Piala Dunia 2022: Negara mana saja yang memenangkan ‘soft power’?

Ronny Adolof Buol
Penulis Ronny Adolof Buol
Tim Argentina merayakan kemenangan setelah merebut Piala Dunia 2022 (Foto: FIFA)



Oleh: Simon Chadwick, SKEMA Business School dan Paul Widdop, University of Manchester

Setelah empat minggu, 64 pertandingan dan kontroversi selama lebih dari satu dekade, Argentina memenangkan Piala Dunia FIFA 2022 di Qatar. Dan saat Lionel Messi dan timnya merayakan kemenangan atas Prancis, ada kompetisi lain yang juga mencapai akhirnya – pertempuran untuk “soft power”.

Soft power merupakan salah satu alat politik luar negeri untuk membentuk persepsi dan sikap global menggunakan hal-hal seperti musik, fesyen, dan olahraga. Piala Dunia bisa jadi merupakan platform soft power terbaik, dengan 32 negara menjadi sorotan miliaran orang dari seluruh dunia.

Selama turnamen berlangsung, ada tiga kategori soft power dapat kita amati: soft power “brilian”, yang dapat dilihat dari penampilan yang menimbulkan rasa kagum selama pertandingan; soft power “indah”, yang membangkitkan harapan dan rasa kebersamaan; dan soft power “jinak”, yang memiliki sikap positif dan altruisme (perhatian).

Dengan menggunakan kategori ini, kami menganugerahkan juara “Piala Dunia Soft Power” 2022 kepada negara-negara berikut:

Pemenang: Prancis

Dalam peringkat soft power global, Prancis terangkat oleh kemenangannya di Piala Dunia 2018 di Rusia. Pada 2022, penampilan timnasnya semakin memperkuat citra dan reputasi negara tersebut. Timnas Prancis adalah wujud soft power yang “brilian”, yang mampu menggabungkan gaya bermain yang elegan namun bisa tetap sangat kompetitif, serta menampilkan citra yang kosmopolitan, beragam, dan bisa berbaur.

Satu pemain (mungkin menjadi pemain terbaik di dunia saat ini) yang paling menonjol untuk kategori ini: Kylian Mbappé. Klubnya, Paris Saint Germain (PSG), juga menjadi bagian besar dari kisah soft power Prancis, karena telah membantu membangun kredensial negara melalui kombinasi sepak bola, fesyen, dan musik yang dikelola dengan cermat.

Awal tahun ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron dilaporkan ikut turun tangan untuk membujuk Mbappé agar tidak meninggalkan PSG ke Real Madrid. Begitu pentingnya Mbappé bagi Prancis. Macron sepenuhnya paham bahwa dalam urusan global, diperlukan pesona, gaya, dan kepercayaan diri. Saat ia datang ke Doha setelah Prancis mencapai semifinal, ia bertemu dengan Emir (pemimpin) Qatar. Dalam pertandingan final, ia hadir secara full time dan berulang kali menghibur Mbappé.

Runner up: Korea Selatan

Para pemain bintang tim Korea Selatan (Korsel) makin bersinar dan menjadi jagoan dalam soft power “inspirasi”. Sebagian merupakan hasil dari kebijakan pemerintah, kesuksesan soft power ini juga merupakan buah patriotisme yang antusias dari sektor swasta.

Pertandingan pertama Korsel di turnamen Piala Dunia dimulai setelah penyanyi Jung Kook tampil di upacara pembukaan. Jung Kook adalah anggota BTS, band asal negara tersebut yang berperan besar dalam fenomena “Korean wave (K-wave)” (penyebaran budaya populer Korea). Fenomena ini yang membawa Korsel ke dunia perfilman, televisi, dan musik global. Bersamaan dengan Jung Kook, ada juga perusahaan mobil Hyundai-Kia, yang menyokong BTS dan secara resmi menjadi sponsor utama FIFA.

Korea Selatan juga beruntung karena pemain terbaiknya – Son Heung-min yang juga bermain untuk Tottenham Hotspur – sembuh dari cedera, membawa tim tersebut ke ajang global sehingga Timnas Korsel diakui secara internasional. Gaya permainan ala petualang Korsel, ternyata semakin membuat penggemarnya bersemangat, menyempurnakan energi nasional yang telah membuat negara ini menjadi raksasa budaya populer abad ke-21.

Peringkat ketiga: Maroko

Dengan peringkat sepak bola pra-kompetisi di bawah 20 besar, sejarah penampilan yang buruk di turnamen besar, serta tidak adanya pemain besar, tidak ada yang menaruh harapan tinggi pada Timnas Maroko. Tapi Piala Dunia kali ini ternyata menjadi kemenangan bagi Maroko, di dalam dan di luar lapangan.

Gaya permainan yang santai dan tanpa tekanan membuat Timnas Maroko mampu menghasilkan nilai soft power yang cukup besar – seperti yang dilakukan beberapa pemain individunya. Pemandangan pemain gelandang Sofiane Boufal yang berjoget di lapangan bersama ibunya setelah timnya menang atas Portugal menunjukkan momen kekeluargaan dan kebersamaan yang dapat memikat perhatian orang-orang di seluruh dunia. Banyak yang kemudian memilih Atlas Lions (sebutan Timnas Maroko) sebagai tim favorit kedua mereka.

Bagi seluruh dunia Arab, Maroko jelas telah jauh lebih maju dari tim lain yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika Utara. Dukungan publik untuk Palestina dari para pemain Maroko juga memperkuat ikatan (bonding) antara tim dengan penggemar dari seluruh wilayah.

Peringkat keempat: Jepang

Jepang berhasil menggaet banyak penggemar baru di Qatar. Sama seperti di Piala Dunia 2018, pendukung Jepang saat itu datang dalam jumlah besar, dan dengan inisiatif sendiri membersihkan stadion pasca pertandingan. Timnas Jepang juga membersihkan ruang ganti mereka setelah mereka bertanding. Ini telah menempatkan Jepang sebagai juara soft power “jinak”.

Aktivitas “merapikan” memiliki sejarah tersendiri di Jepang. Jauh sebelum Marie Kondo hadir, bersih-bersih dan menata barang (de-cluttering) sudah menjadi bagian dari tatanan budaya nasional. Inisiatif pendukung Timnas Jepang untuk merapikan stadion di Qatar semakin memperkuat popularitas tradisi ini dan bisa menjadi potensi kekuatan soft power Jepang.

Tapi turnamen Piala Dunia bagi Jepang itu bukan hanya tentang tindakan altruisme (memperhatikan dan mengutamakan kepentingan bersama). Timnas Jepang juga merayakan kemenangan menakjubkan melawan dua negara adidaya sepak bola Eropa, Jerman dan Spanyol.

Posisi kelima: Arab Saudi

Green Falcons (sebutan untuk Timnas Arab Saudi) datang ke Qatar sebagai perwakilan suatu negara yang tidak disukai oleh banyak negara lain. Dan meskipun tim tersebut tersingkir di babak penyisihan grup, dalam prosesnya mereka tetap memenangkan banyak hati dan pikiran.

Sejumlah besar pendukung Timnas Arab Saudi datang ke Doha, dan membuat daya tarik budaya mereka menjadi sorotan. Hal ini semakin diperkuat dengan postingan viral di media sosial yang menampilkan sejumlah besar pendukung tersebut menari diiringi lagu pop tahun 1996 setelah Arab Saudi mengalahkan Argentina, tim yang yang akhirnya menjadi juara.

Walaupun tetap ada kekhawatiran tentang intrik politik Arab Saudi (tidak terkecuali tuduhan sportswashing, atau menggunakan olahraga untuk memperbaiki citra buruk), pertandingan di Qatar telah memberikan sudut pandang yang berbeda dan positif pada dunia tentang warga Saudi. Para penggemar yang datang dimanusiakan oleh hasrat nasional mereka terhadap sepak bola.

Perhatian khusus pada Qatar

Sejak menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia, Qatar telah berusaha menampilnya soft power-nya. Keramahtamahan yang ditunjukkan negara ini, tidak adanya kekerasan hooligan, dan semaraknya penggemar tampaknya berhasil membantu Qatar mewujudkannya.

Tapi Qatar juga dibuat tak berdaya oleh beberapa isu, termasuk tentang pekerja migran dan hak-hak LGBTQ+. Ujian bagi Qatar adalah bagaimana negara tersebut – serta acara yang akan diselenggarakannya – diperbincangkan di tahun-tahun mendatang.

Untuk saat ini, meskipun mungkin tidak terasa bagi para pemain dan penggemar, pemenang soft power jatuh ke tangan Prancis.

The Conversation


Simon Chadwick, Professor of Sport and Geopolitical Economy, SKEMA Business School dan Paul Widdop, Researcher of Sport Business, University of Manchester

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
Follow:
Pemulung informasi dan penyuka fotografi
Leave a comment
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com