Perusahaan pertahanan yang berbasis di India, BrahMos Aerospace, berharap mencapai kesepakatan penjualan rudal jelajah supersonik senilai setidaknya $200 juta atau sekitar Rp3 triliun dengan Indonesia. Langkah itu sebagai bagian dari langkah perusahaan yang ingin memperluas bisnisnya di Asia Tenggara, kata kepala eksekutif BrahMos, Rabu (15/3).
BrahMos, perusahaan patungan antara India dan Rusia, mencapai kesepakatan luar negeri pertamanya pada tahun lalu. Perusahaan itu menjual rudal anti-kapal berbasis pantai senilai $375 juta ke Filipina. Hal itu merupakan bagian dari ambisi Perdana Menteri India Narendra Modi untuk melipatgandakan nilai ekspor dari bidang pertahanan.
Perusahaan telah melakukan negosiasi yang berlarut-larut dengan Indonesia. Detail volume dan jadwal kesepakatan potensial belum dilaporkan.
CEO BrahMos Aerospace Atul D. Rane mengatakan bahwa diskusi antara pihaknya dan Pemerintah Indonesia sudah memasuki tahap lanjut tawaran untuk memasok rudal darat dan versi yang dapat dipasang di kapal perang. Nilai kesepakatan itu diperkirakan antara $200 juta hingga $350 juta.
“Tim saya sekarang berada di Jakarta,” kata Rane kepada Reuters dalam sebuah wawancara. Ia menambahkan bahwa kesepakatan itu diharapkan dapat dicapai pada tahun ini. “Angkatan Bersenjata Indonesia sangat tertarik.”
Juru bicara bicara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada Rabu (15/3) menolak untuk memberikan komentar langsung.
BrahMos juga bertujuan untuk mendapatkan pesanan lanjutan sekitar $300 juta dengan Filipina. Misil-misil BrahMos dijadwalkan akan dikirim ke Korps Marinir Filipina mulai akhir tahun 2023, kata Rane.
“Filipina sendiri telah menunjukkan kepada kami bahwa ini hanyalah pemecah kebekuan,” kata Rane, mengacu pada penjualan 2022. “Mereka melihat lebih banyak sistem.”
Seorang juru bicara Departemen Pertahanan Nasional Filipina tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Pengeluaran Bidang Pertahanan
Data perusahaan intelijen pertahanan Janes menunjukkan Indonesia dan Filipina telah meningkatkan anggaran untuk pengadaan senjata dan peralatan militer lainnya sebagai tindak lanjut atas kehadiran maritim China yang terus tumbuh di Laut Cina Selatan dan beberapa daerah sekitarnya.
Anggaran Pemerintah Indonesia untuk pembelian senjata baru naik hampir 28 persen pada 2021 dan 69 persen pada 2022. Anggaran Filipina mengalami peningkatan sebesar 29 persen pada 2021 dan 40 persen pada 2022. Angka-angka itu jauh lebih tinggi dari rata-rata di Asia Tenggara.
“Sengketa teritorial dengan China menjadi perhatian utama bagi sebagian besar negara Asia Tenggara yang mendorong peningkatan anggaran pertahanan mereka untuk memenuhi persyaratan keamanan mereka,” kata Akash Pratim Debbarma, analis pertahanan dan kedirgantaraan di GlobalData.
Sebagian besar pembelian alutsista baru di Asia Tenggara berasal dari pemasok tradisional, termasuk Amerika Serikat, Prancis, dan Rusia. Namun, India – importir pertahanan terbesar di dunia – dan BrahMos sedang membuat terobosan.
“Kami telah mendapat lampu hijau untuk memasarkan ke setiap negara di Asia Tenggara, baik dari pemerintah India maupun pemerintah Rusia,” kata Rane.
BrahMos didirikan melalui perjanjian antar-pemerintah pada 1998 sebagai usaha patungan antara Organisasi Riset dan Pengembangan Pertahanan milik negara India dan NPO Mashinostroyenia Rusia.
Rane mengatakan sanksi yang Barat terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina tidak memengaruhi produksi atau perencanaan BrahMo. [ah/ft]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia