bar-merah

Neraka Tanpa Akhir: Perang Terus Berkecamuk di Sudan di Tengah Gencatan Senjata


Serangan udara, tank, dan artileri menggempur Ibu Kota Sudan, Khartoum, dan kota terdekat Bahri pada Jumat (28/4), kata para saksi. Serangkaian serangan itu terjadi di tengah kesepakatan perpanjangan gencatan senjata 72 jam yang diumumkan oleh tentara dan pasukan paramiliter.

Perang itu menelan korban tewas ratusan nyawa, dan puluhan ribu lainnya melarikan diri untuk menyelamatkan hidup mereka dalam perebutan kekuasaan antara tentara dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang meletus pada 15 April. Perang saudara itu menggagalkan masa transisi menuju pemilihan demokratis yang didukung dunia internasional.

Pertempuran itu juga telah membangkitkan kembali konflik yang telah berlangsung selama dua dekade di wilayah Darfur barat di mana banyak orang tewas pada minggu ini.

Di daerah Khartoum, tembakan senjata berat dan ledakan menggempur lingkungan perumahan. Gumpalan asap naik di atas Bahri.

“Kami mendengar suara pesawat dan ledakan. Kami tidak tahu kapan neraka ini akan berakhir,” kata warga Bahri, Mahasin al-Awad, 65 tahun. “Kami terus menerus ketakutan.”

Tentara mengerahkan jet atau drone pada pasukan RSF di lingkungan sekitar ibu kota. Banyak penduduk yang mengalami kesulitan pasokan makanan, bahan bakar, air dan listrik.

Sedikitnya 512 orang telah tewas dan hampir 4.200 terluka, menurut PBB, yang meyakini jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi. Persatuan Dokter Sudan mengatakan sedikitnya 387 warga sipil tewas.

RSF menuduh tentara melanggar gencatan senjata yang ditengahi dunia internasional dengan melakukan serangan udara di pangkalannya di Omdurman, kota kembar Khartoum di pertemuan Sungai Nil Biru dan Putih, dan Gunung Awliya.

Tentara menyalahkan RSF atas pelanggaran tersebut.

Gencatan senjata seharusnya berlangsung hingga Minggu (30/4) tengah malam.

Kekerasan tersebut mendorong puluhan ribu pengungsi melintasi perbatasan Sudan dan mengancam akan menambah ketidakstabilan di seluruh wilayah Afrika yang bergejolak antara Sahel dan Laut Merah.

“Dari pesawat perang hingga tank dan roket (terus memborbardir), kami tidak punya pilihan lain selain pergi,” kata pria Sudan Motaz Ahmed, yang tiba di Ibu Lota Mesir, Kairo, setelah perjalanan lima hari. “Kami meninggalkan rumah kami, pekerjaan kami, barang-barang kami, kendaraan kami, semuanya, sehingga kami dapat membawa anak-anak dan orang tua kami ke tempat yang aman.”

Pemerintah asing menerbangkan diplomat dan warga negara mereka ke tempat aman selama seminggu terakhir. Inggris mengatakan evakuasinya akan berakhir pada Sabtu (29/4) karena permintaan tempat di pesawat menurun.

AS mengatakan ratusan warganya telah meninggalkan Sudan melalui darat, laut, atau udara. Konvoi bus yang membawa 300 warga AS meninggalkan Khartoum pada Jumat (28/4) malam dalam perjalanan sejauh 525 mil ke Laut Merah dalam upaya evakuasi pertama yang diorganisir AS untuk warga, New York Times melaporkan.

Kematian di Darfur

Di Darfur, sedikitnya 96 orang tewas sejak Senin (24/4) dalam kekerasan antar-komunal yang dipicu oleh konflik tentara-RSF, kata juru bicara kantor hak asasi manusia Ravina Shamdasani.

Pembebasan dan pelarian tahanan dari setidaknya delapan penjara, termasuk lima bui di Khartoum dan dua di Darfur, menambah kekacauan, tambahnya.

Di El Geneina, ibu kota Darfur Barat, sebuah rumah sakit besar yang disokong badan amal medis MSF dijarah selama dua hari terakhir, kata kelompok itu.

“Banyak orang terjebak di tengah-tengah kekerasan mematikan ini. Mereka takut mempertaruhkan keselamatan dan nyawa mereka untuk mencoba mencapai fasilitas kesehatan yang masih berfungsi dan terbuka,” kata Sylvain Perron, wakil manajer operasi MSF untuk Sudan.

PBB mengatakan kantornya di Khartoum, El Geneina dan Nyala juga digeledah. “(Perbuatan) ini tidak dapat diterima – dan dilarang berdasarkan hukum humaniter internasional. Serangan terhadap aset kemanusiaan harus dihentikan,” cuit Kepala Bantuan PBB Martin Griffiths di Twitter.

Badan-badan bantuan sebagian besar tidak dapat mendistribusikan makanan kepada yang membutuhkan di negara terbesar ketiga di Afrika itu, di mana sepertiga dari 46 juta penduduknya sudah bergantung pada sumbangan.

Di antara negara-negara tetangga Sudan, Mesir mengatakan telah menampung 16.000 orang, sementara 20.000 telah memasuki wilayah Chad dan badan pengungsi PBB mengatakan lebih dari 14.000 telah menyeberang ke Sudan Selatan, yang memperoleh kemerdekaan dari Khartoum pada 2011 setelah puluhan tahun gejolak perang saudara.

Beberapa warga lainnya memilih meninggalkan Khartoum ke perbatasan Sudan Selatan dengan menempuk jarak lebih dari 400 km dengan berjalan kaki, kata juru bicara badan pengungsi PBB. Salah satu kota terbesar di Afrika, Khartoum telah lama tak tersentuh serangkaian perang saudara di Sudan.

Meskipun seruan global untuk melakukan pembicaraan, panglima militer Jenderal Abdel Fattah al-Burhan mengatakan kepada penyiar berbahasa Arab yang berbasis di AS Al Hurra bahwa berembuk dengan Kepala RSF Mohamed Hamdan Dagalo yang disebutnya “pemimpin pemberontakan” adalah tindakan yang tidak dapat diterima.

Dagalo, lebih dikenal sebagai Hemdeti, mengatakan kepada BBC bahwa RSF tidak akan mengadakan pembicaraan sampai pertempuran berakhir. Ia menegaskan angkatan bersenjata “tanpa henti” membom para anggotanyanya, dia menyalahkan Burhan atas kekerasan tersebut.

“Hentikan permusuhan. Setelah itu kita bisa bernegosiasi,” kata Dagalo. [ah/ft]

Source link



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat




Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia
Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com