bar-merah

Tiga alasan mengapa penundaan pemilu 2024 harus ditolak

pemiliu 2024
Ilustrasi (image sebagian dari Freepik.com)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di The Conversation yang ditulis oleh: Fakhris Lutfianto Hapsoro, Sekolah tinggi Ilmu Hukum IBLAM Jakarta

Wacana penundaan pemilu 2024, sehingga masa jabatan presiden dan wakil presiden dapat berlanjut paling tidak hingga 2026,
menimbulkan kegelisahan bagi banyak kalangan.

Artinya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo akan menjabat selama tujuh tahun, masa jabatan terlama untuk presiden sejak lahirnya reformasi.

Penundaan pemilu 2024 ini juga pada dasarnya tidak memiliki dasar hukum. Namun, elit politik justru sibuk mencari celah untuk melegalisasikannya melalui perubahan konstitusi atau Amandemen UUD 1945.

Memang, hingga tulisan ini dinaikkan, belum ada usulan formal perubahan konstitusi terkait penundaan pemilu 2024. Akan tetapi, mengingat aktivitas legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang kerap dilakukan secara senyap, maka dari sekarang kita patut menyuarakan penolakan terhadap wacana tersebut berdasarkan tiga alasan berikut:

Pertama, penundaan pemilu 2024 bukan hanya akan memperpanjang masa jabatan presiden dan wakil presiden, melainkan juga memperpanjang masa jabatan anggota parlemen, yakni DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Hal ini karena Indonesia menerapkan konsep pemilu serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta memilih anggota dewan atau legislator, sebagaimana yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang merupakan implementasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013.

Selain itu, perpanjangan masa jabatan presiden juga otomatis akan berdampak pada masa jabatan kabinet pemerintah.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa upaya penundaan pemilu merupakan cara oligarki bagi para elit politik untuk melanggengkan kekuasaannya.

Kedua, penundaan pemilu melanggar dan melecehkan konstitusi.

Kewajiban melaksanakan pemilu untuk memilih presiden, wakil presiden, beserta anggota parlemen telah diatur secara konstitusional di dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut secara tegas telah mengatur bahwa pelaksanaan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

Dengan demikian, wacana penundaan pemilu ini jelas sama sekali tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Adapun jika dilakukan perubahan konstitusi melalui amandemen UUD 1945 untuk melegalisasikan penundaan pemilu 2024, hal itu justru bertolak belakang dengan konsep konstitusi itu sendiri karena perubahan konstitusi tidak boleh dilakukan hanya untuk kepentingan elit tertentu saja. Perubahan konstitusi harus dilakukan demi kepentingan semua kalangan di suatu bangsa.

Sebagaimana penegasan Cheryl Saunders, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Melbourne, Australia, yang dikutip oleh Susi Dwi Harijanti, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, dalam presentasinya yang berjudul “Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia” bahwa konstitusi merupakan kumpulan dari aspirasi, harapan, dan cita-cita seluruh kalangan di suatu bangsa.

Dengan kata lain, penghidupan kembali wacana penundaan pemilu 2024 merupakan bukti nyata adanya usaha pelanggaran dan pelecehan terhadap konstitusi (contempt of constitution) sebagai hukum tertinggi di negara ini.

Para pengusul dan pendukung wacana ini jelas-jelas menampakan dirinya sebagai pelanggar hukum yang hanya mementingkan ego kekuasaan semata (machtsstaat) tanpa memperhatikan prinsip-prinsip negara hukum (rechtsstaat).

Wacana penundaan pemilu 2024 juga membuktikan bahwa para pejabat publik tidak memahami prinsip konstitusionalisme tentang pembatasan kekuasaan (limitation of power) agar tidak terjadi kesewenang-wenangan, sebagaimana yang dijabarkan oleh Richard S. Kay, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Connecticut, Amerika Serikat, yang dikutip oleh M. Laica Marzuki, Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, di dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “Konstitusi dan Konstitusionalisme”, bahwa salah satu bentuk konstitusionalisme adalah adanya pembatasan kekuasaan, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah.

Sikap Presiden Jokowi yang menganggap usulan penundaan pemilu 2024 adalah bagian dari demokrasi menunjukkan ketidaktegasan seorang pemimpin negara. Seharusnya beliau paham bahwa usulan tersebut justru bertentangan dengan prinsip demokrasi yang dijamin oleh konstitusi.

Keterbukaan Presiden Jokowi terhadap wacana tersebut secara tidak langsung memunculkan asumsi bahwa beliau telah mengesampingkan kewajibannya untuk berpegang teguh pada UUD 1945, sebagaimana sumpah yang telah diucapkan di atas kitab suci berdasarkan Pasal 9 UUD 1945.

Sikap Presiden tersebut juga dapat diartikan sebagai bentuk pelanggaran sumpah jabatan dan pelanggaran terhadap konstitusi, serta pengkhianatan terhadap negara.

Presiden Jokowi seharusnya bersikap tegas menolak wacana penundaan pemilu 2024 dan memerintahkan partai koalisinya untuk berhenti mewacanakan langkah yang inkonstitusional tersebut.

Ketiga, memaksakan penundaan pemilu akan mencederai semangat reformasi dan prinsip kedaulatan rakyat.

Jika benar terjadi, kita akan kembali ke masa Orde Baru, yang memberikan ruang bagi seorang presiden untuk dapat berkuasa dalam jangka waktu yang sangat lama, seperti Soeharto yang menjabat selama 32 tahun.

Memberikan toleransi kepada penguasa untuk berkuasa dalam waktu yang lama akan membuka pintu tindakan kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan demi memenuhi kepentingan pribadi mereka, sebagaimana Lord Acton, seorang aktivis Liberal Catholic Movement di Jerman, pernah memperingatkan bahwa penguasa cenderung bertindak sewenang-wenang jika berada di puncak kekuasaan terlalu lama.

Tanpa penundaan pemilu pun rezim saat ini secara tidak langsung telah sedikit demi sedikit mengadopsi salah satu ciri khas Orde Baru, yaitu pembungkaman demokrasi.

Upaya penundaan pemilu 2024 adalah salah satu contoh dari sekian banyak pembungkaman demokrasi akhir-akhir ini. Usul penundaan pemilu 2024 juga sama sekali tidak melibatkan seluruh elemen masyarakat. Padahal sejatinya, pemilu seharusnya menjadi pesta rakyat, bukan pesta para elit.The Conversation

Fakhris Lutfianto Hapsoro, Lecturer of Constitutional Law, Sekolah tinggi Ilmu Hukum IBLAM Jakarta

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com