Sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang tinggi, Indonesia memiliki begitu banyak spesies tumbuhan asli. Berdasarkan data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional dan Data Flora Digital Indonesia, jumlah tumbuhan asli di Indonesia, mulai dari lumut hingga tumbuhan berbunga, mencapai 28.942 spesies.
Tumbuhan berbunga merupakan kelompok yang paling beragam yaitu antara 20.579 hingga 24.497 spesies, disusul tumbuhan lumut sebanyak 2.699 spesies. Ada pula tumbuhan paku berjumlah 1.611 hingga 2.022 spesies, dan paling sedikit tumbuhan berbiji terbuka sebanyak 135 spesies. Tusam (Pinus merkusii) merupakan salah satu contoh tumbuhan berbiji terbuka, yang ternyata merupakan satu-satunya pinus di dunia yang tumbuh alami di selatan garis khatulistiwa.
Tumbuhan asli berperan sebagai produsen bagi ekosistem karena bersama-sama berkembang dengan ekosistem sekitarnya sejak jutaan tahun lalu. Artinya, selain menyediakan sumber daya bagi makhluk hidup di sekelilingnya, tumbuhan asli juga dipengaruhi keberadaannya oleh makhluk hidup lain.
Jika jumlah tumbuhan ini semakin berkurang atau bahkan menghilang, maka keseimbangan ekosistem skala kecil maupun besar akan terganggu.
Hal inilah yang terjadi di Indonesia. Keberadaan beberapa tumbuhan asli mulai menghilang, digantikan spesies tumbuhan asing hasil dari aktivitas pertanian, perkebunan, hingga perdagangan. Padahal, tumbuhan asli penting untuk meningkatkan ketahanan suatu ekosistem dalam menghadapi iklim yang berubah dan kondisi ekstrem.
Invasi tumbuhan asing
Kalimantan merupakan pulau yang mengalami perubahan lanskap karena deforestasi sejak beberapa dekade belakangan akibat ekspansi perkebunan sawit. Tumbuhan keluarga palem-paleman ini tidak berasal dari Indonesia, melainkan dari Afrika.
Perubahan lanskap tersebut menggerus habitat ratusan spesies tumbuhan asli setempat, termasuk keruing ataupun pohon kerantungan (Durio oxleyanus, salah satu durian asli) yang menjadi tumbuhan pakan orangutan. Akibatnya, orangutan pun mencari makan lebih jauh ke tempat lainnya, termasuk ke kebun sawit ataupun rumah warga.
Sebuah penelitian di sepanjang jalan dan desa dari Kalimantan Timur ke Kalimantan Utara juga merekam invasi tumbuhan sirihan (Piper aduncum) yang beradu habitat dengan tumbuhan asli setempat seperti pohon damar (Agathis borneensis), kayu ruas (Girroniera nervosa), dan berbagai spesies jambu-jambuan (Syzygium). Tumbuh-tumbuhan asli itu pun tersisih dan jumlahnya semakin berkurang.
Eceng gondok (Pontederia crassipes) yang didatangkan dari Brazil juga menjadi spesies dominan di beberapa ekosistem perairan di Indonesia. Spesies ini pertama kali dibawa ke Kebun Raya Bogor Indonesia pada tahun 1866 untuk mempercantik kolam.
Alih-alih menambah manfaat, keberadaan eceng gondok justru berpotensi menggusur beberapa tumbuhan perairan asli Indonesia. Dominasi eceng gondok di suatu ekosistem perairan telah ditemukan di dataran rendah, seperti Situ Agathis di Universitas Indonesia, Depok dan Rawa Pening, Salatiga, hingga dataran tinggi seperti Danau Laut Tawar, Takengon, Aceh. Padahal, di tempat-tempat itu, banyak tumbuhan asli yang bisa ditemukan seperti telepok (Nymphoides indica) yang juga memiliki nilai estetika.
Selain itu, lantaran pertumbuhan yang cepat, sebagaimana terjadi di Sungai Citarum, Jawa Barat, eceng gondok akhirnya mengganggu populasi ikan setempat.
Di tempat lainnya, pertumbuhan akasia (Vachellia nilotica) kian mendominasi kawasan Taman Nasional Baluran, Jawa Timur.
Tumbuhan yang awalnya didatangkan untuk sekat bakar ini telah mengambil alih habitat rumput sehingga savana baluran berkurang hingga 6 ribu hektare (ha). Padahal, aneka rumput di sana merupakan pakan satwa yang terancam punah dan dilindungi di Indonesia seperti rusa timor (Rusa timorensis) dan banteng jawa (Bos javanicus).
Situasi yang sama juga terjadi di kawasan perkotaan. Seiring naiknya tren tanaman hias, kita lebih sering melihat spesies tumbuhan seperti janda bolong (Monstera adansonii atau Monstera obliqua) atau gelombang cinta (Anthurium plowmannii) yang ditanam di pekarangan ataupun di dalam pot, ketimbang tumbuhan asli setempat.
Pemulihan ekosistem berbasis tumbuhan asli
Persoalan hilangnya tumbuhan asli mesti disikapi secara serius oleh pemerintah. Upaya pendataan dan analisis pohon-pohon dan tumbuhan lokal mesti dilakukan dimulai dari dinas lingkungan atau kehutanan di daerah, bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat. Data yang diperoleh dapat dijadikan dasar pemilihan spesies untuk upaya pelestarian tumbuhan lokal.
Setelah pendataan dilakukan, upaya yang dapat dilakukan adalah menggenjot percobaan persemaian pada tumbuhan-tumbuhan lokal di fasilitas arboretum (tempat penanaman koleksi aneka pohon) yang tersedia di banyak perguruan tinggi. Fasilitas ini dapat dijadikan tempat percobaan untuk perbanyakan bibit untuk mengatasi persoalan kekurangan pasokan tumbuhan asli.
Hasil pendataan dan percobaan dapat menjadi bekal pemerintah pusat dan daerah untuk mengupayakan pemulihan hutan dan lahan (termasuk juga perairan) secara optimal. Saat ini, pemerintah mematok target pemulihan hutan yang ambisius seluas 14 juta ha hingga 2030 mendatang.
Tumbuhan asli dapat memperkuat fungsi hutan agar bertahan dari cuaca ekstrem seperti kekeringan ataupun banjir. Keberadaan tumbuhan asli juga dapat menjaga keberagaman fauna asli kawasan tersebut dari ancaman kepunahan.
Agar rehabilitasi berbasis tumbuhan asli berjalan sesuai harapan, para akademikus dapat menyiapkan panduan untuk memperbanyak benih pohon atau tumbuhan lokal. Panduan tersebut dapat mencontoh dokumen serupa yang dibuat oleh Departemen Konservasi Selandia Baru.
Upaya lainnya adalah kampanye peningkatan kesadaran yang mesti rutin dilakukan. Harapannya, seluruh pihak dapat menyadari peran vital tumbuhan asli dan dapat bergerak bersama untuk melestarikannya.
Wendy Achmmad Mustaqim, Staf Pengajar Program Studi Biologi, Universitas Samudra
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.