Sebuah laporan baru mengenai serangan massal menyerukan masyarakat agar turun tangan segera sewaktu mereka melihat tanda-tanda peringatan mengenai kekerasan. Laporan yang dirilis hari Rabu (25/1) ini juga mendorong pengusaha untuk mempertimbangkan rencana pencegahan kekerasan di tempat kerja dan menyoroti kaitan antara kekerasan di dalam rumah tangga, misogini dan serangan massal.
Laporan yang dirilis oleh Pusat Penilaian Ancaman Nasional Dinas Rahasia AS itu menganalisis 173 serangan massal yang dilakukan selama periode lima tahun dari Januari 2016 hingga Desember 2020 di tempat-tempat umum atau semipublik seperti tempat bisnis, sekolah dan gereja.
Laporan ini dirilis sewaktu AS mengalami awal tahun yang mematikan, yang sejauh ini telah menyebabkan 39 orang tewas dalam enam pembunuhan massal. Satu di antaranya terjadi dalam sepekan ini di Monterey Park, California, yang menewaskan 11 orang di sebuah tempat dansa sewaktu mereka menyambut Tahun Baru Imlek.
“Ini terlalu sering terjadi,” kata Lina Alathari, direktur Pusat itu dalam konferensi pers menjelang perilisan laporan. Alathari mengatakan bahwa meskipun lembaganya belum secara khusus mempelajari kasus-kasus penembakan yang terjadi dalam sepekan ini, ada tema yang terlihat “berulang-ulang” sewaktu menganalisis serangan massal.
Ini laporan terbaru dari serangkaian analisis lainnya yang dilakukan pusat tersebut untuk meninjau masalah serangan massal. Sementara laporan terdahulu mempelajari secara spesifik tahun 2017, 2018 dan 2019, laporan baru ini menganalisis data beberapa tahun dan memberi “analisis lebih mendalam mengenai pemikiran dan perilaku para pelaku serangan massal.”
Pusat tersebut mendefinisikan serangan massal sebagai serangan di mana sedikitnya tiga orang, tidak termasuk pelaku, cedera. Hampir semua serangan dilakukan oleh satu orang, 96 persen penyerang adalah lelaki dan kisaran usia penyerang adalah dari 14 hingga 87.
Laporan ini mencatat bahwa hampir dua per tiga penyerang menunjukkan perilaku atau komunikasi “yang sangat mengkhawatirkan, mereka seharusnya mendapat tanggapan segera.” Disebutkan pula bahwa kekhawatiran tersebut kerap disampaikan kepada penegak hukum, atasan, staf sekolah atau orang tua. Tetapi dalam 20 persen kasus, perilaku yang mengkhawatirkan itu tidak disampaikan kepada siapa pun “yang berada dalam posisi untuk menanggapi, menunjukkan kebutuhan berkelanjutan untuk mendorong dan memfasilitasi pelaporan orang di sekitar pelaku.”
Laporan itu juga menyerukan perhatian lebih besar terhadap KDRT dan misogini, seraya menyatakan bahwa hampir separuh dari penyerang yang diteliti memiliki riwayat KDRT, perilaku misoginis atau keduanya.
“Meskipun tidak semua yang memiliki pandangan misoginis melakukan kekerasan, sudut pandang yang menganggap perempuan sebagai musuh atau menyerukan kekerasan terhadap perempuan masih tetap menimbulkan keprihatinan,” kata laporan itu.
Sekitar separuh serangan yang diteliti itu terjadi di lokasi usaha, dan penyerang kerap memiliki hubungan sebelumnya dengan bisnis itu, sebagai pegawai, pelanggan, atau mantan atasan atau majikan. Laporan itu juga mencatat peran keluhan pelaku seperti sengketa di tempat kerja atau perseteruan dengan tetangga dalam serangan massal. Sekitar setengah serangan itu dimotivasi “seluruhnya atau antara lain oleh keluhan yang dirasakan pelaku,” menurut laporan itu.
“Tempat kerja harus membuat program penilaian ancaman perilaku sebagai komponen rencana pencegahan kekerasan di tempat kerja mereka, dan bisnis juga harus membangun hubungan proaktif dengan penegak hukum setempat agar mereka dapat bekerja bersama untuk menanggapi insiden yang melibatkan kekhawatiran mengenai kekerasan, baik yang muncul dari pegawai, mantan pegawai, atau pelanggan,” kata laporan itu. [uh/ab]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia