Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadlia mengatakan pemerintah menargetkan akan memproduksi baterai kendaraan listrik pertama di Tanah Air pada 2024. Hal tersebut dilakukan guna terus mendorong pembangunan ekosistem kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
“Kita sudah membuat beberapa formulasi bahwa pembangunan ekosistem baterai mobil terus berjalan. Dan direncanakan tahun 2024 produksi kita sudah mulai berjalan di semester pertama 2024 yang dibangun oleh LG di Karawang,” ungkap Bahlil.
Konstruksi ekosistem baterai kendaraan listrik mulai dari hulu sampai ke hilir, kata Bahlil, akan dilakukan oleh LG Electronics dan Contemporary Amperex Technology Co. Limited (CATL). Pembangunannya akan dimulai pada tahun ini. Lebih lanjut, ia menyampaikan, pemerintah juga akan melakukan pembatasan terhadap pembangunan smelter yang tidak berorientasi kepada energi hijau.
“Ke depan, kita akan melakukan pembatasan terhadap pembangunan smelter yang tidak berorientasi pada green energy. Ini sebagai bentuk dari kepedulian pemerintah dalam rangka melakukan penataan terhadap pembangunan produk yang berorientasi pada green energy dan green industry,” tuturnya.
Bahlil menjelaskan pemerintah juga saat ini sedang mengatur semacam formulasi insentif guna membangun industri kendaraan listrik yang cukup kompetitif. Ia juga menekankan pembangunan ekosistem kendataan listrik tersebut juga diyakini kelak akan dapat menciptakan lapangan kerja baru.
“Menyangkut dengan mobil, dengan motor, kita lagi mengatur formulasinya tentang sweetener, model apa yang paling pantas dan kompetitif untuk bisa kita bangun. Jadi ke depan yang kita bangun itu adalah ekosistem pembangunan EV dan motor itu ranah penciptaan lapangan pekerjaan,” ujarnya.
Bahlil menilai bahwa Indonesia memiliki pangsa pasar kendaraan listrik yang besar. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa kesempatan besar tersebut harus terus terjaga.
“Indonesia nggak boleh kalah, kita punya pasar yang besar. Jangan sampai pasar kita itu dilakukan penetrasi dengan produk-produk dari luar negeri, kita harus jaga. Yang kedua adalah, kita juga mampu melakukan penetrasi pasar ekspor,” tandasnya.
Hanya untuk Wilayah Perkotaan
Sementara itu pengamat transportasi Darmaningtyas menilai bahwa penggunaan kendaraan listrik lebih cocok digunakan terbatas untuk di wilayah perkotaan saja. Ia berpendapat dibutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar dua jam, untuk mengisi daya baterai bagi kendaraan listrik tersebut.
Selain itu, dengan infrastruktur yang belum memadai seperti stasiun pengisian daya untuk kendaraan lsitrik, ia tidak yakin hal tersebut bisa menarik minat masyarakat untuk membeli kendaraan lsitrik tersebut meskipun pemerintah memberikan subsidi.
Maka dari itu, menurut Darmaningtyas, untuk tahap pertama pemerintah jangan langsung membidik pasar untuk kalangan masyarakat umum terlebih dahulu, karena menurutnya minat masyarakat masih akan cukup rendah.
“Pertanyaan saya apakah untuk nge-charge itu harus selalu memerlukan waktu lama? Jadi dari aspek mesinnya. Kalau mesinnya memang didesain begitu bahwa untuk mengecas membutuhkan waktu lama, ya akan kurang menarik. Kalau mau tahap pertama adalah kendaraan-kendaraan dinas, itu paling realistis kenapa? Karena berada di wilayah perkotaan, penggunaannya terbatas. Lalu angkutan umum tapi untuk di daerah perkotaan, angkutan umum kalau untuk bis AKAP ya nggak tepat,” ungkapnya kepada VOA.
Ia juga berpendapat, tantangan lain untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia adalah ketersediaan cadangan listrik. Sampai detik, ujar Darmaningtyas, hanya ada beberapa provinsi tertentu saja yang masih mengalami surplus cadangan listrik, seperti seperti Jawa dan Bali.
Pemerintah, katanya, tentu akan kesulitan untuk mengembangkan eksosistem kendaraan listrik di provinsi yang masih saja kekurangan listrik hingga saat ini. Selain itu, jika pemerintah betul-betul ingin memperhatikan aspek lingkungan, maka sumber dari energi listrik tersebut harus segera diubah.
“Kalau alasan lingkungan sebetulnya hanya memindahkan polusi dari jalan ke sumber pembangkit listrik. Makanya kalau betul-betul mau green, itu bahan bakar listriknya itu dari hydro atau angin atau surya, itu baru green betul. Tapi kalau bahan baku listriknya dari batu bara ya nggak bisa disebut green,” pungkasnya. [gi/ah]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia