ZONAUTARA.com – Gerimis tak menghalangi sekumpulan orang bergegas menuju lokasi yang telah ditentukan di Taman Wisata Alam Batu Putih, kawasan konservasi Tangkoko, Bitung. Berbeda dengan suasana saat pelepasliaran tukik penyu sebelumnya, yang dilakukan pada Senin pagi (15/08/2022).
Sekelompok orang yang didominasi laki-laki ini tampak hati-hati. Mereka awas, dan menjaga jarak dengan boks kaca yang dibawa Noldy Pinontoan. Boks itu berisi ular.
Walau orang-orang di sekeliling waspada, Noldy terlihat tenang dan santai. Sebagai seorang keeper (penjaga hewan), dirinya telah terbiasa berinteraksi dengan satwa liar, termasuk satwa yang berbahaya seperti ular berbisa.
Ada dua ekor ular dari jenis viper yang ikut dilepasliarkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara dalam rangka road to Hari Konservasi Alam Nasional dan memperingati Hari Ulang Tahun ke-77 RI.
Noldy yang bertugas merawat satwa-satwa di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki ini memiliki keyakinan dan cara sendiri dalam memperlakukan satwa.
Panggilan menjadi keeper
Terlahir dari pasangan Ester Tuuk dan Derek Pinontoan, Noldy tumbuh seperti kebanyakan anak-anak di Tonsea, Minahasa, Sulawesi Utara.
Keseharian lelaki kelahiran Watudambo, 22 Agustus 1975 ini, diisi dengan kegiatan bertani. Tak pernah terpikirkan oleh Noldy jikalau dirinya akan bertemu dengan berbagai jenis satwa.
Hingga suatu hari dirinya diajak seorang kenalan yang kebetulan adalah tetangganya, untuk menjadi keeper di PPS Tasikoki, Minahasa Utara.
Tanpa banyak pertimbangan, Noldy yang kala itu belum menikah langsung mengiyakan ajakan bekerja di salah satu lembaga non profit yang peduli dengan rehabilitasi satwa tersebut.
Kesabaran adalah kunci
Bagi kalangan pegiat konservasi satwa, nama Noldy Pinontoan cukup dikenal. Pasalnya, Noldy sering terlibat dalam aksi-aksi penyelamatan dan penyitaan satwa-satwa yang dilindungi dari kepemilikan ilegal.
Tak hanya itu, aksi Noldy yang berani dalam menghadapi hewan-hewan berbahaya banyak mengundang decak kagum. Namun bagi Noldy, menangani satwa berbahaya tidak semudah seperti yang terlihat.
Butuh bertahun-tahun bagi Noldy untuk belajar dan mencoba memahami satwa liar. Bahkan setelah 18 tahun menjadi keeper di PPS Tasikoki, Noldy mengaku masih terus belajar.
Dari para ahli di PPS Tasikoki, Noldy dengan penuh kesabaran terus bertahan berupaya memahami teknik dan cara terbaik bagaimana saat berhadapan dengan satwa liar.
“Pokoknya, kesabaran adalah kunci. Sebab, walau sudah belajar tapi tidak sabar, tentu tidak akan berhasil,” kata Noldy.
Panggilan hati dan berbagai tantangan
Saat menemani Zonautara.com melakukan visit di PPS Tasikoki, Noldy menceritakan bahwa baginya menjadi keeper adalah panggilan hati, dan barangkali adalah jalan hidup.
Hal ini yang membuat Noldy terus bertahan di tengah berbagai tantangan yang dihadapi.
Sangat sering Noldy terluka akibat serangan hewan. Noldy masih ingat persis, bagaimana kakinya harus dijahit karena digigit seekor Yaki (Macaca nigra) atau Monyet hitam sulawesi.
“Biasanya tidak begitu, mungkin pada hari itu, Becam (nama seekor Yaki) sedang gemas dan keasyikan,” cerita Noldy.
Tantangan lain juga kerap muncul, apalagi setelah Noldy bertemu dan memutuskan menikah dengan tambatan hatinya, Anna Rotti.
Kebutuhan keluarga dan situasi yang kadang tidak menentu, membuat Noldy harus tetap bertani untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya.
Meski begitu, Noldy tidak pernah berpikir untuk tidak lagi menjadi keeper. Noldy bahkan rela tidak digaji, dan mencari makanan untuk satwa-satwa secara sukarela di kebun-kebun milik warga. Saat ini, ada ratusan satwa dari kurang lebih 40 spesies yang dirawat di PPS Tasikoki.
“Yang terasa waktu pandemi, ada situasi kami kesulitan pakan. Saya rela tidak menerima gaji beberapa bulan. Tapi saya bertahan demi ratusan satwa di sini,” kata Noldy.
Sang istri tercinta juga terus memberi dukungan kepada Noldy.
“Kan saat bertemu dulu, saya memang sudah menjadi keeper, jadi dia mengerti,” jelas Noldy.
Mencintai satwa adalah juga mencintai manusia
Kepada putranya, David Pinontoan, Noldy ingin memberitahu bahwa penting memahami hewan seperti memahami manusia sebagai sesama makhluk hidup. Sebab itu, Noldy mengaku tidak akan berhenti menjadi keeper.
“Selama PPS Tasikoki ada, maka saya akan ada di sini, karena terlanjur mencintai mereka (satwa). Harus bekerja dari hati dan memahami hewan sebagaimana memahami manusia,” kata Noldy.
Yang terpenting, untuk bisa menjalani semuanya Noldy meyakini harus ada keberanian, ketekunan, ketenangan, dan kesabaran menghadapi segala hal.
“Jangan tergesa-gesa.Semua orang bisa menjadi keeper, volunteer, tapi tidak semua bisa menjalaninya dengan sepenuh hati,” ujar Noldy.