Meski pandemi COVID-19 sangat sering dikaitkan sebagai pembawa musibah bagi banyak orang, tak sedikit yang menganggapnya sebagai pembawa hikmah. Satu di antaranya adalah membuat pengajian dan kajian keislaman secara online jadi marak semasa pandemi. Kegiatan ngaji online ini terus disukai bahkan setelah pandemi dianggap berakhir.
VOA – Ghazi dan Susi di Finlandia, Endang di Swedia. Pada kesempatan dan dalam grup yang berbeda, mereka belajar mengaji dengan ustaz Taslim di Jakarta. Berkat kemajuan teknologi, perbedaan tempat maupun waktu tidak menghalangi mereka untuk melakukan kegiatan belajar membaca Alquran maupun mengikuti kajian, kegiatan yang kerap disebut ngaji online.
Grup-grup pengajian mereka diinisiasi oleh Adriana Kusuma Devi, ibu tiga anak yang bermukim di Vancouver, Kanada, ketika pandemi COVID merebak di seluruh dunia. Devi mengenang, ketika setiap hari ada laporan begitu banyak orang yang meninggal, kematian terasa begitu dekat. Ia merasa ada pesan dari Allah untuk manusia.
“Allah cuma menurunkan seperti itu saja, kalian sudah kelimpungan. Akhirnya [manusia makin] siap ya, spiritualnya semakin tebal,” kata Devi. Ia kemudian tergerak untuk mulai ngaji online.
Semula ia hanya ingin mencarikan guru untuk suaminya, yang menjadi mualaf sejak sebelum menikah namun masih kesulitan dalam belajar mengaji. Devi kemudian meminta bantuan Arifin Jayadiningrat, ustaz yang banyak berdakwah di berbagai pelosok Indonesia hingga ke luar negeri termasuk ke Amerika.
Belakangan Devi menengarai ada kebutuhan belajar serupa pada anak-anak diaspora Indonesia di sekitar tempat tinggalnya. Ketika itulah Ustaz Arifin mengutus ustaz Taslim untuk menjadi pengajar mereka.
Hikmah COVID
Ustaz Taslim membenarkan, ketika pandemi melanda dan lockdown diberlakukan di berbagai tempat, banyak orang tidak tahu harus melakukan kegiatan apa. Ngaji online kemudian menjadi salah satu alternatif kegiatan yang inovatif, edukatif dan kental nuansa dakwahnya. Kegiatan ini sangat membantu karena, “Pertama, mengisi kekosongan, kan banyak orang stres. Kedua, ini momentum teknologi yang luar biasa yang kita manfaatkan,” jelasnya.
Tidak sedikit memang yang akhirnya mengisi waktu semasa lockdown dengan ngaji online. Di antaranya Fermiyanti, warga Jakarta yang pensiunan COO sebuah bank pembangunan daerah, Nawan Roming, pensiunan dokter gigi yang bermukim di kota New York, dan Bimasetha Putri Emmert, ibu rumah tangga warga Ardmore, Pennsylvania.
Mereka semua praktis setiap hari mengisi waktu dengan pengajian dan kajian Islam secara online.
Kelebihan ngaji online
Bima memilih cara online karena sulitnya mencari tempat belajar secara tatap muka di sekitarnya. “Di sini mau belajar di mana? Susah, mau cari ke mana,” ujarnya.
Selain belajar mengaji di Majelis Taklim Ar-Rayhan yang berbasis di Indonesia, Bima belajar mengaji secara privat yang infonya ia temukan di Instagram. Kelas ini berbayar, memungut biaya Rp100 ribu per pertemuan yang berlangsung satu jam setiap pekan. Bima mengaku sudah nyaman mengikuti kelas online, daripada belajar di luar rumah.
“Kalau saya lebih senang (belajar) online, ya. Jadi langsung saja pakai hijab,” komentarnya.
Devi, Fermi, dan Nawan juga sependapat, kegiatan mengaji dan kajian secara online menghemat waktu, biaya dan tenaga. Dengan metode online, tambah Nawan, “Untuk bertanya kita tidak malu, karena kita tidak langsung berhadapan dengan gurunya.”
Nawan merasa sangat nyaman mengikuti kelas online, sampai-sampai untuk kelas belajar membaca Al-Qur’an yang diselenggarakan di kotanya sendiripun, ia tetap mengikutinya secara online. Kajian-kajian keislaman setiap Sabtu, lanjutnya, setelah pandemi memang dapat dilakukan dengan berkumpul di suatu tempat. Tetapi uniknya, mereka berkumpul untuk mengikuti materi yang disampaikan secara online oleh ustaz dari Indonesia.
Sementara itu, Fermi, yang bersama-sama dengan Nawan tergabung dalam kelompok pengajian APB (Aksi Peduli Bangsa) di bawah asuhan ustaz Arifin, mengaku menyukai program yang dilangsungkan secara online maupun dengan tatap muka.
“Isi materi dan kajian juga relatif sama. Setiap peserta mendapat waktu dan kesempatan yang sama untuk bertanya saat kajian berlangsung,” jelasnya.
Tetapi setelah pandemi, ia mengatur 70 persen kegiatan mengajinya dilakukan secara online. Alasan lain yang dikemukakannya adalah,“Walaupun katanya COVID sudah tidak ada di Indonesia, tapi tetap saja masih ada rasa takut, karena kan masih ada juga yang kena. Jadi rasanya kalau di rumah tuh merasa lebih aman, lebih sehat.”
Bukan hanya peserta yang merasakan manfaat belajar online ini. Ustaz Taslim yang pernah dipercaya untuk memimpin sebuah pesantren di Bandung juga merasa waktu mengajarnya lebih efektif dan efisien dengan metode ini. Sebelum mengajar online, ia adalah dosen tidak tetap bahasa Arab di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Setelah pandemi berakhir, kegiatan tersebut maupun kegiatan tatap muka lainnya kini tidak lagi ia lakukan karena ia praktis mengajar beberapa grup di berbagai negara secara online setiap hari, rata-rata 13-14 jam.
“Kalau mengajar dari kampus ke tempat lain itu, perjalanan di kota Jakarta luar biasa macetnya. Kira-kira 60 persen -70 persen waktu terbuang di jalan. Kalau kita mengajar melalui Zoom seperti ini, pindah negara satu ke negara yang lain hitungannya detik. Jadi mungkin hampir mengalahkan kemampuan jin ifrit pindah dari satu negara ke negara lain. Sangat efisien dan kita tidak perlu capek-capek,” katanya.
Tantangan
Meski tidak merasakan dukanya mengajar online, bukan berarti tidak ada tantangan yang dihadapi ustaz Taslim. Tidak kenal langsung dan mengetahui karaker peserta mulai dari anak-anak hingga yang berusia 80-an tahun adalah tantangan pertamanya.
Berikutnya, anak-anak diaspora Indonesia rata-rata bercakap dalam bahasa Inggris. Tak kalah sulitnya adalah mengawasi anak-anak selama belajar online. Akan tetapi sejauh ini ia bersyukur karena hampir seluruh peserta yang dibimibingnya akhirnya dapat membaca Al-Qur’an.
Tantangan lainnya adalah mengatur jadwal setiap grup karena adanya selisih waktu di tempat peserta bermukim. Devi membantu mengatur jadwal setiap calon peserta dengan waktu ustaz atau ustazah yang tersedia.
“Ada mereka itu yang di Eropa, misalnya ada yang masih di sekolah, ada yang belum pulang sekolah karena ada kegiatan dan sebagainya. Sementara ustaz hanya punya waktu mengajar hingga pukul 10 malam (22.00 WIB). Jadi, mereka yang di Eropa harus dibarengkan dengan yang di Eropa, yang di sini harus dibarengkan dengan yang di sini, misalnya,” jelasnya.
Sebagai peserta, Fermi mengatakan perlu kepiawaian dalam mengatur waktu untuk belajar mengaji atau mengikuti suatu kajian online. Pada waktu pengajar siap dengan materinya, bukan tidak mungkin peserta baru mulai salat subuh, atau malah sudah memasuki jam tidur malam mereka.
Sementara itu, Devi tidak pernah menyangka grup yang diinisiasinya berkembang semakin banyak bahkan setelah pandemi berakhir. Peserta grup ngajinya kini datang dari berbagai kelompok usia yang tersebar di berbagai negara dari semua benua. Selain belajar membaca Al-Qur’an, ada juga grup kajian Islam, konseling dan bimbingan untuk berbagai hal.
Grupnya, yang belum juga ia beri nama, terus bertambah seiring dengan kebutuhan. Ia menyebut contoh apa yang dialaminya baru-baru ini. Begitu satu kelompok merasakan perlunya kajian mengenai tafsir Al-Qur’an, ia pun membentuk grup baru untuk itu dan menghubungi pengajarnya.
Namun, seperti pada niat awalnya, Devi masih ingin tetap berfokus pada pengajaran untuk generasi kedua diaspora Indonesia.
“Yang penting, saya itu ingin mengajak anak-anak, terutama yang generasi kedua, supaya kita menjaga keimanan kita ketika jauh dari Indonesia. Kalau di Indonesia kan gampang, suara azan terdengar setiap hari, ingin belajar mengaji, ada guru di manapun,” komentarnya. [uh/ab]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia