Liputan Kolaboratif 6 media di Sulawesi Utara atas dukungan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dalam Program Jaring Aman 2022
Bagian 2: Hasil Survei Keselamatan dan Keamanan Jurnalis di Sulut
Bagian pertama dari laporan ini dapat dibaca pada artikel ini: Jurnalis di Sulut Kerap Alami Tindakan Kekerasan
Beberapa kisah yang dialami oleh jurnalis di Sulawesi Utara (Sulut) seperti yang diceritakan pada bagian pertama dari laporan ini, hanyalah sebagian kecil dari banyak kejadian kekerasan yang dialami oleh jurnalis di Sulut. Banyak kejadian tidak tercatat dan tidak teramati karena jurnalis yang mengalaminya berada di daerah yang jauh dari pusat perhatian.
Sulut terdiri dari 15 kabupaten/kota, dimana Kota Manado sebagai ibukota provinsi, yang sekaligus menjadi pusat aktivitas sebagian besar jurnalis di Sulut. Beberapa kabupaten letaknya jauh dari Manado, seperti tiga kabupaten yang berada di kepulauan yang berbatasan dengan Filipina (Kabupaten Kepulauan Sitaro, Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud). Lalu ada kabupaten yang berbatasan dengan Provinsi Gorontalo, yakni Kabupaten Bolaang Mongondow Utara dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan.
Pengurus organisasi profesi jurnalis maupun organisasi media seperti AJI, PWI, IJTI dan AMSI serta belasan organisasi pers lainnya, semuanya berkegiatan utama di Manado. Kondisi ini membuat kejadian kekerasan yang dialami oleh jurnalis di Sulut sulit tercatat dan terlacak. Pun, hingga saat ini belum ada satu pun lembaga dan organisasi pers dan organisasi profesi jurnalis di Sulut yang secara tertib mendokumentasikan kejadian-kejadian kekerasan tersebut.
Melihat kondisi tersebut, enam media di Sulut atas dukungan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan mitranya menggelar survei terhadap isu keselamatan dan keamanan jurnalis di Sulut.
Survei ini dilakukan selama minggu pertama dan minggu kedua pada November 2022. Responden survei merupakan jurnalis aktif yang berdomisili di Sulawesi Utara dan bekerja di wilayah liputan Sulut. Pemilihan responden dilakukan secara tertarget.
Distribusi survei menggunakan Google Form serta wawancara secara langsung. Penyebaran form survei dilakukan sesuai target responden, dengan memperhatikan gender, faktor usia, senioritas, level jabatan, tingkat pendidikan, status keluarga, serta organisasi profesi.
Form survei didistribusikan kepada jurnalis di 15 kabupaten/kota yang ada di Sulut. Namun hingga batas waktu yang ditentukan, responden dari Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud tidak mengirimkan jawaban. Hal ini dapat dimaklumi karena akses internet yang masih terbatas di dua daerah tersebut.
Kondisi jurnalis di Sulut
Banyak fakta menarik yang terungkap dari hasil survei yang menjangkau 110 responden jurnalis aktif di Sulut tersebut, seperti jurnalis di Sulut didominasi oleh laki-laki. Hal ini sesuai pula dengan fakta bahwa di lapangan, dimana terlihat saat liputan didominasi oleh jurnalis laki-laki.
Rata-rata usia jurnalis aktif di Sulut saat ini ada pada rentang 30 tahun hingga 50 tahun. Meski demikian ada sebanyak 4,5% yang berusia di atas 50 tahun. Sedangkan yang berusia muda, antara 18-29 tahun hanya 16,1% dari responden.
Kondisi ini mengindikasikan fakta bahwa generasi muda di Sulut tidak terlalu tertarik dengan profesi jurnalis, selaras dengan kenyataan di lapangan, bahwa sangat jarang ditemui jurnalis muda yang beraktivitas saat liputan.
Beberapa jurnalis muda yang diwawancarai memberi jawaban soal mengapa mereka menjadi jurnalis. Menurut mereka pilihan menjadi jurnalis bukan karena didorong oleh keinginan dan motivasi yang kuat, tetapi lebih banyak karena diajak oleh pemilik media dan diberi iming-iming memperoleh penghasilan yang pasti dari kontrak kemitraan dengan pemerintah daerah.
Untuk wilayah liputan, berdasarkan survei diperoleh data bahwa sebanyak 22 persen jurnalis di Sulut bekerja di lebih dari satu daerah atau di lebih dari satu pos liputan.
Paling banyak jurnalis meliput di Manado, sekaligus Manado menjadi daerah domisili terbesar bagi jurnalis di Sulut. Hal ini relevan dengan kondisi Kota Manado sebagai pusat pemerintahan provinsi dan juga merupakan pusat ekonomi dan bisnis. Manado juga menjadi pintu gerbang masuk terutama melalui bandara bagi pendatang dari luar Sulut. Sejauh ini, isu-isu penting pemberitaan yang menjadi perhatian luas terbanyak berasal dari Manado.
Rata-rata jurnalis di Sulut berlatar belakang pendidikan sarjana, dimana sebanyak 65% menyelesaikan pendidikan S1, dan ada beberapa jurnalis yang menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang S2.
Hasil survei menunjukkan bahwa pada umumnya jurnalis di Sulut sudah menikah, dan pada umumnya memiliki tanggungan di dalam rumah lebih dari satu orang. Bahkan ada 15 responden dari survei ini yang mengaku memiliki tanggungan sebanyak 5 orang, sementara 22 responden memiliki tanggungan 4 orang.
Dari sisi penghasilan, sebanyak 48,5% jurnalis di Sulut berpenghasilan per bulan di bawah UMP (UMP Sulut 2022: Rp3,49jt). Terbanyak berpenghasilan antara Rp3 jt hingga Rp5 jt per bulan. Hanya 3 responden yang mengaku berpenghasilan di atas Rp7 juta. Adapun penghasilan yang dimaksud adalah pendapatan yang diperoleh dari aktivitas sebagai jurnalis.
Dari wawancara yang dilakukan terhadap beberapa jurnalis di Sulut, banyak yang mengaku bahwa pendapatan mereka dari profesi ini tidak mencukup kebutuhan sehari-hari, terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga dan mempunyai jumlah tanggungan yang banyak.
Hal ini selaras dengan kondisi sumber pendapatan mayoritas jurnalis di Sulut, yang menggantungkan pendapatan dari hasil bagi kontrak kerjasama publikasi dengan intansi pemerintah. Sebagian besar jurnalis di Sulut bahkan tidak memiliki upah resmi dari perusahaan media, tapi hanya dari pembagian hasil kerjasama tersebut.
“Ada yang 50:50, ada juga yang 60:40 (60 persen untuk jurnalis, 40 persen untuk perusahaan),” ungkap sejumlah jurnalis yang bekerja di media siber.
Karena kebutuhan memenuhi kontrak kerjasama dengan instansi pemerintah ini pula sehingga perusahan media di Sulut berupaya memiliki badan hukum. Sebab seluruh responden yang disurvei mengaku bahwa media tempatnya bekerja sudah memiliki badan hukum. Ini mengindikasikan hal yang positif, bahwa media di Sulut beroperasi secara legal sesuai UU Pers.
Jika melihat status ketenagakerjaan, hanya sebanyak 37,3% jurnalis di Sulut mengaku berstatus sebagai pekerja tetap, sementara yang berstatus sebagai kontributor dan pekerja lepas masing-masing sebesar 15%. Namun yang menarik, dari survei yang dilakukan tersebut, ada 4 responden yang mengaku tidak tahu status pekerjaannya di perusahaan media tempat dia bekerja.
Sebanyak (49%) jurnalis di Sulut mengaku bekerja tanpa mempunyai kontrak kerja, dan ada 7,2% yang pernah punya kontrak kerja, meski rata-rata jurnalis di Sulut sudah cukup lama menjalani profesi mereka. Yang bekerja di atas 5 tahun mencapai 65,4% dan 33,6% diantaranya sudah menjalani profesi ini di atas 10 tahun.
Tapi fenomena jurnalis di Sulut sering berpindah media, tidak bisa dipungkiri. Sebab survey menyebutkan bahwa ada sebanyak 19,1% jurnalis menyatakan telah lebih dari 3 kali berpindah media. Yang pindah sekali hingga tiga kali paling banyak, mencapai 68,1 persen. Hanya 20 persen yang mengaku tidak pernah berpindah media selama menjadi jurnalis.
Alasan berpindah media itu mayoritas karena kesejahteraan. Hal ini berkorelasi dengan kondisi bahwa hampir separuh (48,5%) responden yang mengaku mendapatkan gaji di bawah UMP. Jurnalis berpindah media karena mengejar porsi pembagian kontrak kerjasama publikasi yang lebih besar.
Berdasarkan wawancara dan pengakuan sejumlah rekan jurnalis, hasil kondisi pembagian hasil kontak kerjasama yang kecil menyebabkan banyak jurnalis yang memilih mendirikan perusahaan media sendiri. Biasanya jurnalis yang sudah punya hubungan baik dengan sumber-sumber berita di pos liputan. “Biasanya perusahaan (media) sebelumnya tidak berkomitmen dengan perjanjian pembagian hasil kerjasama,” aku beberapa jurnalis.
Jurnalis di Sulut saat ini paling banyak bekerja di media siber. Hal ini seiring dengan semakin berkurangnya perusahaan pers yang menerbitkan media cetak, dan masih kurangnya stasiun televisi serta radio di Sulut. Fenomena yang menarik, sudah ada beberapa jurnalis di Sulut yang mengaku bekerja di media non mainstream dengan memanfaatkan media sosial seperti kanal Youtube, Instagram dan Facebook. Kondisi ini tentu akan menjadi persoalan terkait jaminan keselamatan dan keamanan, termasuk bagi jurnalis yang tidak memiliki kontrak kerja dari perusahaan media (ada 49% responden).
Keselamatan dan keamanan
Soal hubungan antara jurnalis dan media tempatnya bekerja terkait masalah keselamatan dan keamanan, tergambar pula dalam survei yang dilakukan oleh 6 media ini.
Hasil survei menyebutkan bahwa nyaris setengah (47,4%) jurnalis di Sulut tidak bergabung dengan serikat pekerja mana pun. Hanya 28,2% responden yang bergabung di serikat pekerja pada perusahaan media tempatnya bekerja. Tentu hal ini menjadi persoalan tersendiri saat mereka akan menyelesaikan masalah terkait ketenagakerjaan.
Meski dalam survei ini, 63,1% dari responden yang terdiri dari 110 jurnalis mengaku, bahwa media tempat mereka bekerja sudah menyediakan tim legal, dan 100 persen mengaku bahwa media mereka telah berbadan hukum sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pers.
Dari beberapa catatan, masalah soal ketenagakerjaan ini pernah dialami sejumlah jurnalis di Sulut. Misalnya, penyelesaian hak-hak jurnalis sebagai karyawan ketika memilih keluar dari perusahaan tempat dia bekerja. Ketiadaan serikat pekerja ini membuat mereka harus berjuang sendiri menuntut hak-hak mereka.
“Tempat kerja kami dulu tidak mau mem-PHK, tapi sengaja menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman, sehingga kami harus memilih keluar sendiri dengan tujuan agar kami tidak menuntut pesangon,” kata seorang jurnalis.
Resiko terkait keselamatan dan keamanan jurnalis di Sulut menjadi lebih berisiko karena sebanyak 52,7% responden mengaku media tempat mereka bekerja tidak menyediakan proteksi diri berupa asuransi. Meski ada 47,3% yang memiliki asuransi namun tidak menjelaskan jenis asuransi yang mereka terima.
Tidak semua jurnalis di Sulut pernah ditugaskan meliput di wilayah berisiko atau mendapat tugas meliput isu-isu sensitif. Ada sebanyak 3,5% yang mengaku tidak pernah diberi tugas seperti itu, dan sebanyak 57,3% mengaku kadang-kadang mendapat tugas liputan yang berisiko. Bagi jurnalis yang pernah ditugaskan di liputan berisiko, rata-rata mengatakan tidak pernah menolak penugasan dari redaksi. Hanya ada 1 persen yang mengaku selalu menolak tanpa menyebut apa alasan penolakan tersebut.
Saat sedang melaksanakan penugasan di wilayah berisiko tersebut, sebanyak 87,5% responden mengaku bahwa redaksi memantau mereka dari kantor. Ini mengindikasikan kesadaran ruang redaksi atas keselamatan dan keamaman jurnalis yang ditugaskan. Meski tidak dirinci pemantauan seperti apa yang dilakukan oleh redaksi.
Tetapi kesadaran memantau jurnalis yang sedang ditugaskan itu, tidak lantas diikuti dengan kesadaran menyediakan peralatan kerja yang memadai. Sebanyak 31,6% respoden mengaku tidak disediakan peralatan kerja sama sekali, dan hanya 29,6% yang mengaku redaksinya selalu menyediakan peralatan kerja.
Adapun jenis liputan berisiko yang pernah dikerjakan oleh jurnalis di Sulut yang tidak menolak penugasan, terbanyak soal liputan bencana alam, lalu menyusul liputan tentang kerusuhan massa, kasus politik dan kecelakaan atau musibah. Saat diminta tanggapan soal skala risiko liputan, rata-rata responden memberi bobot tinggi pada semua jenis liputan yang berisiko.
Meski masih ada jurnalis yang tidak memberitahu siapapun saat melakukan liputan berisiko. Namun rata-rata jurnalis di Sulut mengaku memberitahu kepada orang lain saat mereka pergi ke wilayah liputan berisiko.
Keluarga terdekat adalah orang yang paling sering diberitahu (21,9%), menyusul sesama jurnalis (19%) lalu pimred/redpel (17,9%), rekan kerja di kantor dan sahabat. Yang menarik ada sebanyak 12,1% responden yang mengaku memberitahu kepada pengurus organisasi jurnalis tempat dia bergabung.
Bagi mereka yang bertugas di wilayah yang berisiko, terlihat telah memiliki kesadaran mempersiapkan diri sebelum turun bekerja. Rata-rata semua responden mengaku selalu melakukan persiapan, dan hanya ada 1 persen yang mengaku tidak melakukan persiapan sama sekali.
Adapun persiapan terbesar adalah soal persiapan fisik dan melakukan analisis risiko. Kesadaran untuk melakukan mitigasi juga terlihat tinggi.
Protokol yang dilakukan
Survei yang dilakukan oleh 6 media ini juga menanyakan soal protokol keselamatan dan keamanan yang dilakukan oleh jurnalis yang bertugas di wilayah berisiko, atau meliput isu-isu sensitif.
Tentu pertanyaan ini ditujukan kepada responden yang mengaku pernah atau sering meliput di wilayah yang berisiko.
Ada tiga protokol yang ditanyakan, yakni soal protokol keamanan fisik, protokol keamanan digital dan protokol keamanan psikososial.
Dari sisi protokol keamanan fisik hanya 11% responden yang menjawab tidak pernah melakukannya, dan rata-rata selalu melakukannya.
Adapun persiapan keamanan fisik yang dilakukan antara lain riset lokasi liputan, profilling narasumber, menyiapkan pakaian khusus, menyediakan peralatan P3K, menyiapkan fisik dan kesehatan, menganalisis risiko, hingga ke menimbang nilai berita.
Sementara kesadaran melakukan protokol keamanan digital di kalangan jurnalis di Sulut juga sangat tinggi, karena dari hasil survei hanya sekitar 1% yang mengaku tidak pernah melakukan persiapan terkait keamanan digital saat meliput di wilayah berisiko atau isu-siu sensitif. Adapun hal-hal yang dilakukan terkait dengan keamanan digital, bisa dilihat secara detil pada grafis di bawah ini:
Protokol keamanan psikososial masih harus menjadi perhatian bagi jurnalis di Sulut. Karena jika dibandingkan dengan keamanan fisik dan keamanan digital, masih cukup banyak jurnalis di Sulut yang belum memahami pentingnya soal psikososial dalam liputan berisiko.
Hasil survei terhadap 110 responden jurnalis di Sulut menyebut bahwa ada sekitar 20% responden yang tidak melakukan persiapan apa-apa terkait psikososial, dan sekitar 23% yang hanya kadang-kadang melakukannya. Beberapa hal yang dipersiapkan terkait keamanan psikosial seperti terlihat pada grafis di bawah ini:
Pelatihan keselamatan dan keamanan
Pelatihan tentang keselamatan dan keamanan jurnalis di Sulut masih sangat jarang dilakukan. Beberapa lembaga seperti AJI Manado memang beberapa kali menggelar pelatihan seperti ini, tetapi kebanyakan pelatihan tersebut hanya diikuti oleh peserta yang terbatas dan biasanya peserta diprioritaskan berasal dari anggota AJI itu sendiri.
Pelatihan terakhir terkait isu keselamatan dan keamanan jurnalis di Sulut digelar oleh Kelas Belajar Zonautara.com pada Agustus 2022 yang diikuti oleh 15 jurnalis dari berbagai daerah di Sulut. Pelatihan tersebut didukung oleh PPMN dan mitranya.
Hasil survei terhadap 110 jurnalis di Sulut menyebut bahwa ada sebanyak 57% responden tidak pernah mengikuti pelatihan semacam itu, dan hanya 11 persen yang beberapa kali mengikutinya.
Media tempat jurnalis bekerja juga belum sepenuhnya mengambil tanggungjawab menyediakan pelatihan keselamatan dan keamanan jurnalis. Hasil survei menyebut ada sebanyak 55,5% responden mengaku medianya tidak pernah menggelar pelatihan tersebut. Dan hanya ada 35,5% yang pernah serta 9,1% yang beberapa kali menggelar pelatihan soal keselamatan dan keamanan.
Adapun organisasi di luar redaksi yang menggelar pelatihan terbanyak dilakukan oleh organisasi profesi jurnalis, dan urutan kedua adalah lembaga lain seperti PPMN, LBH Pers dan sebagainya.
Yang menggembirakan adalah bahwa rata-rata jurnalis di Sulut sudah bergabung dengan organisasi profesi. Terbanyak bergabung dengan PWI, lalu di urutan berikutnya adalah AJI serta diikuti oleh IJTI.
Meski tidak semua organisasi profesi jurnalis mampu menyelenggarakan atau berinisiatif menggelar pelatihan tentang keselamatan dan keamanan bagi anggotanya, namun dengan bergabungnya jurnalis di organisasi profesi dapat memberikan kesempatan bagi dirinya berjejaring dan berkomunikasi dengan sesama jurnalis lainnya.
Kekerasan terhadap jurnalis
Survei juga memerikan soal kejadian atau potensi kekerasan yang dialami oleh jurnalis di Sulut. Dari hasil survei ini tergambar bahwa jurnalis di Sulut sering mengalami kekerasan saat menjalankan aktivitas jurnalistiknya.
Lebih dari setengah responden mengaku mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk, dan hanya 37,7% yang tidak pernah mengalaminya. Bahkan ada 1,9% yang sering mengalami tindakan kekerasan. Adapun bentuk kekerasan yang paling banyak dialami oleh jurnalis di Sulut adalah tindakan pengusiran atau pelarangan liputan. Lalu menyusul intimidasi dan ancaman atau teror.
Dari jawaban responden terlihat bahwa bentuk kekerasan jurnalis di Sulut sangat beragam, mulai dari kekerasan fisik, kekerasan digital maupun kekerasan yang berkaitan dengan hukum.
Adapun pelaku kekerasan terbanyak yang diingat oleh responden adalah orang yang tidak dikenal (termasuk preman). Kemudian ditempat kedua ada pejabat, lantas aparat kepolisian dan anggota ormas.
Hanya 6,8 persen responden yang mengaku pernah mengalami kekerasan seksual. Namun hal ini perlu ditelusuri lebih lanjut apakah jurnalis di Sulut telah memahami dengan benar bentuk-bentuk kekerasan seksual. Bisa jadi, mereka telah mengalami kekerasan seksual tetapi tidak paham jenis-jenis kekerasan seksual, terutama yang dilakukan secara verbal.
Terhadap responden yang mengaku pernah mengalami kekerasan seksual, ditanyakan siapa pelakunya. Dan orang yang tidak dikenal serta pejabat menjadi pelaku kekerasan seksual yang paling sering.
Menanggapi berbagai kejadian kekerasan yang dialami jurnalis di Sulut yang ditunjukkan oleh data hasil survei, pemerhati media Sulawesi Utara, Stevan Obadja Voges berpendapat bahwa memang kejadian tersebut cukup tinggi terjadi di Sulut. Hal ini menunjukkan literasi terhadap masyarakat soal kerja jurnalisme yang dilindungi oleh aturan (UU Pers No 40/1999) belum tersampaikan dengan jelas.
“Dari data survei terlihat mayoritas pelaku kekerasan kepada jurnalis adalah orang tak dikenal, atau bisa dikatakan preman. Yang kedua justru pejabat pemerintah. Kedua pihak ini boleh dikaitkan dengan penguasa yang identik dengan pemerintah,” ujar staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi ini.
Stevo–sapaannya–melanjutkan, pelaku kekerasan kepada jurnalis dari kalangan preman bisa saja menilai bahwa posisi pers (jurnalis) yang powerful harus dilawan pula dengan kekuatan/kekerasan.
“Jika penguasa bisa menggunakan kekuatan kekuasaan dan pengaruh sosial-politiknya, maka masyarakat menggunakan kekuatan massa dan premanisme,” kata Voges.
Hal senada disampaikan oleh pemerhati masalah sosial Vivi George. Menurutnya dalam menjalankan tugas, jurnalis dilindungi aturan (UU Pers) dan memiliki kode etik.
“Jurnalis itu bagian garda terdepan dalam mengawal pembangunan lewat berita dan jurnalis bagian dari mitra kerja para pengambil kebijakan. Makanya jurnalis butuh ruang yang aman dan nyaman dalam meliput pemberitaan tanpa kekerasan,” ujar Vivi yang merupakan mantan Komisioner KPU Sulut ini.
Menurutnya sangat memprihatinkan jika di Sulut ada jurnalis yang masih mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Misalnya saat meliput mendapatkan tindak kekerasan yang dillakukan oknum terutama pejabat.
“Dalam survei ini presentasinya ada 27%. Tentunya kami menyesalkan sikap arogansi (pejabat) yang tidak menunjukkan sebagai panutan,” ujar Vivi. “Ketika ada pemberitaan yang tidak berkenan diekspos oleh Jurnalis, kiranya bisa bangun koordinasi dan dialog, bukan dengan cara yang tidak terpuji,” tukasnya.
Vivi mendorong jurnalis yang mengalami tindak kekerasan agar memprosesnya secara hukum.
“Indonesia adalah negara hukum. Jurnalis berhak melaporkan ketika mengalami tindakan kekerasan yang membuat dirinya tidak aman dan nyaman. Siapapun harus menghargai kerja-kerja Jurnalis,” kata Vivi.
Bersambung…
Tim Kerja: Ronny A. Buol (Zonautara.com); Bahtin Razak (GoSulut.com); Marshal Datundugon (Pantau24.com); Fandri Mamonto (Torangpeberita.com); David Sumilat (Bfox.co.id); Anggi Mamonto (Kilastotabuan.com)