ZONAUTARA.COM, JAKARTA – Pangan lokal dapat menjadi solusi capai ketahanan pangan nasional terutama saat terjadi kekeringan akibat El Nino. Hal ini disampaikan beberapa beberapa pakar pangan dan lingkungan dalam sebuah acara diskusi media yang bertajuk “Hari Pangan Sedunia: Refleksi Ketahanan Pangan Indonesia di Tengah Ancaman Kekeringan Dampak El Nino” yang dilakukan hari ini dalam rangka merespon dampak kekeringan akibat krisis iklim.
Diskusi ini digelar juga dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada tanggal 16 Oktober 2023 mendatang.
Bencana kekeringan akibat El-Nino ini diperkirakan akan mencapai puncaknya pada bulan Oktober 2023. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi sejumlah wilayah akan mengalami curah hujan dengan kategori rendah yaitu kurang dari 50 mm/dasarian bulan ini.
Wilayah tersebut meliputi sebagian besar Sumatera bagian tengah hingga selatan, Jawa hingga NTT, sebagian besar Kalimantan, sebagian besar Sulawesi dan Maluku,
dan sebagian besar Papua. Kondisi curah hujan rendah kurang dari 100mm/bulan ini diprediksikan akan berlangsung hingga Maret 20241.
Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi ketahanan pangan nasional, terutama di masa El-Nino yang terjadi di selatan khatulistiwa, seperti Jawa dan Bali saat ini. Dr. Angga Dwiartama, Dosen dan Peneliti Pangan di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (ITB), pembicara dalam diskusi, menjelaskan dampak El-Nino terhadap sentra produksi pangan yang saat ini berpusat di Pulau Jawa, Sumatera, Lampung, dan Sulawesi Selatan.
“Kurangnya lahan produksi serta minimnya akses masyarakat terhadap lahan menjadi salah satu faktor yang memperburuk dampak El Nino terhadap turunnya produksi pangan. Karena akses terhadap lahan terbatas, akhirnya kelompok masyarakat cenderung menerapkan sistem pertanian intensif monokultur, seperti menanam padi yang memiliki nilai ekonomi. Masalahnya, pertanian padi sangat bergantung dengan ketersediaan air. Sehingga, di masa kekeringan akibat El Nino dengan tingkat risiko gagal panen yang tinggi menyebabkan tingkat kerentanan petani juga semakin meningkat ,” ungkap Angga.
Sepakat dengan Angga, Nugroho Hasan, CEO Kans.id, Konsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Pertanian Berkelanjutan, mengamini bahwa El-Nino menyebabkan penurunan produksi pangan oleh petani. Secara umum, meskipun produktivitas hasil produksi padi di Jawa Tengah masih cukup baik di daerah Boyolali dan Klaten. Namun, efek dari El Nino menyebabkan hasil produksi turun dari angka rata-rata 7-8 ton per hektare menjadi hanya 5-6 ton per hektare. Sedangkan, ada kenaikan pada harga Gabah Kering Panen (GKP).
“Sumber kehidupan dari padi adalah air. Sehingga kekeringan yang terlalu lama karena El Nino ini sangat mempengaruhi produksi hasil pertanian. Di sisi lain, ada kondisi lahan kritis serta stok ketersediaan pupuk yang menjadi semakin langka dengan harganya yang juga mahal menyebabkan risiko gagal panennya semakin tinggi. Pada kasus di Boyolali, ada serangan hama yaitu migrasi burung pipit yang menyerang tanaman padi. Tentu saja, pihak- pihak yang paling terdampak adalah petani dan pengusaha penggilingan skala kecil,” tutur Hasan.
Melalui kolaborasi pertanian berkelanjutan bersama dengan civitas akademika Universitas Sebelas Maret (UNS), Kans.id melakukan pendekatan kepada petani dengan memberikan pelatihan pemanfaatan teknologi, serta membantu hilirisasi dari produk pangan yang sudah dipanen.
“Ada beberapa hal yang kami lakukan yaitu membuat sumur sedot diesel, melakukan gerakan pertanian organik melalui training pupuk dan metode pertanian organik, kerja sama pemanfaatan drone untuk melakukan pemupukan tanaman. Semua hal ini kami lakukan untuk bertahan dari kekeringan di masa El-Nino ini,” jelasnya.
Pada sesi diskusi, Angga menyampaikan tentang pentingnya memahami isu ketahanan pangan tidak hanya di level lahan, tetapi dalam konteks sistem pangan atau Agri-Food System yang lebih luas, untuk beradaptasi dan memitigasi krisis iklim.
Petani memiliki tantangan yang mengharuskan mereka mampu untuk beradaptasi dengan krisis iklim dan dampak El Nino. Sehingga, mereka harus mampu menciptakan mikroklimat yang seimbang melalui keanekaragaman pangan lokal.
“Dalam menghadapi krisis pangan akibat El Nino, masyarakat di desa memiliki peluang untuk bisa lebih mandiri terkait pangan karena memiliki mekanisme seperti lumbung pangan. Selain itu, dalam konteks yang lebih luas, masyarakat sebagai konsumen juga harus turut serta dalam membangun rantai pasok pangan yang lebih tangguh/resilien serta menerapkan consumer behavior yang ramah lingkungan dalam pola makan mereka. Sedangkan, dari sisi pemerintah harus memastikan bahwa kesejahteraan petani juga menjadi prioritas dengan bantuan inovasi dan infrastruktur, serta harga jual yang bersaing”, jelas Angga.
Atasi krisis pangan dengan solusi pangan lokal
Sejak tahun 2021-2022, di bawah mandat Presiden, Badan Pangan Nasional (Bapanas) sudah mengantisipasi empat faktor yang mengancam ketahanan pangan, yaitu ketidakpastian situasi global karena ancaman geopolitik, perubahan iklim, dampak pandemi COVID-19, dan disrupsi pangan, termasuk El-Nino saat ini.
“Bapanas menggandeng Kementerian BUMN agar bisa memanfaatkan kebijakan pangan. Namun, tentu saja pemerintah tidak bisa langsung menguasai 100% kondisi pangan. Terdapat kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta dalam mempersiapkan stok pangan sebagai mitigasi kemarau panjang sebagai dampak dari pergerakan angin El Nino,” jelas Dr. Ir. Budi Waryanto, M.Si, Direktur Ketersediaan Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas).
Saat ini, Bapanas masih fokus terhadap penyediaan pangan skala nasional. Hingga kini, beras masih mendominasi sebagai pangan utama dengan persentase konsumsi sebanyak 90%.
Sebagai solusi jangka panjang, Bapanas sedang mempersiapkan sebuah struktur untuk memastikan pengembangan pangan lokal. Salah satunya melalui program B2SA atau Pangan Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman yang mendukung diversifikasi pangan lewat kearifan pangan lokal.
“Lewat program ini, Bapanas mendorong masyarakat untuk konsumsi pangan lokal. Namun, untuk dapat menyukseskan program ini, kami membutuhkan partisipasi dari pegiat pangan lokal. Sejak dulu, sudah banyak sumber karbohidrat seperti papeda, olahan sagu di Papua. Pangan tersebut harus dipopulerkan kembali melalui inovasi, seperti dibuat menjadi olahan lain yang lebih menarik untuk menarik minat konsumsi tapi tetap bergizi,”
lanjutnya.
Terkait pangan lokal, Emil Kleden, Direktur Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), menyoroti semakin terdesaknya keberlangsungan pangan lokal tersebut, khususnya di Papua. Sebagian besar warga Papua sudah beralih dari sagu dan ubi jalar sebagai makanan pokok menjadi beras.
Menurut Emil, ada persoalan yang problematik karena beras dianggap berada pada tingkatan yang lebih tinggi daripada sagu. Ada persepsi ‘kenaikan kelas’ yang mereka dapatkan ketika makan nasi. Kebutuhan akan sagu semakin menurun. Akibatnya, praktik tradisional untuk penyimpanan ubi dan sagu semakin ditinggalkan. Sementara, lumbung sagu adalah komponen penting dalam kehidupan bermasyarakat adat di sana.
“Tidak hanya mengenai beras, bencana kekeringan di Papua juga menyebabkan mengancam ketersediaan bahan pangan utama masyarakat Papua yaitu ubi jalar dan sagu. Utamanya, karena dalam menyimpan cadangan sagu memerlukan tanah basah. Stok sagu tidak bisa bertahan lama jika disimpan di tanah yang kering. Selain itu, konversi hutan sagu untuk kebutuhan lain ini semakin mengancam keberlangsungan pangan lokal dari Orang Asli Papua (OAP) karena berkurangnya lahan produksi untuk sagu. Belum lagi tentang potensi hilangnya sumber protein hewani seperti rusa, babi, dan kasuari karena habitat asli mereka sudah dihancurkan. Hal ini tentu sangat merugikanmasyarakat adat yang masih menggunakan praktik tradisional untuk menghasilkan dan menyimpan pangan,” tegas Emil Kleden.
Dia mengingatkan bahwa setiap tahunnya dalam 40 tahun terakhir, selalu ada daerah di Papua dan Papua Barat yang mengalami bencana kelaparan akibat cuaca ekstrem, musim dingin, kekeringan, dan gagal panen.
“Saya melihat dari sisi ekonomi, sagu, keladi, ubi jalar yang bukan produk hasil budidaya belum diperhitungkan sebagai komoditas yang dihitung dalam sektor bisnis. Oleh karena itu, komoditas seperti ini juga tidak diperhitungkan dalam perhitungan ekonomi negara. Faktor ini menyebabkan pangan lokal semakin bergeser dan digantikan oleh komoditas lain yang memiliki nilai jual. Hal ini sangat disayangkan karena jika pangan lokal diperhitungkan secara ekonomi, maka potensi keberlangsungannya juga jadi lebih tinggi. Ketahanan pangan dan kearifan lokal akan tetap terjaga dengan konsep kita menjaga alam dan alam juga akan menjaga kita,” ujar Emil.
Emil juga menyampaikan bahwa semua pihak, termasuk di dalamnya pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk memastikan ketahanan pangan di lokal dapat tercapai. Terutama peran pemerintah daerah dalam membantu peningkatan produksi dan teknik penyimpanan jangka panjang pangan lokal OAP seperti sagu, ubi jalar, umbi keladi dalam mengantisipasi cuaca ekstrem dan El-Nino. Kemudian memastikan bahwa sektor bisnis telah konsisten menjalankan prinsip yang sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya dalam aspek sosial dan lingkungan.
Upaya mempopulerkan kembali pangan lokal juga tengah dilakukan di Siak, Provinsi Riau, Cindi Shandoval, Founder SKELAS dan Heritage Hero Siak sepakat pangan lokal mesti dijaga meskipun ada tantangan dalam memastikan kelestariannya, yang bisa membantu menjaga fungsi lahan setempat.
“SKELAS menawarkan pengalaman exclusive Siak traditional dining yang diadakan di Istana Siak. Acara ini menyajikan makanan tradisional Siak yang dimasak langsung oleh maestro. Setiap menu disajikan bersama dengan narasi yang disampaikan kepada tamu terkait asal usul makanan, makna dari makanan, hingga bahan baku yang digunakan.
Menu dimasak menggunakan resep turun temurun dan rempah-rempah lokal yang hanya tumbuh di kawasan hutan di Siak. Sehingga, pengalaman ini hanya bisa didapatkan di Siak. Oleh karena itu, kami juga berusaha agar timbul kesadaran bersama menjaga lahan agar rempah lokal tersebut tetap dapat tumbuh di hutan. Selain itu, ada perputaran ekonomi di sana yang bermanfaat bagi masyarakat lokal,” jelas Cindi.
“Adapun hal ini bisa SKELAS lakukan melalui dukungan penuh dari pemerintah kabupaten Siak. Ini merupakan bagian dari upaya kami untuk menjaga kelestarian makanan tradisional dan kearifan lokal di Siak. Saya berharap semoga dengan upaya ini, kita bisa memastikan bahwa makanan tradisional dan bahan pangan lokal di Siak bisa tetap dinikmati oleh anak-cucu kita ke depannya,” tutup Cindi.