ZONAUTARA.COM – Permintaan terhadap daging satwa liar kelelawar yang tinggi membuat aktivitas perburuan dan pengangkutan kelelawar hasil buruan dari luar wilayah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) ke pasar-pasar tradisional di Sulut masih terus berlangsung. Perpindahan ini rentan memicu penyebaran zoonosis.
Zoonosis adalah penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia ataupun sebaliknya. Zoonosis disebabkan oleh mikroorganisme parasit yang dapat berupa bakteri, virus, jamur, serta parasit seperti protozoa dan cacing. Penularannya dapat melalui 3 cara yaitu langsung, tidak langsung dan konsumsi.
Dari beberapa pengamatan Tim Zonautara.com di titik perbatasan Provinsi Sulut dan Provinsi Gorontalo, pengangkutan kelelawar baik dalam keadaan hidup ataupun mati terjadi begitu saja. Kendaraan pengangkut bebas melintas masuk Sulut tanpa pemeriksaan apapun. Jikapun ada petugas, hanya memeriksa seadanya dan membiarkan kendaraan kembali melaju tanpa pemeriksaan lebih lanjut seperti pemeriksaan sampel kualitas daging.
Beberapa pemburu atau penangkap kelelawar yang ditemui, mengaku bahwa, buruan kelelawar akan dijual terlebih dahulu ke pengumpul lokal, sebelum kemudian diangkut menggunakan mobil pikap menuju pasar-pasar tradisional yang khusus menjual daging satwa liar di Sulut, seperti di Pasar Tomohon.
“Dulu saya masih jual per ekor. Harganya Rp7.500, tapi sekarang sudah perkilo, Rp23.000 perkilonya,” kata Enti Amin (46) mantan pemburu kelelawar asal Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo, saat ditemui akhir Juli 2023.
Kelelawar hasil buruan dihantam kepalanya menggunakan benda tumpul hingga mati. Setelah mati, kelelawar diberi es agar tidak membusuk saat proses pemindahan pengangkutan hingga masuk ke Sulut. Untuk bisa sampai ke Sulut, butuh waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu, tergantung seberapa jauh jarak tempuh.
“Sebelumnya, kelelawar diangkut dalam keadaan masih hidup. Tapi saat ini konsumen lebih suka kelelawar yang mati,” kata Roni, pengumpul lokal di Gorontalo.
Menurut Roni, kelelawar yang masuk Sulut tidak hanya datang dari Gorontalo tetapi datang dari berbagai wilayah di pulau Sulawesi bahkan dari luar pulau, seperti Kalimantan.
Semua proses pengangkutan menggunakan jalur darat tersebut nyaris luput dari pengawasan dan pemeriksaan petugas yang berwenang. Selama puluhan tahun menggeluti bisnis ini, Roni mengatakan tidak pernah mengurus dokumen apapun, termasuk izin angkutan.
Petugas Pos Cek Point Perbatasan Sulut-Gorontalo, Oneng Lamuda, (34) mengakui, memang selama ini tidak ada pemeriksaan terhadap mobil pengangkut satwa liar. Dirinya mengatakan hanya berfokus memeriksa hewan-hewan yang sudah didomestifikasi atau jenis hewan yang tertera dalam peraturan daerah soal pemungutan retribusi.
Peraturan ini hanya mengatur retribusi terhadap hewan besar (sapi, babi, kambing), hewan kategori kecil (ayam dan itik), hewan kesayangan ( anjing, kucing, ayam, dan kuda), serta burung dan kelinci.
“Semalam ada pikap yang melintas dengan mengangkut kelelawar sebanyak 700 ton, tapi karena bukan jenis satwa dilindungi, dan tidak masuk kategori hewan yang diatur dalam perda, ya kami biarkan melintas,” kata Oneng. Oneng juga menyebut jika dirinya tidak begitu paham soal zoonosis.
Pengangkutan satwa liar termasuk jenis kelelawar baik yang masih hidup maupun yang sudah mati lintas provinsi tanpa pengawasan ini, sangat berpotensi memicu zoonosis.
Dilansir dari Mongabay.co.id, Peneliti Kelelawar dari Laboratorium Konservasi Sumber daya Hutan, Universitas Hasanudin, Risma Illa Maulany mengatakan, dari 74 jenis kelelawar, terdapat 66 jenis virus yang teridentifikasi, termasuk lyssavirus, rabies, hendra/nipah virus, ataupun bat corona.
Hal itu sejalan dengan penelitian Ageng Wiyatno (2017) yang berjudul “Interaksi Kelelawar dan Manusia: Potensi Zoonotik di Indonesia”, yang menemukan satwa liar seperti kelelawar memiliki kandungan jumlah virus yang tinggi. Total virus yang ditemukan pada seluruh spesies kelelawar berjumlah 61 jenis virus.
Menurut Ageng, saat ini bahkan lebih dari 248 virus baru telah berhasil diisolasi atau terdeteksi pada kelelawar selama 10 tahun terakhir dan beberapa virus tersebut memiliki potensi zoonosis cukup besar, sebagai contoh adalah virus dari keluarga Coronaviridae, Herpesviridae, Paramyxoviridae, Adenovirus, dan Astrovirus.