Perekonomian China tumbuh 4,5 persen dalam tiga bulan pertama tahun ini, ketika negara itu dibuka kembali setelah melonggarkan larangan kesehatan ketat untuk mengendalikan virus corona, namun menghancurkan bisnis dan rantai pasokan.
Tetapi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu juga dilanda serangkaian krisis lain, mulai dari sektor properti yang sarat utang hingga kepercayaan konsumen yang melemah, inflasi dunia, ancaman resesi di tempat lain, dan ketegangan geopolitik dengan Amerika.
Purchasing Managers Index (PMI) untuk sektor non-produksi, yang mengukur pertumbuhan di sektor jasa dan konstruksi, turun menjadi 56,4 dari 58,2 pada Maret.
Angka bulan Maret itu yang tertinggi sejak Mei 2011, karena negara mengalami lonjakan permintaan untuk layanan perjalanan, hiburan, dan rekreasi lain yang tidak tersedia selama hampir tiga tahun akibat pandemi.
Pemerintah menetapkan target pertumbuhan yang relatif sederhana, sekitar lima persen tahun ini, sebuah sasaran yang oleh Perdana Menteri Li Qiang diperingatkan akan sulit dicapai.
Badan pembuat kebijakan utama Partai Komunis itu mengatakan dalam sebuah pernyataan hari Jumat, ekonomi masih menghadapi tantangan dari lemahnya permintaan di dalam negeri dan lambannya reformasi.
“Ekonomi China terutama dalam proses pemulihan, dengan kekuatan pendorong dari dalam yang masih lemah dan permintaan tidak mencukupi,” kata Politbiro, menurut laporan Kantor Berita Xinhua yang dikelola pemerintah. [ps/jm]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia