Ditulis oleh: Alfian Putra Abdi, Project Multatuli
19 July 2022
Jauh sebelum bocah-bocah Depok, Citayam, Bojonggede, dan sekitarnya jadi perbincangan di media sosial karena menginvasi kawasan Sudirman, mereka adalah anak muda yang haus dengan keberadaan tempat nongkrong yang nyaman, gratis, instagramable, dan mudah diakses.
Sejak awal, kedatangan mereka ke Sudirman, bukan bagian dari upaya mendirikan sebuah komunitas fesyen, seperti yang kini disematkan pada mereka dengan sebutan Citayam Fashion Week. Stempel itu justru mengalihkan perhatian publik dari masalah utama, yaitu soal ruang publik.
Pada awalnya mereka, termasuk saya (pada masanya), adalah kelompok anak muda sub-urban ibu kota yang mencari ruang untuk bermain bersama kawan-kawan seumuran, menikmati ruang kota yang nyaman, yang tidak kami temui di Depok dan sekitarnya.
Persentuhan saya dengan Depok diawali oleh kakek dan nenek saya pada awal 90-an. Rumah mereka menjadi korban gusuran di Karet Tengsin–berjarak 2 kilometer dari pusat Citayam Fashion Week. Itu membuat keluarga besar saya bergeser jauh ke Depok, daerah yang masih asing dan kerap disebut ‘tempat jin buang anak’. Kenapa Depok? Sederhananya, harga tanah di sana murah.
Periode 2005-2010 menjadi gerbang kesadaran saya bahwa Kota Depok, kota yang saya tinggali sejak akhir 90-an, miskin ruang publik atau mungkin tidak benar-benar ada.
Saya jatuh cinta pertama kali kepada ruang terbuka hijau (RTH) dalam hal ini taman, saat menonton gigs reggae di BB’s Blues Bar, Menteng, Jakarta Pusat. Pada sela-sela ruang dansa yang pengap, saya dan kawan-kawan dapat keluar dan nongkrong santai di Taman Menteng, yang menyatu dengan tempat gigs.
Kali kedua, saat saya dan beberapa band hardcore punk Depok bertandang ke Kota Bandung. Sebelum dan sesudah pentas, kawan-kawan Bandung mengajak kami nongkrong di taman.
Di Bandung, taman menjadi pusat aktivitas yang menggairahkan, terutama untuk komunitas kami. Taman menjadi tempat bertukar informasi, kabar pribadi, aktivitas sosial (Food Not Bombs, perpustakaan jalanan, dan pasar barter), hingga transaksi merchandise band.
Setiap kali saya dan kawan-kawan di Depok mau mengadakan kegiatan serupa, kami selalu terkendala lokasi. Begitu juga setiap kedatangan kawan-kawan dari luar kota atau luar negeri, kami selalu kebingungan untuk nongkrong ke mana.
Pada kurun waktu tersebut (mungkin sampai sekarang), tongkrongan anak muda Depok marak tersebar di warung kopi, warung internet, rental Playstation, distro, terminal, stasiun, situ, mal, atau rumah pribadi dan rumah kolektif.
Sayangnya ruang-ruang tersebut eksklusif dan terbatas, hanya memenuhi persepsi komunitas tertentu saja. Bagaimana dengan warga Depok secara general?
O, kami punya Universitas Indonesia.
Sejak SMP saya akrab sekali dengan UI, tapi jauh dari budaya intelektual mereka. Saya, seperti warga Depok kebanyakan kala itu, demen nongkrong di UI saban akhir pekan. Kami datang dari berbagai penjuru Depok: Bojonggede, Cilebut, Citayam, Cilodong, Depok Timur, Sawangan, dan Cinere.
Macam-macam aktivitas kami di UI: olahraga, sekadar nongkrong, menumpang pacaran, berdagang di dalam area kampus, hingga trek-trekan motor. Pada hari kerja, banyak teman sebaya saya yang ke sana, untuk sekadar menghabiskan bensin motor orangtua, sembari menarik perhatian lawan jenis atau menumpang merokok di danau.
Alasan menggemari UI sederhana, akses transportasi publik ke sana sangat mudah. Saya misalnya, hanya perlu naik sekali mobil angkutan ke Stasiun Depok Baru, menyambung dengan kereta untuk sampai di Stasiun UI/Pondok Cina. Perkiraan waktu tempuh saya kira-kira kurang dari 30 menit. Tentu lebih hemat waktu dan jarak ketimbang Bonge, Jeje, dan remaja Citayam Fashion Week lainnya ke Dukuh Atas dari Depok.
UI menjadi “ruang publik” warga Depok pada masanya. Namun semenjak UI memperketat diri dan Ignasius Jonan, kala itu Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, mengubah sistem perkeretaapian; saya seperti kehilangan tempat bermain di ruang terbuka.
Pilihan nongkrong menjadi terbatas di mal, seperti Plaza Depok (kini Ciplaz), Mal Depok (kini D’Mall Depok), Depok Town Square, dan Margo City; lokasi mereka terintegrasi dengan KRL. Pilihan lainnya di warung kopi dan kafe, yang belakangan ini menjamuri Depok.
Namun tempat-tempat tersebut, selain tidak mudah diakses semua kalangan, belum tentu memenuhi persepsi semua warga.
Ujung-ujungnya saya lebih sering nongkrong dari rumah ke rumah atau sesekali ke Kota Tua Jakarta, yang gampang diakses dengan transportasi publik.
Jika mengacu kepada pengertian ruang publik ala Project for Public Spaces, mestinya Depok punya ruang-ruang dengan kualitas begini: mudah dijangkau dan dilalui, memberikan kenyamanan dan keamanan, merangsang partisipasi warga untuk berkegiatan, dan ramah untuk semua kalangan.
Sebenarnya Pemerintah Kota Depok sudah sadar betul mengenai fungsi ruang terbuka hijau. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Depok Tahun 2021-2026, mereka berupaya “mewujudkan ruang publik kota yang atraktif untuk meningkatkan harmoni dan kohesi sosial, sekaligus sebagai ruang terbuka hijau kota.”
Hal tersebut menjadi metode mereka menyeimbangkan kualitas permukiman dan lingkungan hidup di Depok. Lantaran pertumbuhan kawasan bisnis dan kawasan permukiman yang melesat pesat dalam satu dekade terakhir.
Solusi Pemkot Depok ialah menyediakan satu taman di setiap kelurahan. Catatan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Depok, sudah 48 taman yang mereka bangun dalam periode 2017-2020.
Program satu taman satu kelurahan ini mungkin saja bisa mengatasi kebutuhan warga akan ruang publik, namun dalam skala kecil, sebab beberapa taman dibangun di tengah kompleks. Semisal Taman Lembah Gurame, letaknya di tengah-tengah Perumnas Depok I.
Belum lagi jam operasional taman yang terbatas sampai pukul 18.00. Pengalaman saya membuka perpustakaan jalanan di Taman Lembah Gurame, staf taman akan membubarkan kerumunan menjelang waktu operasional berhenti. Alasan mereka demi keamanan dan menghindari tindak asusila.
Padahal mereka bisa memasang CCTV, seperti yang mereka lakukan di Taman Pondok Sukmajaya dan Taman Elok Duren Seribu.
Selain itu, Depok juga memiliki alun-alun besar yang sebenarnya berpotensi menjadi titik sentral perayaan warga. Namun letak alun-alun berada jauh dari pusat kota, dengan akses transportasi publik yang minim.
Jika mau ke sana dengan menggunakan KRL, stasiun terdekat ialah Stasiun Depok Lama berjarak 6,2 kilometer dan Stasiun Citayam berjarak 9 kilometer. Itu pun mesti sambung dengan mobil angkutan umum untuk bisa sampai tujuan.
Bahkan letak alun-alun berada di tengah kawasan perumahan elit Grand Depok City. Saya pesimis warga sekitar, yang notabene adalah kelas menengah terutama kelas atas memanfaatkan ruang tersebut. Sebab mereka punya kemampuan finansial dan mempunyai banyak pilihan untuk pelesiran.
Sulit bagi saya untuk tidak berpikir bahwa pembangunan alun-alun hanya etalase Kota Depok yang dibentuk Pemkot demi menjaga imajinasi masyarakat kelas menengah-atas, agar kota pinggiran Jakarta ini terkesan maju.
Maka saya tak heran Bonge dan sejawat Citayam ke Dukuh Atas, yang memiliki akses mudah dan murah. Sayangnya Pemkot Depok tidak melihat fenomena Citayam Fashion Week sebagai isu inefisiensi ruang publik. Malah dijadikan pompa politik, agar secara administratif Depok menjadi bagian dari DKI Jakarta.
Sebagai seorang warga yang telah menghabiskan hampir sepanjang usia di Depok, saya membayangkan kota ini memiliki ruang publik yang aktif dan produktif. Tidak saja mudah dijangkau dan ramah untuk nongkrong, namun mampu menjadi mimbar bebas bagi setiap ide, gagasan, dan ekspresi warganya.
Editor: Mawa Kresna
Artikel ini pertama terbit di Project Multatuli dan direpublikasi di sini menggunakan lisensi Creative Commons.