Bagian 9 dari catatan perjalanan ke Kalimantan ini dapat dibaca di sini.
Udara sore mulai terasa lembut menyentuh kulit, memberi suasana nyaman. Pikiran buruk dan kecemasan entah telah hilang ke mana. Sampit terlihat seperti Kotamobagu, seperti rumah. Tidak ada aroma khas atau situasi yang menciptakan rasa asing di dada. Kami mantap memasukinya.
Di sela-sela konsentrasi saat saya coba menangkap suasana kota Sampit, bunyi klakson mengagetkan saya. Di jalanan, sebuah mobil tiba-tiba menyalib laju motor kami. Seolah memberi kode, mobil itu menuntun kami memasuki halaman parkiran hotel Midtown Xpress.
Bertemu karib setelah bertahun-tahun lamanya
Kaca diturunkan, pintu mobil pun dibuka. Seorang lelaki keluar dengan sebuah senyum. Ia tak sendiri, seorang anak kecil berusia 5 atau 6 tahun menemaninya. Tanpa basa-basi tangannya langsung diulurkan ke arah Kak Ronny. Setelah berpuluh-puluh tahun berlalu kedua karib ini akhirnya bertemu kembali. Tangan saling menjabat erat, walau seperti agak canggung tapi ada gurat bahagia tersirat.
Pelukan hangat tidak akan cocok langsung dilakukan, debu memberatkan hati untuk merealisasikannya. Ya meski sebenarnya, tidak ada masalah sebab saya yakin banyak kenangan, kerinduan dan masa lalu bersejajar di hadapan ingatan mereka berdua.
Usai mereka berjabat tangan, Kak Ronny langsung memperkenalkan saya. Im! Katanya, kembali memperkenalkan diri. Saat melihat saya, dia tahu saya berasal dari Kotamobagu. Dia satu dari banyak orang yang lama memantau perjalanan kami. Dari media sosial dia aktif memberikan informasi soal kondisi trans Kalimantan.
Nostalgia harus dijeda dahulu, ada proses di resepsionis harus dilakukan. Sebenarnya, sebagai tuan rumah yang baik, Kak Im telah mengurus penginapan kami, jadi cukup validasi identitas saja. Setelahnya, kami bergegas memindahkan barang-barang ke kamar hotel, sebelum berangkat makan sore bersama.
Makan sore di Pondok Ikan Bakar Batu Mandi
Setelah menempuh ribuan kilometer, motor yang kami gunakan bisa mendinginkan mesin sejenak. Kami memutuskan meninggalkan motor-motor di parkiran hotel. Dengan menggunakan mobil Kak Im, kami diajak ke klinik untuk melakukan test PCR untuk keperluan perjalanan kami selanjutnya.
Setelah itu kami diajak ke pondok makan Ikan Bakar Batu Mandi. Sebenarnya,meski sudah sore, bagi kami ini adalah makan siang. Di jadwal kami harusnya demikian, tapi agak meleset. Kami tiba di Sampit saat hari mulai sore.
Begitu tiba, kami sangat menikmati kejutan-kejutan yang muncul, suasananya begitu memesona. Ternyata, pondok yang beralamat di jalan Baamang Hulu I Sampit ini, terletak langsung di tepi sungai Mentaya.
Dari atas pondok, aktifitas di sungai seperti hilir mudik klotok terlihat jelas. Bagi saya, sungai ini sangatlah besar. Saking besarnya, saya melihat banyak kapal-kapal bisa melintasi sungai ini. Saya mencatat di pikiran: Kalimantan memang mengoleksi sungai-sungai raksasa.
Satu persatu kami masuk ke dalam pondok, lesehan dan mulai saling menatap. Tak lama pelayan datang mengantar menu. Oleh Kak Im, kami direkomendasikan menu andalan, yaitu ikan Lais bakar. Selain itu, banyak pilihan seperti ikan Jelawat, Patin, Nila dan lainnya. Bagi saya, nama beberapa ikan terdengar asing. Kata Kak Im, ikan-ikan ini merupakan ikan endemik sungai-sungai di Kalimantan. Tak berani mencoba, saya memesan udang tepung.
Suasana hangat tercipta. Kak Ronny yang duduk bersebelahan dengan Kak Im saling melempar tawa ketika mulai berbagi ingatan dalam sebuah cerita masa lalu yang indah.
Menggelar kenangan di atas meja
Tawa kian melebar di bibir Kak Ronny saat menceritakan bagaimana dirinya bisa berkarib dengan Kak Im. Ternyata, Kak Im adalah teman sekelas saat masih bersekolah di SMA Negeri 3 Kota Gorontalo. Mereka banyak berkisah tentang susahnya berjuang kala itu. Saya yang juga duduk di sebelah Kak Ronny membiarkan mereka menggelar kenangan-kenangan, berusaha tidak memotong atau mengganggu.
Dari Kak Im, saya tahu jika Kak Ronny sering berjalan kaki, menempuh jarak sangat jauh agar bisa sampai ke sekolah. Selain itu, katanya Kak Ronny adalah siswa yang sangat cerdas. Saya tersenyum mendengarnya, setengah bercanda saya coba menggoda dengan pertanyaan lumaian serius. Kak Im bilang begitu karena kebetulan ada saya saja, kan?
Meski demikian, dalam hati tentu saya sangat yakin, memiliki keuletan begitu besar wajarlah kalau Kak Ronny dibilang cerdas. Itu pula salah satu alasan, kenapa saya bisa yakin menjatuhkan hati. Seperti ungkapan: I don’t need Google my husband know everythink seperti itulah saya selama ini dirawat dan didorong agar terus belajar bertumbuh. Dan setiap mengingat itu, saya selalu punya banyak alasan bisa bersyukur mendampinginya.
Nostalgia membawa mereka ke ruang yang semakin jauh, reuni mengenang masa dulu, mengingat dan berbagi kabar soal teman-teman lama. Dari pembicaraan itu, saya mendengar beberapa sudah berhasil. Ada yang jadi dokter, dosen, guru, politisi dan bahkan ada yang sudah meninggal dunia. Kak Im sendiri, setelah pensiun dari perusahaan sawit, saat ini dia memiliki kebun sawit sendiri. Sementara Kak Ronny memilih jalan menjadi seorang jurnalis.
Asyik bercerita, tak terasa makanan kami sudah tiba. Kami menikmati kebersamaan ini untuk disimpan kembali menjadi kenangan yang akan diingat sebagai bagian dari cerita hidup yang indah. Terlebih, saya menjadi sangat bersemangat saat tahu bahwa Kak Im berasal dari Bintauna, salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut).
Bolmut merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), yang sekarang menjadi 4 kabupaten dan 1 kota. Pecahan ini kemudian menamakan diri Bolaang Mongondow Raya (BMR) Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) tempat saya berasal. Rumah!
Menarik bagi saya, beberapa teman bahkan saudara Kak Im adalah orang-orang yang berteman/berhubungan baik dengan saya. Apalagi, Kak Im pernah bertumbuh kembang juga di Kotamobagu. Ia cukup lama bersekolah di sana, di kota saya. Ini bukan lagi pembicaraan soal kedua karib, tapi menjelma jadi pembicaraan keluarga. Mungkin memang tidak sedarah, tapi kehadiran kami memberi ruang untuk Kak Im kembali meniti jalan ingatan–kembali ke masa-masa berada di sekitar rumah.
Makanan, logat, juga kebiasan yang kami bawa bukan sebuah hal aneh bagi Kak Im. Bahkan mungkin justru menjadi hal yang dirindukan, sebab (sebenarnya) kami dari rumah yang sama.
Tugu Ikan Jelawat
Usai makan, kami diajak keliling Sampit. Kami mampir di Tugu Ikan Jelawat. Saat tiba, Kak Ronny dan Kak Im masih terus menikmati romansa masa lalu. Mereka asyik bercerita, sementara saya sibuk mengamati sekitar. Bios dan Novi mulai mengabadikan momen.
Katanya, tugu ini menjadi ikon kota Sampit. Ini mungkin karena banyak ikan Jelawat di sungai Mentaya. Tugu ini diresmikan tanggal 21 Februari 2015. Karena sudah sore, tempat ini banyak dikunjungi orang. Suasana ramai ini semakin hidup kala di langit terlihat ribuan burung walet beterbangan.
Tidak jauh dari tugu, terlihat sebuah penyebrangan feri. Walau agak jarang kita dapati, tapi kenyataannya sebuah pelabuhan dibangun di sungai. Luar biasa memang, beruntung kami bisa berada di sini.
Matahari mulai jatuh. Kami kembali diantar Kak Im ke hotel, untuk istirahat sejenak dan mandi. Malamnya adalah pergantian tahun. Kami menyarankan agar Kak Im tetap bisa bersama keluarga, lagipula kami pasti akan baik-baik saja.
Sebagai keluarga, kebaikan dan keramahan Kak Im memang sangatlah besar. Dia tetap menyempatkan diri dan justru meminta kami bisa makan malam, kali ini bersama istri dan anaknya. Dengan kebaikan sebesar itu, kami tidak kuasa menolak. Jadwal pun dibuat.
Makan malam jelang Tahun Baru di Sampit
Tidak pernah saya duga sebelumnya, jika pergantian tahun 2021 ke 2022 akan saya lewatkan di Sampit. Seperti banyak orang yang berharap terbaik ketika menyambut tahun baru, saya juga demikian. Saya mandi dan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk makan malam bersama. Setelah semuanya siap, kami berempat menunggu di lobi hotel, tak lama sebuah mobil terlihat datang menjemput.
Kak Im bersama istri dan anak bungsunya Dedek turun dari mobil. Melihat mereka, kami langsung keluar dari lobi hotel dan menghampiri. Sebelum naik ke mobil, Kak Im memperkenalkan istrinya. Di dalam mobil kami tak putus-putus berbagi cerita hingga tak sadar sudah sampai di restourant.
Saya lupa nama restourantnya. Hanya saja, ciri khas suku Dayak kental terasa. Musik Sape yang menenangkan tak henti menemani telinga pengunjung. Saya hanya samar menangkapnya di pikiran. Cerita bersama istri Kak Im sayang dilewatkan. Saking serunya, saya tidak terpikir lagi melakukan tagging seperti biasa.
Waktu kian berlalu, kami masih menikmati malam special dengan rasa senang. kami terbahak ketika tahu bahwa, walau asli suku Dayak ternyata istri Kak Im sangat pintar berbahasa Manado. Kami tidak perlu terus menerus berbahasa Indonesia. Suasana menjadi semakin hangat, saat istri Kak Im menantang Bios menghabiskan sayur berbahan baku rotan muda.
Ternyata, tak hanya cantik, istri Kak Im juga pintar memecahkan suasana, sangat humoris. Membuat kami merasa sangat terterima.
Di sudut lain, Kak Ronny terlihat senang disibukkan dengan daftar pertanyaan Dedek seputar Batman atau Ultraman, entahlah. Saya tidak tahu dengan superhero-superhero itu. Dalam hati saya berdoa, semoga kesejahteraan dan kebahagian terus menyelimuti keluarga baik ini. Di bagian ruang hati yang lain, saya berterima kasih Tuhan sudah memberi nikmat ini untuk saya syukuri lagi dan lagi.
Malam kian larut, kami harus berpisah. Setelah mengabadikan kebersamaan lewat foto, kami diantar ke hotel untuk istirahat, esok kami akan kembali melanjutkan perjalanan. Di depan hotel kami mengucap salam perpisahan. Tak lupa saya berterima kasih dan berpesan kepada istri Kak Im, jika pulang ke Sulawesi kiranya sudi untuk berkabar.
Perlahan mobil menjauh, kami masuk ke hotel. Saya sendiri langsung terlelap. Saya tidak tahu lagi seperti apa tahun baru di Sampit dirayakan. Hati saya terlanjur hangat dan bahagia dengan makan malam tadi. Saya menyimpannya sebagai energi positif, yang membuat saya cepat terlelap.
Melepas kepergian kami dengan doa
Pagi hari berikutnya, persiapan kembali kami lakukan, barang-barang kembali terikat di motor. Sebelum meninggalkan hotel, kami memutuskan sarapan dulu. Rencananya, hari ini kami akan menuju tujuan inti. Tujuan kami selama ini telah menempuh perjalanan yang sangat jauh, Pangkalan Bun.
Usai sarapan, kami ke resepsionis cek out, di lobi hotel Kak Im sudah menunggu. Kak Im sungguh membuat perjalanan kami di Sampit menjadi penuh warna. Sebagai karib dia sangat baik, sebagai saudara dia begitu loyal, dan sebagai tuan rumah dia begitu luar biasa.
Kini, di parkiran yang masih sama, pelukan hangat itu akhirnya terjadi, sangat erat. Tidak ada jabat tangan seperti sebelumnya, hanya doa dan harapan-harapan baik yang terlontar dari mulut kedua karib ini. Dari samping saya hanya bisa senyum bahagia menyaksikannya. Setelah itu, Kak Im melepas kepergian kami.
Saat kami mulai perlahan meninggalkan Sampit, saya bertanya ke Kak Ronny. Sebenarnya AKD Taleba itu apa? Kak Ronny hanya bilang bahwa itu singkatan nama. Abdul Karim ucap Kak Ronny, karena suara angin saya tidak mendengar jelas, apakah saya salah dengar atau bagaimana. Saya tidak bertanya lagi.
Bagi saya, Sampit terasa sangat lapang dan berkesan. Tidak hanya sekadar saya masukan dalam daftar kota terindah selama perjalanan ke Kalimantan seperti yang sudah-sudah. Lebih dari itu, AKD Taleba alias Kak Im dan istrinya telah membuat Sampit penuh keistimewaan. Bukan karena kelimpahan materi yang mudah dihitung tapi kekayaan hati yang tidak dimiliki semua orang. Sampit kini menyisahkan kerinduan di hati.
Torang Bapontar melanjutkan perjalanan.
Bersambung.