Bagian kedua dari liputan tentang Penangkapan dan Perdagangan Hiu Tak Terawasi di Sangihe.
Saat ditemui di kiosnya di Pasar Manalu, Kecamatan Tabukan Selatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Jumat (10/7/2022), Anche yang biasa disapa Koh Ance oleh warga sekitar, mengaku sudah melakoni jual beli sirip hiu selama 10 tahun. Koh Ance menjelaskan bahwa dia paham soal jenis-jenis hiu, termasuk yang dilindungi.
Dari pengakuannya, dia mengantongi izin penampungan dari perikanan. Saat mengurus izin itulah ia diberitahu soal jenis-jenis hiu. Izin tersebut ia buat lima tahun lalu. Tapi dia tidak perpanjang lagi.
Padahal menurut aturan setiap orang atau pelaku usaha yang ingin berbisnis komoditas hiu dan pari harus mengantongi beberapa dokumen perijinan.
Dokumen-dokumen perijinan itu antara lain Surat Izin Pemanfaatan Jenis Ikan (SIPJI), Surat Angkut Jenis Ikan (SAJI) dan beberapa rekomendasi. Untuk hiu dan pari, SIPJI yang harus dikantongi adalah SIPJI Perdagangan Dalam Negeri (SIPJI-DN) dan atau Luar Negeri (SIPJI-LN), yang berlaku selama 5 tahun.
Koh Ance tidak memperpanjang karena belakangan mengetahui bahwa beberapa pengepul sirip hiu di Sangihe rata-rata tidak mengantongi izin. Dan sejauh ini menurutnya tidak ada masalah.
“Itu yang saya sayangkan. Karena saya yang punya izin ini otomatis memiliki kontribusi ke pemerintah berupa retribusi. Termasuk saya berkewajiban melaporkan data-data secara berkala ke perikanan. Sementara pembeli (pengepul) lain yang tak punya izin jelas saja bebas dari semua itu. Dan sejauh ini aman-aman saja,” ungkap Koh Ance.
Ance membeli sirip hiu dari nelayan di Pulau Batuwingkung, yang berjarak sekitar 3 mil dari rumahnya yang tepat berada di tepi pantai tempat perahu-perahu bersandar. Sirip hiu yang sudah kering, seperti yang diperlihatkan Timotius, diangkut dengan perahu menuju Manalu. Penampung seperti Koh Ance kemudian mengklasifikasi sirip tersebut sesuai dengan kualitas, ukuran dan jenisnya. Harga per kilogramnya beragam.
Menurut Koh Ance tak ada standar harga. Sangat tergantung pasaran dan kebutuhan ekspor. Pada tahun ini saja (2022), kata dia, terjadi beberapa kali perubahan harga. Paling tinggi itu Rp1,3 juta per kilogram untuk sirip kualitas super (panjang 40 cm).
“Pernah untuk kualitas yang sama hanya Rp600 ribu per kg. Tergantung ekspor. Kalau ekspor baik, maka harga juga meningkat. Tapi kalau pemerintah menekan ekspor, maka otomatis harga juga pasti turun,” ugkapnya.
Koh Ance juga menjelaskan harga dipengaruhi pula oleh kebutuhan eksportir. Jika belum terpenuhi, maka harga pasti naik.
“Karena menurut bos-bos yang mengekspor itu, mereka diberikan kuota oleh pemerintah. Jadi kalau belum mencapai kuota, maka biasanya harga dinaikkan,” jelas Koh Ance.
Sirip hiu yang terkumpul ia kirim ke perusahaan eksportir di Tikala, Manado. Menurutnya perusahaan di Manado itu merupakan satu-satunya perusahaan di Sulut yang punya izin ekspor sirip.
“Itu pembeli besar. Dia satu-satunya pengusaha di Sulut yang punya izin ekspor,” katanya.
Bisnis jual beli sirip hiu yang sudah lama dilakoninya ini, diakui Koh Ance membantu nelayan. Terutama nelayan yang mengeluh lantaran tak punya modal. Koh Ance membantu mereka mulai dari pengadaan perahu, peralatan tangkap, hingga biaya operasional saat melaut.
“Mereka mengeluh ke saya minta bantuan modal. Baik dalam bentuk uang maupun barang. Nanti dipotong ketika ada hasil. Saya juga kasihan. Meski itu hutangnya nanti lunas bertahun-tahun. Bahkan ada yang sampai lima tahun baru lunas. Saya sayang kepada nelayan. Mereka itu tidak terjangkau bantuan dari pemerintah,” jelasnya.
Bantuan dari Koh Ance diakui juga oleh para nelayan di Batuwingkung yang kesulitan modal, baik pengadaan perahu, alat tangkap maupun biaya operasional. Husen (53), misalnya mengakui bahwa sokongan dana dari Koh Ance sangat membantu dirinya membeli BBM mesin katinting di perahunya.
“Nanti bayar kalau mau jual sirip (hiu), hutangnya dipotong,” kata Husen, yang saat ditemui di rumahnya di Batuwingkung menceritakan bahwa belum lama ini ia berhasil menangkap 13 ekor hiu.
Pengakuan nelayan di Batuwingkung, pengepul seperti Koh Ance membeli sirip hiu kering dengan harga sesuai ukuran panjang sirip. Untuk ukuran di atas 40 cm harganya bisa di atas Rp 1 juta per kilogram. Satu sirip hiu berukuran besar rata-rata beratnya bisa mencapai 8 ons. Harga akan turun jika ukuran sirip hiu lebih pendek dari 35 cm.
Tidak ada data yang pasti berapa banyak sirip hiu dikirim dari Sangihe ke Manado. BPSPL Makassar Satker Manado yang dimintai data tentang ini tidak memberi jawaban. Staff BPSPL Makkasar Satker Manado saat ditemui di kantor mereka pada akhir Agustus 2022, memberi alasan bahwa mereka tidak berhak mengeluarkan data karena bukan pejabat struktural. Permohonan permintaan data ke Kantor BPSPL Makassar di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan sudah dilayangkan Zonautara.com, tetapi berkali-kali ditindaklanjuti, permohonan data itu tidak pernah diberikan.
Data juga tidak tersedia di Dinas Kelautan dan Perikanan Sangihe. Padahal semestinya dinas yang mengurusi soal perikanan di daerah ini berkewajiban mendata semua hasil tangkap dan produksi sektor perikanan.
Berbeda dari kedua instansi tersebut, UPT Stasiun KIPM Tahuna mau memberikan data lalu lintas ikan hiu dan sirip ikan hiu yang mereka catat. Dari data yang diberikan Kepala Stasiun KIPM Tahuna, Geric Lumiu, sepanjang 2021 ada sebanyak 3.150 kilogram sirip hiu yang dikirim dari Sangihe, dan daging ada sejumlah 25.256 kilogram. Total komoditas hiu yang tercatat oleh Stasiun KIPM Tahuna sepanjang 2021 seberat 28.430 kilogram. Angka ini naik dibandingkan tahun 2020 yang tercatat total seberat 20.200 kg , namun turun jika dibandingkan dengan tahun 2019 yakni 92.422 kilogram (daging 88.628 kg dan sirip 3.794 kg).
Tak ada data pembanding lainnya dari data yang disodorkan oleh Stasiun KIPM Tahuna tersebut. Rekam Nusantara Foundation yang melakukan pendataan hasil tangkapan jenis ikan tertentu di beberapa wilayah di Sangihe, tidak secara spesifik mencatat hasil tangkapan hiu oleh nelayan di wilayah pengamatan mereka.
Padahal data dari Stasiun KIPM Tahuna tersebut hanyalah data yang tercatat dari pengurusan dokumen untuk melalulintaskan komoditi perikanan keluar dari suatu daerah, dalam hal ini saat ada suplier atau masyarakat yang hendak mengirim komoditas hiu baik daging maupun sirip dari Sangihe ke Manado atau ke pulau lainnya.
“Kami di karantina ini mempunyai tugas pengawasan lalu lintas komoditi perikanan di pintu masuk dan pintu keluar, itu kami data,” jelas Geric.
Menurut Geric, sejak Desember 2021, sesuai dengan surat dari Dirjen Pengelolaan Ruang Laut, seluruh pengiriman komoditas hiu wajib mendapatkan rekomendasi dari BPSPL. Tetapi dari pengamatan Zonautara.com di berbagai titik pendaratan hasil tangkapan laut di Sangihe, termasuk di Batuwingkung dan Petta, tidak ada satu pun staff BPSPL.
Kehadiran petugas dari BPSPL sangat penting untuk mengawasi jenis hiu yang ditangkap oleh nelayan serta pengiriman komoditas hiu dari Sangihe keluar pulau. Namun seperti juga diakui oleh staff BPSPL Makassar Satker Manado, Indri, mereka memang tidak ada petugas di sana.
“Lebih enak kalau ada petugas BPSPL yang ditempatkan di sini (Sangihe). Kami berharap mereka langsung yang melakukan identifikasi di lapangan. Karena kami dari karantina juga belum paham soal mengidentifikasi soal hiu,” ujar Geric.
Tidak terawasi
Stasiun Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Tahuna yang seharusnya bertugas melakukan pengawasan pengkapan ikan serta melakukan pemantauan dan peningkatan infrastruktur sumber daya kelautan dan perikanan, justru tak muncul di wilayah-wilayah yang notabene masih terjadi penangkapan spesies ikan yang terancam punah seperti hiu.
“Dulu pernah ada yang datang ke Batuwingkung, tapi sudah lama sekali. Saat kami tanya apa solusinya agar kami berhenti menangkap hiu, mereka tidak bisa beri solusi,” ungkap Timotius Lesawengen, salah satu nelayan penangkap hiu di Batuwingkung.
Kepala Stasiun PSDKP Tahuna, Bayu Suharto tak menampik hal tersebut. Bayu mengatakan, pihaknya memang bertugas melakukan pengawasan, baik itu soal perizinan maupun penangkapan. Tapi, menurutnya, untuk pengawasan mereka lebih terfokus pada wilayah perbatasan Indonesia – Filipina. Karena Kabupaten Kepulauan Sangihe berbatasan langsung dengan Filipina.
“Kalau dari sisi kami kegiatan pengawasannya paling banyak berupa sosialisasi ke masyarakat. Termasuk soal jenis ikan yang dilindungi ataupun yang bisa dilakukan penangkapan. Jadi tak hanya spesifik soal hiu saja. Apalagi, hiu ini tidak semua dilindungi. Biasanya yang masuk Apendiks II itu bisa ditangkap tapi tidak bisa diekspor. Hanya di dalam negeri saja,” kata Bayu, saat ditemui di kantornya, Senin (13/6/2022).
Sementara, terkait intensitas pengiriman dan distribusi, menurut Bayu, itu merupakan kewenangan Kantor Karantina Ikan, Pengendalian Mutu (KIPM) Stasiun Tahuna yang bertugas memantau pengiriman.
“Sejauh yang saya lihat di Pulau Sangihe ini rata-rata hiu yang ditangkap masih Apendiks II yang diperbolehkan. Itu nama lokalnya menehe (lanjaman). Kami juga sudah berkoordinasi dengan BKIPM dan memang itu diijinkan,” ungkapnya.
Bayu mengatakan, dari pengawasan PSDKP tidak ditemukan adanya perdagangan hiu dalam skala besar di Sangihe. Meski dia mengakui ada beberapa pengepul di daerah itu. Tapi dalam jumlah kecil. Beberapa pengepul lokal juga punya izin yang dikeluarkan BPSPL.
Disinggung apakah Stasiun PSDKP Tahuna melakukan monitoring terhadap jumlah tangkapan hiu, Bayu mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah menghitung soal itu. Kewenangan soal itu ada di BPSPL.
“BPSPL tidak punya staf di Sangihe. Di Sulut (pembeli) yang besar itu PT Rohtadi. Itu di Manado. Untuk pengawasan PT Rohtadi ini sebetulnya masuk wilayah PSDKP Bitung. Tapi karena ada beberapa pengepul juga dari Sangihe yang menggunakan kuota dari mereka sehingga kami juga melakukan pemeriksaan terkait perizinan PT Rohtadi,” sebut Bayu.
Ditanya soal kemungkinan perdagangan sirip hiu ke Filipina, Bayu mengaku belum punya informasi terkait hal itu. Karena menurut dia, kapal patroli milik PSDKP di wilayah perbatasan Indonesia-Filipina juga tidak setiap saat beroperasi.
“Kalau ke Filipina saya belum dapat info. Karena kapal kami itu yang beroperasi di wilayah Indonesia – Filipina itu terakhir pada Maret 2022 kemarin. Tapi memang soal kapal-kapal kecil yang keluar masuk jalur “tikus” entah perdagangan barang lain itu belum terpantau,” akunya.
Ditemui secara terpisah, Kepala Stasiun KIPM Tahuna, Geric Lumiu menjelaskan bahwa instansi yang dipimpinnya dalam melakukan pendataan lalu lintas komoditi perikanan dilakukan terhadap semua jenis ikan, tidak secara spesifik soal hiu saja. Setiap pengguna jasa, dalam hal ini supplier atau masyarakat yang melakukan pengiriman keluar Sangihe wajib melapor dan melakukan registrasi.
“Setiap komoditi perikanan yang keluar dari Sangihe wajib mengantongi sertifikat jaminan mutu dari SKIPM. Saat ini sudah ada pelayanan via online. Syaratnya juga mudah, cukup melampirkan KTP, NPWP dan Surat Izin Usaha dari Desa/Kelurahan,” kata Geric.
Geric menegaskan, komoditi perikanan khususnya yang keluar dari Sangihe tanpa mengantongi sertifikat dari SKIPM maka akan ditahan di pelabuhan tempat tujuan. Baik di pelabuhan Manado maupun pelabuhan Bitung.
“Petugas kami itu ada di pelabuhan. Jam 04.30 WITA (subuh) sudah standby. Dan setiap kapal masuk atau berangkat itu kami awasi. Kami atur piket. Ketika ada yang melakukan pengiriman maka kami akan periksa. Dan itu harus ada sertifikat dari BKIPM. Dan sejauh ini lalulintas komoditi perikanan masih bisa diawasi,” tegasnya.
Senada dengan Bayu, Geric juga berharap ada petugas dari BPSPL di Sangihe. Apalagi kata Geric, sejak 10 Desember 2021 lalu, pihaknya mendapatkan surat dari Dirjen Pengelolaan Ruang Laut yang menyebutkan bahwa khususnya untuk pengiriman hiu wajib mendapatkan rekomendasi dari BPSPL.
Dengan tidak adanya petugas dari BPSPL, sehingga untuk urusan identifikasi masih ditangani oleh SKIPM. Petugas SKIPM Tahuna membantu dengan mengambil foto dan video sampel hiu yang diuji, lantas dikirim ke BPSPL.
“Nanti dari pihak BPSPL Manado yang mengidentifikasi untuk selanjutnya diberikan rekomendasi. Karena memang tugasnya BPSPL untuk mengidentifikasi jenis-jenis hiu. Karena kami dari karantina juga belum paham soal mengidentifikasi hiu. Sesuai dengan tugas pokok SKIPM itu hanya menghitung volume dan menjamin mutunya. Jadi sebenarnya lebih enak kalau ada petugas dari BPSPL yang ditempatkan di sini (Sangihe). Kami berharap mereka langsung yang melakukan identifikasi di lapangan,” jelas Geric.
Keterangan Staff BPSPL Makassar Satker Manado, Indri, menyebut bahwa ada satu eksportir di Manado yang kerap mengajukan permohonan rekomendasi ekspor sirip hiu. Namanya PT Rohtadi. Manado memang menjadi pintu keluar pengiriman sirip hiu dari Sangihe dan daerah lain di Sulawesi Utara hingga menuju Hong Kong.
Sebelum diekspor, sirip hiu harus diverifikasi petugas BPSPL. Menurut Indri, yang juga merupakan salah satu verifikator BPSPL Satker Manado, jika ada permintaan rekomendasi dari eksportir, maka pihaknya akan turun melakukan verifikasi. Tapi, terbatasnya jumlah personil BPSPL Satker Manado yang hanya berjumlah 6 orang saja, maka yang biasanya turun melakukan verifikasi hanya dua orang. Jika sirip hiu dalam jumlah banyak, tidak jarang verifikasi membutuhkan waktu hingga dua hari.
“Sejauh ini, kami belum pernah menemukan sirip hiu dilindungi,” aku Indri, saat ditemui di kantornya, akhir Agustus 2022.
Penjelasan staff BPSPL Makassar Satker Manado tersebut, bertolak belakang dengan kondisi yang ditemui di Batuwingkung dan di Petta. Dari amatan secara langsung dan pengakuan dari beberapa nelayan, mereka masih sering menangkap jenis hiu yang dilindungi. Dan siripnya ikut dijual ke pengepul.
Sementara itu, berdasarkan Kepdirjen Pengelolaan Ruang Laut Nomor 49 Tahun 2021 tentang penetapan dan pembagian kuota ekspor jenis ikan yang dilindungi terbatas dan atau jenis ikan yang tercantum dalam apendiks II CITES tercatat ada puluhan perusahaan di Indonesia yang memiliki kuota ekspor hiu.
Dalam Kepdirjen tersebut, nama PT Rohtadi tidak tercantum. Bahkan tidak ada perusahaan di Sulawesi Utara yang tercatat memiliki kuota ekspor.
Zona Utara mencoba mendatangi kantor PT Rohtadi di Jalan Sam Ratulangi Nomor 61, Lingkungan II, Tanjung Batu Manado dan Unit Pengolahan Ikan (UPI) milik mereka di Jalan Tikala Kumaraka, Lingkungan III, Nomor 23. Tidak ada plang nama perusahaan di dua lokasi tersebut. Tak tampak juga aktivitas penghuninya. Beberapa kali didatangi, kondisi bangunan tersebut selalu saja dalam kondisi ditutup, sehingga Zonautara.com belum berhasil menemui pengurus PT Rohtadi.
Dari dokumen yang diperoleh Environmental Justice Foundation (EJF), PT Rohtadi tercatat beberapa kali melakukan pengiriman (ekspor) sirip hiu ke luar negeri. Baik lewat jalur laut maupun udara. Negara tujuannya adalah Hongkong.
Dikutip dari siaran pers KKP NOMOR: SP.338/SJ.5/V/2022, menyebut bahwa PT Rohtadi pernah diduga berupaya mengirimkan sirip-sirip hiu ilegal dari Bau-Bau dan Dobo ke Manado untuk kemudian dijual dari Manado. Aktivitas itu disebut ilegal karena tidak dilengkapi dokumen untuk pengambilan dan pengangkutan dari kedua wilayah tersebut.
Petugas menemukan sebanyak 4.030 kg sirip hiu. Jumlah tersebut hampir dua kali lipat dari yang semula dijelaskan oleh penanggung jawab PT. Rohtadi yang menyampaikan hanya sekitar 2.450 kg.
“PT. R ini memiliki izin untuk wilayah Sulawesi Utara, namun berupaya mendatangkan sirip-sirip hiu ilegal dari Dobo dan Bau-Bau untuk kemudian diduga akan diperdagangkan seolah-olah legal dari Manado,” ungkap Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, dikutip dari siaran pers tersebut.
Adin juga menambahkan bahwa selain modus tersebut, ditemukan juga 6 jenis sirip hiu yang akan dikirim ke Manado ternyata jenis hiu yang dilindungi sebagaimana tercantum dalam Appendix II CITES.
Terhadap pelanggaran tersebut, Adin memastikan bahwa pihaknya akan memproses secara hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Kami akan mengenakan sanksi yang tegas, ini tentu pelanggaran yang serius dan penting untuk menjadi pembelajaran bagi pelaku usaha yang lain untuk tidak coba-coba melakukan pelanggaran hukum,” tegas Adin. ***