Bagian 7 dari catatan perjalanan ke Kalimantan ini dapat dibaca di sini.
Tiga puluh menit mandi sungguh membebaskan dari rasa gerah dan gatal setelah tiga hari tidak ganti baju sama sekali. Lipstik warna orens saya padu dengan wangi aroma terapi dari minyak angin membuat tampilan saya jadi lebih segar. Seperti terlahir kembali dengan semangat, saya siap menghadapi tawaran kehidupan di tempat yang baru, di BJM (Banjarmasin) ini.
Wisata kuliner Baiman Banjarmasin
Berbekal petunjuk Google Map kami menuju lokasi kuliner terdekat, namanya wisata kuliner Baiman. Suara raungan motor memecah kesunyian lorong-lorong—tempat kami menginap (bukan di jalan utama) agak masuk ke dalam. Sisa hujan sore membuat aroma tanah yang basah masih bisa tercium. Syukur, lobang di lorong-lorongnya tidak terlalu banyak, jalanan yang licin sudah cukup memberatkan perjalanan kami yang baru mandi.
Tidak butuh waktu lama, kami tiba di lokasi kuliner Baiman. Warung makan banyak berjejer, segala macam kuliner dijual di sini, sayang jalanannya tidak seramah senyum para penjual. Lobang, becek, dan berlumpur. Sangat kontras dengan jalan utama, lurus dan beraspal mulus.
Karena hujan, saya langsung berpikir mencoba makanan hangat dan berkuah. Pilihan saya jatuh pada rawon. Belum ada keberanian mencicipi kuliner khas, padahal ada banyak pilihan termasuk ketupat Kandangan yang sebelumnya gagal kami coba.
Dari penjual, saya baru tahu jika ketupat Kandangan adalah ketupat dengan ukuran jumbo (mungkin lima kali ukuran ketupat biasa) disajikan bersama ikan gabus asap yang dimasak dengan bumbu dan santan. Kelihatannya sangat menggoda, tapi saya belum terbiasa takut tidak kuat. Dan beruntung, pilihan saya tidak salah, rawonnya juara, sangat enak.
Saat makan, kami dihibur musisi jalanan. Ya walau sesungguhnya, kalau bisa memilih saya lebih pilih untuk tidak dihibur. Saya ragu menyematkan kata ‘musisi’, sebab suara dan nadanya sungguh berantakan. Kami tertawa saja!
Setelah kenyang, kami langsung ke penginapan menuruti cita-cita utama saya yang muncul sejak awal tiba di Banjarmasin: tidur.
Menara Pandang
Masuk penghujung Desember, hujan masih tabah mengguyur Banjarmasin. Padahal, sejak tiba semalam saya sudah merencanakan banyak hal. Dua hari menginap agar bisa recovery akan terasa lama jika berlalu begitu saja. Sayang, kondisi langit yang tidak pernah cerah membuat saya baru bisa keluar dari peraduan sore hari. Tidak mau berspekulasi, saya memilih destinasi dengan lokasi paling dekat. Dan pilihan jatuh pada Menara Pandang.
Rintik hujan tidak cukup membuat saya basah kuyup dalam waktu 15 menit. Saya nekat. Walau agak sepi, Menara Pandang menyimpan pesona bagi yang ingin berjuang melihatnya. Terutama saat berada di bagian lantai atas menara. Sekeliling kota Banjarmasin bisa terlihat jelas.
Sungai Martapura, kubah Masjid Raya Sabilal Muhtadin, dan panorama lainnya yang sangat indah. Saya yakin pasti akan jauh lebih indah ketika cuaca sedang cerah.
Selain pemandangan berupa lanskap kota, beberapa perahu yang berhilir mudik membawa penumpangnya di Sungai Martapura menjadikan Banjarmasin lebih terasa hidup. Hal semacam ini tentunya akan menjadi pengalaman yang begitu berarti dalam hidup saya. Lantaran tidak semua kota bisa menampilkan pemandangan yang begitu khas dan epik layaknya di Menara Pandang.
Berburu Kain Sasirangan
Puas keliling mengitari lokasi Menara Pandang, perhatian saya tertarik pada sebuah kampung wisata, yang tertulis di pamflet sekitar lokasi menara, namanya kampung Sasirangan. Di Kampung ini ada kain khas orang Kalimantan Selatan. Katanya, seseorang belum bisa dikatakan berkunjung ke Banjarmasin jika belum melihat/membawa pulang kain Sasirangan.
Dengan semangat saya dan Kak Ronny mendatangi kampung Sasirangan. Kebetulan lokasinya tidak terlalu jauh dari Menara Pandang. Kami mulai masuk ke dalam kampung, sekilas tidak ada yang beda. Sasirangan sama seperti kebanyakan kampung lain, hanya saja sebagai kampung wisata, saya merasa kampung ini terlihat agak sedikit kumuh. Barangkali karena terjangan air dari sungai Martapura yang menyisahkan sampah. Lagipula, sekarang sedang musim penghujan, air sungai bisa kapan saja menggenangi kampung ini.
Meski demikian, beberapa rumah masih terlihat menjual kain Sasirangan. Salah satunya adalah Amay Sasirangan. Kami singgah dan membeli beberapa lembar kain. Amay merupakan nama pemilik sekaligus penjual kain ini. Dari dirinya kami tahu bahwa kain Sasirangan dulunya digunakan sebagai media pengobatan bagi suku Banjar. Sasirangan sendiri merupakan teknik ikat.
Hingga sekarang, pengobatan menggunakan kain ini masih terus dilakukan, bahkan pada hari-hari tertentu pemerintah sering mengadakan festival kain Sasirangan. Permeternya kain ini dijual seharga Rp120 ribu. Amay menceritakan jika kain Sasirangan juga biasa disebut kain pamintan yang artinya kain permintaan, sesuai dengan keinginan. Konon, kain ini dulunya hanya untuk pengobatan, warisan permintaan putri Lambung Mangkurat.
Bagi saya, kain cantik khas tradisi Banjar di Kalimantan Selatan, Sasirangan, memiliki nilai historis yang menarik untuk dikaji. Saya menyimak apa yang dikatakan Amay secara saksama.
Katanya, saat ini sudah cukup berkembang, sebab kain Sasirangan umumnya sudah digunakan sebagai kain yang biasa digunakan pada acara-acara adat baik masyarakat maupun bangsawan suku Banjar. Kata Sasirangan sendiri berasal dari kata menyirang yang berarti menjelujur, karena dikerjakan dengan cara menjelujur kemudian diikat dengan tali raffia dan selanjutnya dicelup, hingga kini sasirangan masih dibuat secara manual.
Dengan sabar Amay menjelaskan, bahwa kain ini diwariskan secara turun temurun sejak abad XII, saat Lambung Mangkurat menjadi Patih Negara Dipa. Kain Sasirangan pertama kali dibuat oleh Patih Lambung Mangkurat setelah bertapa 40 hari 40 malam di atas rakit Balarut Banyu.
Kain sasirangan mempunyai bentuk dan fungsi yang cukup sederhana, seperti ikat kepala (laung), sabuk dan tapih bumin (kain sarung) untuk lelaki, selendang, kerudung, udat (kemben), dan kekamban (kerudung) untuk perempuan.
Hari mulai gelap, wisata di kampung Sasirangan kami cukupkan. Kami bergegas menuju pengiapan, tepat di depan sebuah toko buku kami harus menepi. Hujan lebat tiba-tiba turun. Karena hujan tak juga reda, kami akhirnya memutuskan melanjutkan perjalanan pulang menggunakan jas hujan.
Akhirnya kami sampai di penginapan, hujan masih terus mengguyur Banjarmasin. Dalam hati saya berdoa, esok subuh hujan tidak turun, untuk perjalanan yang cukup jauh dengan motor, hujan tidak akan jadi romantis lagi. Kami menutup hari. Istirahat untuk bersiap melanjutkan perjalanan lagi, target berikut adalah kabupaten Katingan.
Melintas dari wilayah WITA Ke WIB
Doa yang dipanjat semalam ternyata diijabah. Hujan benar-benar tidak turun. Setelah menyelesaikan sedikit urusan dengan resepsionis, karena ada kunci kamar yang hilang. Tapi, sepertinya kejadian seperti ini biasa terjadi. Kami hanya cukup membayar Rp50 ribu saja. Dan tepat pukul 06.04 Wita, kami berangkat meninggalkan Mandastana Guest House.
Udara masih dingin tapi sudah terasa biasa. Sejak perjalanan meninggalkan rumah di Kotamobagu, kami selalu mengawali setiap perjalanan kami dari suatu tempat ke tempat lain pada pagi buta. Barulah saat ini saya bisa melihat jelas, kenapa Banjarmasin disebut kota seribu sungai.
Tak hanya sei (sungai) Martapura atau Barito yang sangat besar, hampir semua sudut adalah anak sungai yang saling bertemu. Meski tidak seperti Balikpapan, Martapura, dan Banjarbaru yang menjadi kota favorit saya, tapi kehidupan di Banjarmasin sungguh menggambarkan sisi lain dari Indonesia. Kalau dahulu saya melihat kehidupan suku Bajo di atas laut, di Banjarmasin saya melihat kehidupan di atas sungai. Dan ini keren.
Tanpa saya sadari, perjalanan terus membawa saya ke tempat-tempat baru, termasuk di Kuala Kapuas. Kuala Kapuas sendiri merupakan ibu kota kabupaten Kapuas. Saya begitu sumringah saat tahu ternyata kami telah meninggalkan Kalimantan Selatan dan tiba di Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah menjadi provinsi ke-6 yang kami datangi.
Di Kuala Kapuas kami singgah sarapan di warung Alisa. Kami sarapan bubur Banjar. Buburnya sangat enak, kami makan dengan lahap. Saat hendak melihat jam, saya agak bingung, perjalanan harusnya kami tempuh selama dua jam. Kami berangkat jam enam, harusnya tiba di sini jam delapan. Tapi, jam saya kembali memberi notif sekarang sudah jam tujuh. Seingat saya, sejam lalu, jam pintar saya juga memberitahu hal serupa. Artinya, jam saya dua kali menunjuk angka tujuh. Kami terbahak-bahak ketika mulai menyadari bahwa kami baru saja melintasi dua waktu. Waktu Indonesia Bagian Tengah (WITA) ke Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB). Ini rasanya luar biasa, seperti sedang melintasi lorong waktu. Kepada pemilik semesta, sekali lagi saya mengucap syukur.
Setelah kenyang sperti biasa, kami selalu meninggalkan stiker @torang_bapontar. Oleh pemilik warung, stiker kami langsung ditempel di lemari menu. Sepertinya dia sangat senang. Kondisi kami tampaknya menarik perhatian. Orang-orang yang sedang jogging tak henti-hentinya menatap kami. Kami hanya membalas dengan melempar senyum sampai akhirnya pamit dan berlalu meninggalkan Kuala Kapuas.
Banyak pengalaman dan pembelajaran dalam perjalanan ini. Saya percaya pada sebuah petuah, soal karakter manusia yang sesunguhnya akan terlihat ketika dalam situasi sulit. Perjalanan jauh ini, misalnya. Tidak semua yang ditawarkan tempat baru adalah keindahan. Banyak buruk dan sulitnya juga, namun itu adalah sebuah harga yang sepadan untuk bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain melihat tradisi dan budaya berbeda juga bertemu bermacam-macam orang.
Kunci dari perjalanan, seperti nasehat Kak Ronny adalah menjaga perilaku kita yang baik, agar bisa diterima semua orang. Kak Ronny sudah mempraktikkan itu, lebih dari setengah Indonesia sudah dia datangi, dan sejauh ini semuanya aman-aman saja. Semoga kami bisa melindungi diri sendiri dari perilaku yang tidak pantas. Target kami masih jauh, untuk sampai masih harus berjuang keras.
Bersambung