Kepala Desa Teineman, Boni Kelmaskosu mengatakan hingga kini pemerintah desa masih melarang warga beraktivitas di sekitar atau di atas daratan baru itu untuk mengantisipasi hal yang tidak di inginkan. Tempat kemunculan pulau baru itu sebelumnya menjadi lokasi warga Desa Teineman mencari ikan, dan berjarak sekitar 10 hingga 15 menit perjalanan perahu dari pemukiman penduduk. Keberadaan pulau baru itu menimbulkan keresahan warga yang umumnya baru kali pertama melihat fenomena tersebut.
“Bahwa baru melihat, barang anehnya seperti itu. Jadi banyak yang ketakutan, bukan banyak tapi seluruh warga penduduk ketakutan terkait dengan pulau baru itu,” kata Boni Kelmaskosu saat dihubungi VOA pada Jumat (13/1) siang.
Boni Kelmaskosu mendesak agar otoritas berwenang melakukan penelitian di lokasi tersebut untuk memastikan kemunculan pulau baru itu tidak akan membahayakan 716 warga di desa itu yang kebanyakan bekerja sebagai nelayan.
“Saya dengan masyarakat tidak tahu bahwa pulau itu punya dampak baik atau tidak. Hanya orang-orang khusus yang bisa mendeteksi itu positif. Kalau kita, masyarakat, hanya sebatas melihat,” jelas Boni Kelmaskosu.
Penjelasan Ahli Geologi
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Provinsi Maluku, Herfien Samalehu kepada VOA mengungkapkan gempa bumi yang terjadi di Tanimbar merupakan jenis yang modelnya thrusting atau patahan naik dari subduksi Laut Banda. Hal ini, katanya, bisa dilihat dari analisis lokasi hiposenter dan kedalamannya. Jenis gempa ini dapat menyebabkan kenaikan atau uplift di satu sisi dan penurunan atau subsidence di sisi yang lain.
Pada peristiwa gempa Aceh dan Nias, katanya, terjadi pengangkatan wilayah di sekitar Pulau Simeuleu dan penurunan hingga 1 meter di sepanjang garis pantai di Aceh. Pada peristiwa gempa Lombok, pulau itu mengalami kenaikan permukaan setinggi 25 centimeter
Fenomena serupa pernah juga terjadi di Jepang, Mongolia dan Pakistan.
“Fenomena ini biasa terjadi setelah pasca gempa bumi yang menyebabkan deformasi regional. Dalam hal ini, kenaikan daratan di Teineman kabupaten Kepulauan Tanimbar merupakan blok yang naik secara keseluruhan. Hal ini tidak berpengaruh signifikan terhadap wilayah Tanimbar,” kata Herfien Samalehu, Kamis (12/1).
Namun demikian, lanjut Herfien, penemuan endapan lumpur di lokasi yang sama juga bisa mengindikasikan adanya fenomena “mud volcano”. Ia mengatakan, fenomena yang satu ini masih memerlukan kajian lebih lanjut.
“Dampak dari gempabumi yang terjadi ini tidak menyebabkan bahaya ikutan (collateral hazard) berupa longsoran skala massif — gerakan tanah disertai likuefaksi serta tsunami. Adanya penemuan lumpur mengindikasikan sebuah fenomena yang kita sebut mud volcano,” jelas Herfien Samalehu.
Menurut Wikipedia, mud vulcano atau gunung api lumpur merupakan fenomena ekstrusi cairan seperti hidrokarbon dan gas seperti metana yang mencapai permukaan melalui celah-celah batuan.
Herfien Samalehu mengimbau agar masyarakat tetap tenang dan mengikuti arahan dari BPBD atau BMKG setempat. Ia juga menghimbau agar masyarakat tidak terpancing isu yang tidak bertanggung jawab mengenai gempa bumi dan tsunami. Ia menjelaskan, laut Banda dan wilayah di sekitar kabupaten Kepulauan Tanimbar dan Kabupaten Maluku Barat Daya tergolong rawan bencana gempa bumi dan tsunami. Menurut catatan Badan Geologi , tsunami pernah melanda wilayah di sekitar Laut Banda pada tahun 1629, 1852, 1938 dan 1975. [yl/ab]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia