Perhelatan KTT G20 yang tahun lalu berlangsung di Bali membawa ribuan pengunjung internasional yang berkepentingan dengan berbagai hal terkait KTT tersebut. Jauh sebelum dan sesudah acara tersebut berlangsung, banyak turis lokal yang juga datang untuk menikmati suasana Bali sepanjang masa persiapan hingga pasca KTT G20
Imam Wibowo adalah salah satu di antara sekian banyak warga Jakarta yang datang ke Bali untuk merasakan segala perbaikan suasana sehubungan dengan diadakannya KTT G20 di sana. Kepada VOA, Imam berbagi seputar pengalamannya.
“Kenapa gue pengin banget ke Bali setelah G20, karena ada harapan Bali itu menjadi sebuah tempat yang lebih indah, lebih teratur, lebih rapih. Dan mungkin juga punya harapan, teman-teman di Bali it punya kayak sebuah optimism baru setelah mereka mendapatkan kehormatan menjadi tuan rumah dari sebuah perhelatan internasional dan yang pasti kan mendapat perhatian sedunia tuh, Bali nggak ada acara aja kan dianggap sebagai pulau yang ramah tuh, apalagi tiba-tiba ada belasan kepala negara dunia yang hadir di sana,” paparnya.
Imam mengakui setelah kurang lebih satu tahun tidak berkunjung ke Pulau Dewata, ia menjadi semakin penasaran bagaimana keadaannya sekarang.
“Jadi, gue pengin ngerasain sih feel-nya kayak gimana, dan secara visual, Bali itu seperti apa setelah G20. Bali rame, karena banyak sekali ‘basian’ orang-orang yang setelah melewati G20, kemudian mereka extend, untuk stay di Bali, menikmati Bali setelah mereka kerja, sibuk, lalu mereka pengin leyeh-leyeh (bersantai, red.) jadi bisa mendapatkan banyak sekali visual orang-orang yang berbeda-beda dari berbagai macam negara yang memang akhirnya mereka mendapatkan kesempatan ke Bali. Mungkin juga ada beberapa yang baru pertama kali ke Bali, gara-gara G20,” tambahnya.
Dan setelah menginjakkan kaki ke Bali, presenter sekaligus MC yang suka mengajar ‘public speaking’ ini memang merasakan bahwa Bali kini lebih rapih dibanding biasanya. Terutama daerah-daerah utama seperti Nusa Dua yang menjadi lokasi para delegasi VIP dari berbagai negara memang tertata sangak apik.
“Seterusnya memang gue bertemu dengan teman-teman yang bekerja di hotel ataupun yang di trasnportasi, udah pasti hotel rame banget di Bali, kemudian juga secara transportasi yang namanya rental mobil di Bali sampai mereka tuh bingung gitu lho, bahwa mereka kehabisan mobil. Tapi somehow on the positive side, perekonomian Bali jadi bergerak dan mereka happy karena sebenarnya mereka akhirnya bisa kembali bekerja secara normal lagi.”
Hal tersebut diakui oleh Agung Prastista, pengusaha PMG Hotels and Resorts, yang memilik tiga hotel berbintang di daerah-daerah strategis seperti Legian, Kuta dan Seminyak. Kepada VOA, Agung menceritakan bagaimana KTT G20 berdampak positif kepada usaha perhotelan.
“Jadi memang dampak dari G20 ini besar sekali terhadap pariwisata Bali, yang kemungkinan besar terjadi karena kondisi sector daerah sekitar Nusa Dua itu penuh, dan juga pengamanan yang sangat ketat untuk masuk dan keluar di sana, oleh karena itu mungkin tamu memilih untuk tidak tingal di daerah yang dipakai untuk acara G20 tersebut,” katanya.
“Oleh karena itu mereka pindah ke daerah kami di Kuta, Legian dan Seminyak ini dan akhirnya menyebabkan occupancy dari bulan Oktober dan November yang lalu itu memang naik. Tidak lazimnya November itu tinggi seperti saat (tahun) ini. Jadi walau kita tidak mendapat dampak secara langsung, namun kami mendapat imbasannya. Mudah-mudahan mereka akan stay dan mereka juga jatuh cinta pada daerah Legian, akhirnya they can extend their stay atau untuk future stay mereka bisa rekomen teman-temannya untuk tinggal di Legian dan Seminyak,” tambah Agung.
Sementara menurut Komang Astawa, Direktur Pelaksana Astadala Hospitality yang mengelola sejumlah resor, vila eksklusif dan spa di Bali, dampak yang dirasakan lebih ke citra Bali di mata dunia.
“Kondisi pasca G20 yang berlangsung secara meriah dan sukses itu sangat berdampak besar sekali terhadap image dan branding Bali pada khususnya, dan pada umumnya Indonesia sendiri. Sehingga kondisi Bali pun akan terekspos secara besar ke seluruh penjuru dunia, terutama dengan diekspos kesiapan kita terhadap event-event sekelas KTT untuk presidensial itu sangat bagus sekali brand awareness-nya,” kata dia.
“Sehingga secara tidak langsung kesiapan untuk menjamu tamu-tamu dari mancanegara untuk kembali ke Bali akan sangat besar. Kitapun melihat dari perkembangan trend pick-up setelah G20 itu relative stabil, bahkan beberapa property khususnya villa ataupun hotel sudah mulai kesusahan untuk mencari kamar di event Christmas dan New Year. Kebetulan juga beberapa tambahan dari overseas flight yang datang ke Bali, dalam terakhir ini, sehingga akan menemukan kembali tingkat hunian teman-teman di sektor akomodasi,” tambahnya.
Hal inipun disetujui oleh Wayan Winawan, Direktur dan salah satu pendiri Karaniya Experience, yang menawarkan sejumlah villa, spa, restoran dan pelayanan event pernikahan. Menurutnya, secara ekonomi Bali akan merasakannya dalam jangka panjang.
“Kami yakin ini sangat baik untuk Bali dan Indonesia, untuk tourism, khususnya di sektor kami, karena akan memberikan kepercayaan yang lebih terhadap destinasi Bali tentunya. Dengan semakin dibukanya, semakin banyak negara dan pesawat yang sudah menuju Bali, saya rasa dengan tambahan G20 ini, memberikan confidence, memberikan rasa percaya diri untuk turis berkunjung dan berwisata ke Bali,” tuturnya.
Belajar Dari Pandemi
Ketiga pengusaha tersebut juga mengutarakan kepada VOA hal-hal apa saja yang dapat mereka pelajari untuk mengantisipasi krisis pada dunia pariwisata di Bali apabila peristiwa pandemi yang berkepanjangan ini terulang kembali. Bagi Agung Prastista, ia akan mengutamakan perencanaan keuangan yang lebih matang.
“Saya melihat yang paling diutamakan adalah kita benar-benar harus mengatur financial planning ya, kita harus punya dana cadangan yang tidak terduga ya. Contingency plan-nya mungkin ya, di mana apabila terjadi sesuatu, kita masih punya pegangan, cadangan, yang masih bisa membuat company kita sustain, ” kata Agung.
Menurutnya, banyak sekali perusahaan yang mungkin tidak mengalokasikan dana secara baik sehingga akhirnya mereka menutup perusahaannya, dan tidak merawat. Atau ada juga yang sewaktu kondisi kembali, mereka tidak bisa membuka kembali dengan baik karena property yang ditinggalkan sudah cukup rusak, dan biaya untuk mengembalikan lagi property yang rusak tersebut juga tidak ada dananya.
“Kedua, kita harus tetap commit terhadap apa yang kita lakukan, memang kondisi istimewa seperti pandemi ini tidak ada yang bisa mengantisipasi. Commitment tersebut saya artikan bahwa, kita punya karyawan, kita punya kewajiban kepada mereka, jangan sampai sewaktu keadaan baik itu kita memetik sendiri, tapi sewaktu keadaan susah, kita tinggalkan mereka begitu saja,” tukas Agung.
Di samping itu, Agung juga menambahkan perencanaan strategis untuk menjadikan diversifikasi usaha dimana menurutnya “jangan menempatkan semua bisnis dalam satu basket”. Jadi apabila kejadian pandemi ini terulang, ia dapat memilah kira-kira sektor apa yang bisa bertahan, karena ia yakin tidak semua sektor akan terdampak, contohnya sektor pangan (restoran) dan ritel swalayan. Komang Astawa juga menyetujui hal itu.
“Kitapun bisa me-review produk-produk yang ada, khususnya di sektor pariwisata dimana peran dari market domestik itu sangat dan patut diandalkan kedepannya. Terlebih-lebih untuk produk juga kita harus siap untuk diversifikasi sehingga kita bisa lebih memberikan suatu variasi produk bagi tamu-tamu yang berkunjung ke Bali, baik itu domestik maupun internasional,” katanya.
Pasalnya, kata Komang Astawa, customer behavior selama dua setengah tahun ini jauh berubah dari zaman sebelum pandemi. Sehingga mereka harus tetap bisa memantau tren dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan tamu, khususnya sektor food and beverage yang jauh berubah dari trend sebelumnya.
“Dengan adanya perkembangan teknologi (seperti pemesanan online) sehingga tamu-tamu lebih merasa nyaman. Kita juga tidak bisa melupakan para ‘digital nomad’ yang berperan lumayan banyak, karena begitu trend-nya sekarang anak-anak muda, mereka bisa menikmati hari-harinya sambal mereka bekerja,” jelas Komang Astawa.
Sementara bagi Wayan Winawan, pengalamannya sepanjang pandemi membuka matanya untuk lebih memperkuat usahanya dalam segi manajemen krisis.
“Kita diajarkan oleh pandemi untuk menyiapkan crisis management yang lebih baik, menyiapkan reserve finance untuk mem-back-up hotel operation dengan lebih baik. Sebelumnya kita hanya menyiapkan reserve funds itu hanya untuk bagaimana hotel tersebut dapat berjalan tanpa ada tamu selama enam bulan, tetapi ternyata tidak cukup,” ujar Wayan.
“Kita harus menyiapkan reserve funds yang lebih panjang, sehingga jika ada krisis kembali di masa mendatang, kita akan lebih kuat secara operasional,” katanya.
Juga, lanjut Wayan, bagaimana mereka dapat mempersiapkan hotel operation plan dengan menambahkan prinsip-prinsip bagaimana hotel operation itu lebih ramah lingkungan.
“Bagaimana hotel operation itu bisa memberi support lokal lebih baik, menggunakan prinsip prinsip sustainability ke hotel operation kita untuk tourism yang berkelanjutan,” pungkasnya. [aa/ka]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia