Menerjemahkan karya sastra dari bahasa Inggris Inggris ke bahasa Indonesia tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Selain pandai menulis dan bahasa, seorang penerjemah harus bisa menyampaikan nuasa dan pesan yang ingin disampaikan penulis aslinya seakurat mungkin. Bagaimana mewujudkan itu? Sejumlah penerjemah karya sastra, menjelaskan lika-likunya kepada VOA.
Jago bahasa Inggris bukan jaminan Anda mahir menjadi penerjemah karya sastra Inggris. Paling tidak itu diungkapkan Endah Raharjo, yang sudah beberapa tahun menekuni bisnis terjemahan, termasuk karya sastra dari penulis Amerika.
“Untuk menerjemahkan karya sastra ada syarat dasar yang harus dipenuhi, yakni sudah menguasai teknik menulis, lebih khusus lagi sudah pintar menulis kreatif. Penerjemah tidak bisa sekadar menerjemahkan secara literally, ada muatan-muatan tertentu, khususnya budaya, yang harus ‘dialihbahasakan’ juga,” jelasnya.
Endah memberi contoh panggilan Mr. and Mrs. Smith, yang tidak bisa begitu saja diterjemahkan sebagai Tuan dan Nyonya Smith. Dalam konteks tetangga, panggilan tersebut lebih pas diterjemahkan jadi Pak dan Bu Smith, sementara dalam konteks kantor lebih tepat Bapak dan Ibu Smith.
Hal ini dibenarkan Anton Kurnia, penerjemah kawakan yang sudah lebih dari 25 tahun menggeluti dunia terjemahan dan pernah mendapatkan sejumlah penghargaaan sastra. Beberapa karya sastra penulis Amerika yang pernah ditermahkannya antara lain cerpen klasik “Luck” dari Mark Twain; novel “The Gift of the Magi” dari O Henry alias William Sydney Porter; dan novel “Lolita” dari Vladimir Nabokov.
“Ini kan tidak hanya terkait dengan ketepatan makna, tapi kita juga bisa menyampaikan nuansa dan rasa bahasanya, bagaimana menerjemahkan dari satu kultur ke kultur yang lain,” jelasnya.
Anton mencontohkan, di Amerika, orang tua biasa memanggil anak mereka dengan sebutan pumpkin atau sugar, tapi kata-kata itu tidak bisa diterjemahkan begitu saja dalam bahasa Indonesia sebagai labu dan gula karena akan terkesan aneh di telinga orang Indonesia. Walhasil, katanya, kata yang lebih tepat untuk menermahkan pumpkin atau sugar adalah sayang.
Endah dan Anton sama-sama mengatakan bahwa menerjemahkan adalah pekerjaan yang memakan waktu dan banyak menguras pikiran.
“Saya perlu merenung, berdiskusi dengan beberapa orang yang saya nilai paham tentang gagasan utama dalam karya sastra yang saya terjemahkan, atau mencari latar belakang si penulis untuk bisa lebih menyelami gagasan yang diungkapkan dalam karyanya,” kata Endah.
Endah mencontohkan penggalan kalimat: [ … anxietes about gates through which barbarians stroll …] dalam kumpulan esai karya Tony Morrison berjudul “The Source of Self-Regard” yang baru saja selesai diterjemahkannya. Morrison adalah mendiang penulis ternama kelahiran Ohio, AS, penerima penghargaan sastra bergengsi Pulitzer dan Nobel.
Setelah dikaji lebih dalam, menurut Endah, kata “gates” dan “barbarians” dalam penggalan kalimat itu merujuk pada “The Gates of Alexander” yang dibangun oleh Alexander the Great untuk melindungi warga dari serangan kaum barbar. Lebih jauh, “kaum barbar” yang dimaksud adalah orang-orang asing yang berusaha masuk ke negara lain karena berbagai alasan. Jadi, penggalan kalimat itu maksudnya adalah perbatasan-perbatasan negara sekarang ini harus dijaga ekstra ketat agar orang asing sulit masuk secara ilegal.
Meski melelahkan dan menguras pikiran, kata Anton, menerjemahkan karya sastra merupakan pekerjaan yang sangat menguntungkan, karena meningkatkan kemampuannya menulis, dan memperkaya pengetahuannya. Apalagi, menurutnya, bila yang digarap merupakan karya-karya maestro sastra.
“Kita juga harus menggunakan berbagai referensi. Tidak hanya kamus atau thesaurus, tapi juga buku-buku atau referensi lain yang terkait teks tersebut,” jelasnya.
Bagi Endah mencari validitas dari sebuah penerjemahan jauh lebih penting dari sekadar mengejar target tenggat waktu. “Saya bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk sebuah karya sastra yang selesai dibaca dalam waktu satu atau dua hari atau beberapa jam. Bagi saya penting sekali untuk bisa secara akurat menyampaikan pesan yang ingin disampaikan penulis. Tidak sembarangan menerjemahkan,” lanjutnya.
Menurut Hairus Salim, pemilik Gading, sebuah perusahaan penerbit di Yogyakarta, seorang penerjemah biasanya dipekerjakan perusahaan penerbit, yang dalam hal ini berfungsi sebagai agen. Agen inilah yang biasanya mengurus perolehan izin hak cipta sehingga sebuah karya bisa dialihbahasakan oleh penerjemah.
Penerjemah ini, selanjutnya akan didampingi editor atau penyunting, yang biasanya juga penulis. Hairus sendiri tercatat sebagai penyunting bagi terjemahan Endah untuk karya esai Tony Morrison.
“Penyunting ini berfungsi untuk mengecek apakah terjemahannya benar atau tidak, atau mencari tahu apakah ada padanan kata atau frasa yang lebih tepat. Jadi belum tentu penerjemah salah, tapi penyunting akan berusaha membuat sebuah hasil terjemahan lebih mudah dipahami pembaca,” kata Hairus.
Dalam proses alih bahasa, menurut Hairus, sebuah penerbit biasanya juga melibatkan korektor, yang memastikan tidak adanya kekeliruan penulisan huruf atau tanda baca, serta berbagai faktor lainnya terkait presentasi sebuah buku.
Bagaimana soal imbalan? Apakah berdasarkan kata, halaman, panjang, tingkat kesulitan?
Endah menjawab, “Seperti profesi kreatif lain, penghasilan penerjemah sangat bervariasi dan jaraknya bisa langit-bumi antara proyek satu dengan yang lain. Kalau mengacu pada HPI (Himpunan Penerjemah Indonesia), untuk menerjemahkan bahasa Inggris ke bahasa Indonesia tarifnya Rp250 ribu per halaman jadi. Tapi, tarif itu sangat berat untuk penerbit atau lembaga kecil, khususnya di Jogja. Mereka rata-rata hanya bisa membayar 10 persen dari tarif itu.”
Menurut Endah, ada juga penerbit yang menentukan tarif dari jumlah karakter huruf atau angka, tidak termasuk spasi, dan ada juga yang menentukan melalui sistem borongan dan kesepakatan. Khusus buku sastra, menurut Endah, tarif penerjemahan berdampak langsung pada harga jual buku. Mengingat masyarakat Indonesia sampai saat ini masih pelit belanja buku, katanya, penerjemah akhirnya terpaksa menerima tarif yang rendah.
Anton membenarkan bahwa bayaran yang diterima penerjemah di Indonesia umumnya jauh di bawah standar yang ditetapkan HPI. Namun, ia mengatakan bahwa besaran itu juga bergantung pada kemampuan atau catatan presatasi penerjemahnya. Semakin berpengalaman, semakin besar bayarannya.
Anton juga mengatakan bahwa penghargaan finansial bagi penerjemah di luar negeri lebih tinggi dibanding di Indonesia. Di Inggris, dan Australia,contohnya, penerjemah bisa menerima imbalan sekitar Rp 500.000 per halaman yang distandarkan atau 20 kali lipat dari yang nilai nominal yang rata-rata diterima para penerjemah sastra di Indonesia.
Baik Endah maupun Anton sama-sama tidak memiliki pendidikan khusus di bidang penerjemahan, tapi mereka memiliki kemampuan bahasa Inggris, pengalaman menulis, prestasi dan latar belakang pendidikan yang bisa dibanggakan.
Anton Kurnia sudah lama dikenal sebagai sastrawan Indonesia. Pendidikan formalnya antara lain diperoleh di jurusan Teknik Geologi ITB dan Ilmu Jurnalistik IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ia juga bekerja di dunia penerbitan sebagai penerjemah dan editor. Setelah lama berkarier di penerbit Serambi, Jakarta, dengan jabatan terakhir manajer redaksi, ia mendirikan dan memimpin perusahaan penerbit Baca.
Karya-karyanya, berupa cerpen, esai, dan terjemahan karya sastra, pernah dimuat oleh berbagai suratkabar, majalah, dan jurnal, termasuk majalah sastra Horison, Jurnal Cerpen Indonesia, Kompas, Tempo, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Pikiran Rakyat, Jawa Pos, The Jakarta Post, dan Asia Literary Review. Ia juga menjadi kolumnis untuk sejumlah media, antara lain Deutsche Welle Indonesia.
Sejumlah cerpen Anton juga telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, seperti antologi “Menagerie 5” dan “Compassion and Solidarity”.
Sejumlah karya Anton pernah mendapat penghargaan. Cerpennya, “Zenilda Belum Pulang”, menjadi salah satu pemenang dalam sayembara cerpen tentang kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2000. Esainya, “Dari Dunia Tanpa Ingatan ke Matahari Kesadaran”, menjadi pemenang kedua dalam sayembara esai tentang rekonsiliasi nasional terkait pemutaran film “Puisi Tak Terkuburkan” karya Garin Nugroho pada tahun 2000. Cerpen “Cinta Semanis Racun” terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik sepanjang masa majalah Esquire Indonesia dan diterbitkan dalam antologi “Semua Orang Pandai Mencuri” pada tahun 2015
Endah sendiri seorang penggemar sastra. Sebelum terjun di bisnis terjemahan, lulusan Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur UGM ini sudah sering membaca buku-buku sastra karya penulis terkenal di dunia. Penerima beasiswa Humprey tahun 2002/2003, salah satu program beasiswa pemerintah AS di bahwa payung Fullbright ini, juga tak jarang menulis puisi dan cerpen. Puisi-puisinya udah dibukukan bersama penulis-penulis lain, dan cerpen-cerpennya pernah dimuat di majalah Femina. Endah juga pernah menjadi kontributor tetap majalah wisata Travelwan dan sebuah jurnal yang diterbitkan oleh salah satu program USAID di Indonesia.
Endah sendiri sudah cukup banyak menerjemahkan karya sastra. Beberapa di antaranya adalah Burmese Days karya George Orwell, Bread and Wine karya Ignazio Silone, Seribu Bangau dan Perawan Cantik yang Terlelap karya Yasunari Kawabata. [ab/uh]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia