Artikel ini sebelumnya sudah tayang di The Conservation, yang ditulis oleh:Â Dhalia Ndaru Herlusiatri Rahayu, Universitas Gadjah Mada
Sosok Indra Kesuma alias Indra Kenz dan Doni Salmanan menjadi kontroversi setelah ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan penipuan dan tindak pidana pencucian uang melalui platform keuangan digital.
Sebelumnya keduanya terkenal kerap memamerkan kekayaannya mulai dari pakaian, mobil, rumah, sampai jet pribadi di media sosial yang dikenal dengan istilah flexing.
Urban Dictionary mendefinisikan istilah flexing sebagai tindakan memamerkan kekayaan untuk mendapatkan perhatian.
Jika melihat dari kacamata ilmu pemasaran, flexing bisa dikaitkan dengan Teori Conspicuous Consumption yang merupakan tindakan pembelian produk untuk menunjukkan tingkat kekayaan seseorang.
Perilaku ini kerap muncul melalui media sosial. Itulah mengapa pada akhirnya muncul istilah social media flexing.
Para pelaku flexing seperti Indra Kenz ini hendak membuat citra untuk menunjukkan sinyal kepada orang lain untuk melihat mereka berada di suatu tingkat tertentu, meski sebenarnya tidak demikian.
Peran media sosial
Ada dua penjelasan mengapa media sosial memiliki keterhubungan dan peran dalam memfasilitasi perilaku flexing.
Pertama, media sosial memfasilitasi pengguna untuk membuat profil pribadi yang bisa dilihat oleh pengguna lain.
Pengguna juga memiliki kebebasan untuk membentuk identitas diri dan menampilkan apa yang ingin mereka tunjukkan kepada dunia virtual. Sesama pengguna juga dapat saling mengetahui informasi terkait kehidupan pengguna satu sama lain.
Kedua, media sosial membantu memfasilitasi interaksi penggunanya.
Sesuai namanya, media sosial adalah media untuk bersosialisasi. Fasilitasi ini membuat media sosial berkontribusi terhadap produksi dan sirkulasi ekspresi budaya populer, termasuk perilaku flexing.
Bagaimana mengatasi flexing
Perilaku orang lain bukan berada pada kontrol diri kita.
Jadi, ketika kita menemui kondisi serupa, kita yang harus mengusahakan diri kita supaya tidak terdampak dari perilaku mereka.
Dilansir dari buku Psychology Today, cara pertama untuk menghadapi situasi tersebut adalah dengan tidak memberikan apresiasi kepada para pencari atensi. Kita sebisa mungkin bersikap netral atau jika memungkinkan maka jauhkan diri dari orang tersebut.
Meski terasa menyebalkan, cobalah untuk tidak mempermalukan para pelaku flexing di depan umum. Penolakan sosial akan mengundang lebih banyak kemarahan dan perilaku agresif dari pelaku.
Topik-topik yang membelokkan percakapan dari konteks ‘pamer’ akan menjadi opsi yang baik ketimbang harus ‘ikut bersaing’ dengan pelaku.
Jadi, dibanding menanggapi apa yang mereka pamerkan, Anda akan membuat situasi lebih netral dengan menanyakan hal lain seperti cuaca atau berita terbaru yang sedang banyak diperbincangkan.
Belajar dari situasi bahwa perilaku flexing sangat mungkin kita temui dalam dunia internet, maka sikap yang dapat kita ambil terkait pencegahan atau cara menghadapi dengan mereka adalah kita yang berusaha membatasi diri dalam menggunakan media sosial.
Secara tidak langsung, hal ini akan mengurangi paparan konten serupa. Kebijakan untuk menggunakan media sosial dan meregulasi respons adalah tanggung jawab masing-masing orang.
Maka, jika kita merasa adanya ketidaknyamanan dari paparan konten serupa yang mungkin dilakukan orang-orang yang kita temui di media sosial, jangan hiraukan mereka.
Dhalia Ndaru Herlusiatri Rahayu, Research Associate, Universitas Gadjah Mada
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.