam di rumah-rumah ibadah, tapi saya ada di semesta di mana setiap kita harusnya sama. Kecil!.
Memasuki Penajam Paser Utara, saya membuka mata lebar-lebar. Saya ingin melihat seperti apa calon ibu kota negara Indonesia baru sebelum dan setelah pusat pemerintahan benar-benar dipindah. Saya takjub, memang semua terasa luas. Tidak ada rumah berdempet-dempetan atau kumuh seperti yang pernah saya liat di Penjaringan, Jakarta.
Saya tidak bisa membayangkan 10 tahun ke depan, apakah lahan yang luas masih sama luasnya. Pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba buyar, saat dari jauh di depan kantor bupati terlihat ada patung rusa. Sepertinya, bersama burung elang (yang patungnya juga ada di sana) rusa menjadi ikon Penajam Paser Utara.
Saya antusias untuk bisa segera mendekat, berpose ala-ala sambil berdoa. Semoga rusa-rusa ini bisa tetap lestari sekalipun ibu kota negara telah benar-benar dipindah.
Kak Ronny disibukkan dengan saya yang begitu aktif selalu minta difoto. Setelah puas, dengan gaya setengah gila saya pamit ke patung rusa. Saya tidak malu-malu, lagipula di sini, kita semua asing.
Makan di Kuaro
Kendaraan mulai kami pacu. Seperti biasa saya menyanyi sesuka hati. Saat kecil, saya pernah bercita-cita menjadi seorang penyanyi. Nenek selalu bilang suara saya bagus, walau kenyataannya tidaklah begitu. Meski demikian, Kak Ronny senang mendengar saya menyanyi, setidaknya itu menghindari potensi kecelakaan akibat saya tertidur.
Suara mulai parau. Cacing-cacing di perut seakan protes, minta diisi. Dari Google Map saya tahu, masih butuh 15 menit lagi untuk sampai di Kuaro. Akhirnya, setelah sabar terbakar terik, kami sampai di simpang jalan di Kuaro.
Kami mampr di kedai makan. Di kedai itu ada bagian yang penuh ditempeli stiker. Sepertinya, memang kedai itu tempat para pejalan singgah. Sayang, saat kami mampir kedai tersebut dipenuhi puluhan polisi yang sedang makan. Kami pindah di kedai sebelah, soto ayam, dan lalapan menjadi menu pilihan.
Kepada pemilik kedai, saya membagi stiker torang_bapontar. Mereka terheran-heran mengetahui kami dari Manado dan berkendara motor hingga ke Kalimantan. Kami didoakan sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
Untuk ukuran kedai dan menu seperti itu, bagi saya yang bertugas mencatat semua pengeluaran selama perjalanan, harga makanannya lumayan mahal. Tapi, doa-doa baik bagi kami tidaklah terbeli. Sebab, kami bahagia melanjutkan perjalanan dengan banyak doa.
Wisata Goa Losan
Jalanan lurus dan berkelok. Perjalanan membawa kami mulai masuk ke desa-desa yang jauh dari kota. Bebatuan, tebing, dan terik membuat kami mulai kehausan. Kami singgah di sebuah warung membeli minuman dingin bersoda.
Di sana, kami melihat seekor burung, seperti merak tapi ukurannya sedikit lebih kecil. Kami berdebat, Kak Ronny bilang itu burung, Bios bilang sepertinya bebek. Karena penasaran, saya bertanya pada pemilik warung. Kami terbahak-bahak ketika tahu bahwa itu bukan burung atau bebek melainkan ayam. Ayam hutan Borneo.
Kami melewati pasar-pasar tradisional, banyak buah yang baru bagi saya, salah duanya adalah keledang dan cempedak. Jenis unggas yang dijual juga terlihat beragam. Kami kian bersemangat untuk melihat ‘Kalimantan’.
Tanpa terasa, kami mulai masuk dan melewati jalanan yang menanjak. Setelahnya, kami terhenti di sebuah goa. Di bawah ada gapura kecil dengan tulisan: Wisata Goa Losan.
Goa ini tereletak di desa Batu Botuk, Kecamatan Komam, Kabupaten Paser. Menurut warga di sekita goa, di dalam goa ada banyak sekali kelelawar. Sayang, kami tidak bisa masuk. Sejak pandemi, kunjungan ke goa ini ditutup. Hal ini tidak membuat kami patah semangat. Di depan gapura masuk, kami tetap berswafoto. Menikmati dan mensyukuri pernah berada di sini.
Hari mulai sore, kami kembali melanjutkan perjalanan.
Keramahan orang Kalimantan di Desa Lano
Perjalanan semakin jauh, asing, dan baru. Tebing mulai memagari pandangan mata, setelah desa Batu Botuk, jalanan yang kami lewati sudah sepi. Antara satu desa dengan desa lainnya berjauhan. Saya tidak yakin jika di depan masih ada desa lagi.
Saat jalanan menanjak kami mulai melihat pegunungan. Seperti rencana awal, untuk istirahat kami harus segera berada di perbatasan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Entahlah, ini akan berapa lama lagi, gumam saya.
Kami menambah kecepatan, berharap tidak akan bertemu malam di jalan. Setelah melewati berbagai medan, Kak Ronny berkata melalui HT kepada Bios, di depan jalan sudah perbatasan. Kami mempersiapkan kamera, berharap bisa merekam momen ini. Dengan sedikit patah hati, kami tidak menyangka bahwa ternyata gapura perbatasan terbilang kecil untuk ukuran perbatasan provinsi.
Sekilas saya mengamati pos penjagaan polisi, deretan warung-warung sebelum jalanan mulai menurun. Tidak jauh dari perbatasan, terlihat banyak orang. Kami memutuskan singgah istirahat, kami singgah di lokasi Wisata Air terjun Lano. Kami sudah berada Kalimantan Selatan.
Kami langsung memilih salah satu warung makan dan memesan kopi sebelum mengeksplore lebih jauh air terjun yang katanya selalu ramai setiap akhir pekan.
Saat yang lain asik menyeruput kopi, saya teringat pesan mendiang nenek. Katanya jika kita berperilaku baik di mana pun kaki kita berpijak kita akan diterima sama baiknya. Saya merasa jadi orang yang eling saat mengingat nasehat nenek di desa Lano ini. Ada setangkup ketenangan dan pembelajaran hidup saya selip bersama Al-fhateha.
Di sini saya sangat terkesan, bukan karena air terjunnya tapi karena keramahan warga desa. Kami disambut sangat baik. Ibu Desi dan bapak Ferdy (pemilik warung makan yang kami singgahi) mulai mengemas sisa dagangan dan bersiap pulang ke rumah. Kami tak lupa memesan makanan untuk persiapan makan malam. Suara ibu-ibu dari warung sebelah sama ramahnya menyapa, menawarkan air kelapa muda. Ia juga tak lupa meninggalkan termos berisi air panas.
Hari mulai gelap, suara motor pengunjung yang hendak pulang seperti terdengar bersahut-sahutan dengan suara burung hantu. Dingin mulai terasa di tubuh, kepada pengelola tempat wisata ini, kami izin agar bisa tetap tinggal dan membuka tenda.
Di desa ini aliran listrik belum masuk. warga desa menggunakan kincir angin, kapasitasnya juga terbatas. Tapi oleh warga, kami dibagi pencahayaan, air panas, kompor, bahkan obat nyamuk. Mereka juga mempersilahkan kami jika hendak menggunakan fasilitas di warung-warung makan milik mereka. Kami yang awalnya berencana buka tenda, mengurungkan niat. Apa yang diberi warga desa adalah kemewahan yang tiada ternilai harganya.
Sebelum meninggalkan kami, bapak Ferdy menjelaskan kondisi desa, lokasi Polsek dan klinik kesehatan terdekat. Dia berpesan, karena kami istirahat di warung makan miliknya, jadi jika ada orang yang datang, kami diminta mengaku sebagai saudaranya. Ini agar warga desa lain yang tidak tahu keberadaan kami tidak akan terkejut dan curiga.
Sepiring kecombrang tumis, pakis campur jamur, sebakul nasi, 4 potong ayam tepung, 4 cup pop mie dan 4 telur rebus ditata di dalam lemari makan. Tak lupa ibu Desi juga mengatur peralatan makan sebelum pamit meninggalkan kami. Kami berterima kasih sekaligus minta maaf karena harus pamit subuh nanti berangkat meninggalkan desa ini.
Mungkin ini akan jadi pertemuan pertama dan terakhir kami bersama ibu Desi dan bapak Ferdy juga warga desa Lano lainnya. Kami mengakhirkan kebersamaan dengan berpelukan sambil mengabadikannya lewat foto. Sekali lagi, keselamatan dan kelancaran perjalanan kami didoakan banyak orang.
Matahari telah jatuh, malam begitu hitam. Tak lama kemudian lampu pijar 5 watt menyala. Suara-suara burung, kodok, jangkrik, gemercik air sungai, berpadu kabut telah membentuk harmonisasi. Seperti kemewahan di alam liar, walau sunyi dan dingin, namun jiwa saya terasa hangat.
Semakin malam semakin beku. Walau telah membungkus sekujur tubuh, saya tetap tidak bisa merasakan jari-jari kaki. Kami memanfaatkan bangku dan meja jualan warga untuk dijadikan tempat tidur. Beginilah diri melucuti keangkuhan dan kembali ke kehidupan alam yang hidup, benar-benar hidup.
Dingin membuat kami kesulitan terlelap. Akhirnya kami memutuskan untuk bangun menghangatkan tubuh. Air panas di termos yang ditinggalkan warga kami manfaatkan untuk membuat kopi dan memasak mie instan.
Dengan suara yang kian parau kami tertawa membayangkan telah sampai di Kalimantan. Menikmati malam dengan khusyuk penuh kesyukuran. Tak berselang lama beberapa bapak-bapak dari desa datang. Mereka menjaga kami, siapa tahu saja ada yang kami butuhkan. Setelah lebih dari dua jam mereka pamit dan berpesan, jika butuh makanan atau air panas lagi, jangan sungkan untuk ke desa. Sungguh kebaikan yang mulai jarang kami lihat di kota-kota.
Perjalanan telah membawa kami singgah di banyak tempat, tapi di Lano dingin berubah menjadi hangat. Kami memang tidak bisa benar-benar istirahat, kedamaian dan keramahan terlalu sayang untuk dikalahkan rasa kantuk.
Penantian kami pada pagi membawa jumpa dengan kumandang adzan subuh. Dengan kelapangan dada, kami meninggalkan desa Lano menyusuri kabut pagi yang romantis. Keindahan ini beberapa kali diabadikan oleh Novi. Saat menikmati semuanya, saya berucap dalam hati: semoga setiap kejutan, keindahan, dan kedamaian yang kami temui di perjalanan membuat kami tidak ingkar dengan apa pun. Seperti kehidupan yang juga sebuah perjalanan, seperti inilah perjalanan kami.