Perwira menengah TNI yang terlibat dalam pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga, Papua, dituntut dengan pasal penadahan. Penerapan pasal ringan ini dipertanyakan sejumlah pihak yang berpendapat bahwa dia seharusnya dituntut dengan pasal pembunuhan berencana.
Oditur Militer atau jaksa membacakan tuntutannya dalam sidang yang menghadirkan terdakwa Mayor (Inf) Helmanto Fransiskus Dakhi, pada Kamis (19/1). Helmanto diadili terpisah dengan empat pelaku lain sesama anggota TNI, melalui Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya, Jawa Timur, meski sidang tetap mengambil tempat di Jayapura, Papua.
Pengacara keluarga korban, Gustaf Rudolf Kawer mempertanyakan dakwaan Oditur Militer, yang menempatkan pasal 480 tentang penadahan sebagai dakwaan primer. Sementara subsidernya adalah pasal 365, pencurian dengan kekerasan, dan lebih subsider lagi 340 pembunuhan berencana. Dengan konstruksi semacam itu, kata Kawer, jaksa menempatkan penadahan lebih tinggi dibanding pembunuhan berencana.
“Bagi saya, itu sudah kelihatan sekali jaksa menempatkan diri seperti pengacara atau pembela dari terdakwa. Seharusnya dia menempatkan 340 itu di awal, supaya begitu pembuktian pertama terbukti, maka yang selanjutnya tidak perlu dibuktikan,” kata Kawer kepada VOA, Kamis malam.
Karena hanya dikenakan pasal penadahan, Mayor Helmanto hanya dituntut hukuman 4 tahun penjara, dengan tuntutan tambahan dicopot dari kesatuannya. Padahal, jika dituntut pembunuhan berencana, hukuman tertinggi adalah mati, penjara seumur hidup atau 20 tahun.
“Ini berarti, jaksa mengabaikan fakta-fakta bahwa mayor ini terlibat dalam pembunuhan berencana itu,” tegas Kawer.
Dalam fakta persidang terungkap bahwa pada 19 Agustus 2022, Mayor Helmanto terlibat dalam perencanaan. Sehari kemudian, para pelaku berkumpul di sebuah bengkel untuk mengatur perencanaan. Tanggal 21, mereka berencana menyergap keempat korban, tetapi gagal, dan baru terlaksana pada 22 Agustus 2022.
“Mayor tahu itu, dia pantau terus penyergapan, mutilasi sampai dibuang di sungai, pembakaran mobil, itu dia tahu. Dan kemudian tanggal 23 Agustus, itu bagi uang, Mayor ada dan dia dapat bagian dari hasil perampasan uang itu,” tambahnya.
Mayor Helmanto Fransiskus Dakhi adalah pelaku berpangkat tertinggi diantara pelaku lain, dimana enam adalah anggota TNI dan empat warga sipil. Satu pelaku dari TNI meninggal dunia di tengah proses persidangan kasus ini.
Sepuluh orang ini membunuh dan memutilasi empat warga Nduga Papua, di Timika. Keempatnya adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemanion Nirigi dan Atis. Prajurit TNI ini berasal dari kesatuan Detasemen Markas (Denma) Brigade Infanteri 20/Ima Jaya Keramo, Kostrad. Selain Mayor Herlmanto, anggota TNI yang teribat adalah Kapten (Inf) Dominggus Kainama, Prajurit Satu (Pratu) Rahmat Amin Sese, Pratu Robertus Putra Clinsman, Pratu Rizky Oktav Muliawan, dan Prajurit Kepala Pargo Rumbouw.
Kawer mengatakan, “Ini melukai rasa keadilan bagi korban. Bagaimana pembunuhan sadis empat korban, terus dituntut dengan pasal penadahan, saya pikir tidak ada korelasi dengan pembuktian itu. Jauh. Pertama, tuntutan melukai rasa keadilan korban. Kedua, institusi peradilan terkesan melindungi pelaku.”
Pengacara dan keluarga korban telah meminta hakim untuk bersikap adil, ketika bertemu seusai persidangan hari Kamis.
Seruan Mahasiswa Nduga
Sejumlah mahasiswa dan pelajar, yang tergabung dalam Ikatan Pelajar dan Mahasiswa/i Nduga se-Indonesia (IPMNI) wilayah Jawa dan Bali juga mengeluarkan pernyataan pada Kamis. Mereka melihat, proses persidangan kasus ini sejak awal telah berlangsung lambat, tertutup, tidak transparan, tidak akuntabel dan cenderung melindungi para pelaku.
Laorens, perwakilan mahasiswa/pelajar Nduga di Yogyakarta mengatakanb, mereka menolak pemakaian pasal 480 bagi Mayor Helmanto Fransiskus Dakhi. “Hal ini sangat cacat hukum. Susunan dan struktur dakwaan ini kami anggap sangat problematis, sebab menaruh pasal 480 KUHP tentang penadahan dengan hukuman maksimal 4 tahun penjara sebagai dakwaan primer, adalah merusak harkat dan martabat kemanusiaan orang Papua,” ujar Laorens.
Para mahasiswa juga menilai, hakim Militer Tinggi III Surabaya dan oditurat tinggi Makassar, sangat tidak cermat menjalankan proses persidangan dan terkesan melindungi pelaku.
Di Salatiga, IPMNI juga mengeluarkan pernyataan senada.“Kami menolak segala bentuk upaya meringankan beban pelaku oleh pihak manapun, selama persidangan berlangsung,” ujar Kaliminus Balinol mewakili rekan-rekannya.
Mahasiswa Nduga juga meminta setiap pelaku wajib diberikan hukuman yang setimpal dengan menggunakan pasal yang sesuai, yaitu Pasal 340 KUHP. Pada sisi lain, mereka juga meminta Mahkamah Agung segera mencabut dan mengontrol dakwaan-dakwaan manipulatif, yang terjadi dalam persidangan.
“Kami menuntut pelaku mutilasi ini untuk dihukum mati,” teriak para mahasiswa di Salatiga
Selain itu, para mahasiswa juga mendesak Presiden Jokowi melihat fakta proses persidangan ini secara langsung. Sementara Menkopolhukam diminta melakukan kontrol atas setiap persidangan di Papua, dan Panglima TNI diharap mengawasi proses peradilan dan penegakan hukum secara transparan dan akuntabel, bagi para anggotanya yang terlibat dalam tindak pidana pembunuhan dan mutilasi yang terjadi di Timika.
Mahasiswa juga menuntut Ketua Mahkamah Agung melakukan pemantauan langsung atas kinerja perangkat peradilan yang menyidangkan para terdakwa anggota militer maupun sipil. Sedangkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, diharapkan segera memutuskan permohonan untuk memberikan perlindungan serta pemulihan yang telah diajukan oleh keluarga para korban. [ns/ab]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia