Bagian 6 dari catatan perjalanan ke Kalimantan ini dapat dibaca di sini.
ZONAUTARA.com – Semilir angin pagi terasa di wajah menembus keujung-ujung jari tangan. Sejak meninggalkan desa Lano, yang sudah masuk wilayah Kalimantan Selatan, sarung tangan yang biasa menjadi pelindung dari rasa dingin sengaja saya lepas. Tak ada lagi kabut menghalangi jarak pandang seperti sebelumnya. Warna-warni buah rambutan terlihat jelas di depan rumah-rumah warga, sepertinya memang sedang musim.
Jalanan sempit, panjang juga sangat lurus. Rasanya, saya belum pernah melihat jalanan seperti ini di Sulawesi. Sepanjang pandangan ke depan, jalanterlihat seperti garis lurus. Sedikit kendaraan melintas, mungkin masih pagi. Kami sempat berhenti sejenak, memastikan barang-barang tetap erat terikat. Setelah semuanya aman, kami kembali berpindah menanti kejutan apa yang akan kami temui di tempat selanjutnya.
Tanjung Bersinar Park Tabalong
Matahari perlahan membagi sinar membuat hari kian terang, setelah melewati beberapa pasar tradisional serta lahan-lahan kosong, kami kembali memasuki wilayah pemukiman warga. Aktifitas di pagi hari berlangsung sama seperti di tempat lain. Hanya kendaraan perusahaan mulai lalu-lalang memadati ruas jalan yang semakinlebar. Kami tiba di Kecamatan Tanjung, ibu kota Kabupaten Tabalong. Sebagai ibu kota kabupaten, Tanjung terbilang cukup ramai.
Setelah memasuki wilayah ibu kota, kami melewati monumen  Tanjung Puri atau lebih dikenal dengan Tugu Obor Tabalong, lokasinya di Kecamatan Murung Pudak. Tak jauh dari sana, terlihat pula Tanjung Expo Center yang berdekatan dengan ruang terbuka hijau Tanjung Bersinar Park.
Kami singgah untuk merenggangkan tubuh. Banyak orang jogging, saya tidak begitu peduli. Di tempat duduk yang terbuat dari beton saya langsung merebahkan badan. Dari seberang Novi dan Bios memesan tiga gelas kopi dan satu gelas teh tawar.
Seperti kebanyakan teh yang saya minum saat mulai memasuki pulau Kalimantan, aroma melati dari gelas berbahan plastik yang diantarkan langsung oleh penjualnya begitu kuat, membuat suasana hati menjadi lebih baik. Apalagi ditambah dua porsi gorengan, tempe dan buah sukun goreng. Kombinasi yang menenangkan sekaligus mengeyangkan.
Tak hanya itu, suasana kami menjadi kian bersemangat saat melihat cabe di antara gorengan. Cabenya berbeda dengan cabe yang biasa kami lihat. Kami menjadikan cabe tersebut sebagai goyonan di video. Ukuruan cabe yang besar, kami gambarkan seperti ukuran telunjuk, tapi memperlihatkan jari kelingking dan ibu jari sebagai pembanding.
Bebas-bebas saja, sesuka hati kami menghargai rasa humoris yang tiba-tiba muncul di tengah rasa capek. Seperti anak kecil mendapatkan mainan baru, kami begitu senang. Sebab itu, selain fasilitas publik yang bagus, cabe di gorengan menjadi momen menggembirakan di Tanjung Bersinar Park.
Setiap jelajah kami selalu terukur. Makanya, kami tidak bisa lebih lama tinggal di tempat yang kami singgahi, seindah atau senyaman apa pun itu. Ada target dan jadwal yang harus disiplin kami taati. Tentu semua itu telah diatur sejak perencanaan awal perjalanan kami.
Setelah buang air kecil, kami pun meninggalkan Tanjung Bersinar Park. Matahari sudah berada di atas kepala, kami terus memacu kendaraan. Menargetkan Kandangan sebagai tempat pemberhentian selanjutnya.
Tak bertemu ketupat Kandangan, makanan khas banjar lain pun jadi
Napas hangat naik turun di dalam tubuh yang mulai lelah. Sudah ada sekitar enam puluh tujuh permintaan sumbangan rumah ibadah yang berhasil saya hitung sejak dari Kotamobagu hingga Kalimantan Selatan. Dan Kandangan masih jauh. Entah sudah berapa jarak dan waktu yang kami tempuh sejak dari Tabalong.
Semakin lama, keyakinan akan titik pemberhentian sudah dekat makin kuat, beberapa warung oleh-oleh mulai bisa mengindikasikan hal tersebut. Paling familiar adalah dodol ibu Mita asli Kandangan. Dalam hati saya penasaran, ibu Mita berhasil membuka cabang di mana-mana, seperti apa rasa dodolnya? Tapi rasa penasaran itu dikalahkan oleh rasa penasaran lain: berapa lama lagi bisa sampai di Kandangan.
Katanya di Kandangan ada kuliner yang sayang dilewatkan, yaitu ketupat Kandangan. Sejak awal perjalanan kami ke Kalimantan terendus, beberapa kenalannya kak Ronny sudah menyarankan kuliner ini. Dan benar saja, sekilas saya seperti melihat ada warung makan dengan tulisan Ketupat Kandangan, tak lama disusul tulisan dodol ibu Mita Kandangan berjejer mewarnai perjalanan.
Tanpa saya sadari kami sudah berada di Kandangan. Kami bersepakat mencari rumah makan ketupat Kandangan, sayang Google Map justru mambawa kami masuk lebih dalam ke arah pasar, dan karena kami sudah sangat lapar, terpaksa kami berhenti  di sebuah rumah makan, rumah makan Lia namanya.
Aroma khas mulai kuat memenuhi hidung saya. Aroma-aroma yang seperti mempertegas identitas. Saking kuatnya, saya merasa bisa mencium aroma tersebut di satu kota. Kondisi seperti ini sama seperti yang saya rasakan saat saya di Bali dan Lombok, tapi jelas aroma ini berbeda. Barangkali bumbu khas, atau aroma khusus untuk upacara dan ritual adat, saya tidak tahu pasti.
Di tengah segala ketertarikan saya dengan aroma baru di Kandangan, saya dikejutkan dengan berbagai menu khas Banjar yang sudah dipesan Bios. Cempedak goreng, haruan, udang, sambal Banjar dan menu lain yang asing bagi saya. Tak ada pilihan, kami harus makan. Untuk mengganjal perut, saya pilih aman dengan memesan prekedel jagung.
Keindahan Martapura
Setelah perut terisi, tanpa buang waktu kami melanjutkan perjalanan. Ketika kami pamit, hampir semua mata di warung makan Lia tertuju pada kami. Apalagi saat mendengar kisah perjalanan kami. Kami seperti superhero yang siap berangkat ke medan laga. Lupakan!
Semenjak meninggalkan Kandangan, aroma khas itu belum juga hilang, bahkan saya merasa aromanya sampai melekat di pakaian. Penting bagi saya mengingat aroma ini sebagai perjalanan melihat identitas dan keragaman Indonesia. Perjalanan yang menjadikan saya bangga untuk pada akhirnya memiliki paham inklusivisme. Ini klaim serius!
Tak terasa perjalanan sudah membawa kami sampai ke Martapura. Martapura adalah ibu kota Kabupaten Banjar. Sebenarnya, ini bukan pertama kali saya ke Martapura. Saat kuliah dulu, sekitar tahun 2010 atau 2011 saya pernah berkunjung. Kilau bebatuan dan intannya tersohor hingga ke pelosok nusantara.
Bagi saya Martapura adalah kota yang indah. Saya selalu berharap bisa kembali ke sini, sebab di sini sarat sejarah, ada makam guru Sekumpul. Selain itu ada masjid Al-Karomah atau yang dulunya dikenal dengan nama Masjid Jami’ Martapura dibangun 10 Rajab 1315 H ( 5 Desember 1897 M) oleh H.M. Nasir, H.M. Taher (Datu Kaya) , H.M. Apip (Datu Landak). Didukung oleh Raden Tumenggung Kesuma Yuda dan Mufti H.M. Noor. Saat itu, gaya masjid ini mirip dengan Mesjid Agung Demak yang dibangun Sunan Kalijaga. Atapnya pun kerucut seperti Mesjid Agung Demak, bukan kubah bulat seperti yang sekarang.
Karena banyak makam bersejarah, di Martapura akan mudah menemukan penjual bunga rampai. Bunga-bunga yang mengeluarkan aroma harum ini dirangkai sedemikian rupa. Bisa untuk ziara kubur atau dekorasi pernikahan.
Martapura memang menyimpan banyak pesona untuk ditelusuri, tapi keterbatasan waktu membuat saya hanya bisa menikmatinya di sepanjang perjalanan tanpa bisa singgah. Target kami berhenti di Banjarmasin, bukan di sini.
Dihibur musisi jalanan di Banjarbaru
Sepanjang perjalanan rasanya Martapura menjadi tempat favorit saya. Tidak tahu menurut teman seperjalanan saya yang lainnya, hanya saja menurut saya, Martapura memang terasa istimewa. Sekali lagi saya mengucap syukur.
Hari makin sore, kami menambah kecepatan, tak lama kami mulai memasuki Banjarbaru. Kota Banjarbaru kini telah menjadi ibu kota provinsi Kalimantan Selatan. Sebelumnya, Kota Banjarbaru merupakan sebuah kota administratif yang dimekarkan dari Kabupaten Banjar.
Saat melewati simpang empat Banjarbaru kami sangat bersemangat. Kami berhenti sejenak untuk mengabadikan momen ini. Berfoto dan bergembira. Banjarbaru menambah koleksi kota favorit saya. Bersih dan tertata sangat rapi. Belum puas menikmatinya, kami nenambah waktu istirahat.
Tak lama kami dihampiri dua orang pemuda lengkap dengan gitar. Mereka mampir dan mulai berinteraksi, dengan setengah memelas saya meminta agar bisa dinyanyikan sebuah lagu. Karena tak tega (mungkin), mereka yang semestinya buru-buru ke lokasi kerja, menyempatkan menyanyikan dua lagu untuk menghibur kami.
Tanpa pikir panjang, stiker torang_bapontar yang kami beri langsung ditempelkan di gitar. Sebelum meninggalkan kami, mereka memberi beberapa informasi, salah satunya soal universitas Lambung Mangkurat. Selain di Banjarbaru, universitas ini juga ada di Banjarmasin. Di depan gerbang masuknya kami singgah berswafoto.
Menginap di Mandastana Guest House Banjarmasin
Dari Banjarbaru kami mulai menyusuri jalan Ahmad Yani, jalan yang harus kami lintasi agar sampai ke Banjarmasin. Setelah berjam-jam di atas motor, kami mulai memasuki area dekat Bandara Syamsudin Nor. Karena sudah sore, jalanan dipadati kendaraan. Lumayan macet, tapi di langit matahari yang mulai jatuh menghadiahkan warna jingga. Baru kali ini macet bisa menjadi sangat membahagiakan, bisa dimanfaatkan untuk memotret senja yang dramatis.
Ketika berhasil keluar dari areal padat kendaraan, saya berpikir Banjarmasin sudah dekat. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya, jika lintasan jalan Ahmad Yani sepanjang ini. Kerlap-kelip lampu seolah mensugesti diri saya agar bisa segera istirahat. Ini sudah malam! Kali ini, saya harus setuju jika rasa lelah telah merobohkan pertahanan saya.
Perlahan kami memasuki Banjarmasin. Saya tidak bisa menikmati lagi, sebab yang saya pikirkan hanyalah bagaimana bisa segera mandi dan tidur.
Lewat sebuah aplikasi, kami akhirnya sepakat memilih Mandastana Guest House untuk dijadikan tempat menginap. Setelah sampai di lokasi, Mandastana tidaklah mengecewakan. Bangunannya terawat, fasilitasnya juga bagus dan yang paling penting kebersihannya patut diacungi jempol. Sangat nyaman dan cocok untuk memulihkan tenaga setelah perjalanan panjang.
Guyuran air panas dari shower sangat menyegarkan. Setelah puas membersihkan tubuh, saya ingin segera bergegas tidur. Tapi ada aturan yang harus saya ikuti. Mengisi perut (meski kau merasa tidak perlu) agar stamina bisa cepat pulih. Ini penting, sebab ritme perjalanan harus dijaga, salah satunya dengan makan secara teratur.
Kami akan makan malam, sebelum akhirnya menutup hari memulihkan tenaga agar lebih siap lagi menjajal kembali Trans Kalimantan. Target selanjutnya masih jauh.
Bersambung.