Perhatian! Beberapa foto pada liputan ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan.
Bagian 2 dari Laporan tentang Menelusuri Rantai Pasok Perdagangan Satwa Liar di Sulawesi Utara.
Bagian pertama dari laporan ini dapat dibaca di sini: Rantai Pasok Satwa Liar di Sulut
Satwa liar yang beredar dan diperdagangkan di pasar-pasar tradisional Sulut melalui proses perjalanan panjang. Sejak dari perburuan di sarang atau habitat mereka, hingga transportasi masuk Sulut, yang sebagian besar melewati jalur darat.
Oneng Lamuda, petugas cek poin perbatasan Sulawesi Utara-Gorontalo, menjelaskan bahwa selama ia bertugas banyak sekali mobil pengangkut satwa liar yang melintas, namun selalu luput dari pemeriksaan. Menurutnya untuk memeriksa satwal liar, bukanlah kewenangannya. Petugas cek poin hanya memeriksa hewan ternak yang sudah didomestikasi sebagaimana yang diatur dalam Perda (Peraturan Daerah) Provinsi Sulut Nomor 5 tahun 2018.
Perda ini mengatur tentang retribusi penggunaan alat laboratorium untuk pemeriksaan klinis pemasukan/pengeluaran hewan antar provinsi, yang mencakup beberapa jenis hewan ternak dengan kategori hewan besar berupa sapi, babi dan kambing dan hewan kecil seperti ayam dan itik. Hewan kesayangan, berupa anjing, kucing, ayam kesayangan, dan kuda. Lalu hewan dengan kategori burung dan kelinci. Selain itu, Perda tersebut juga mengatur penggunaan alat laboratorium untuk pemeriksaan fisik pemasukan/pengeluaran produk asal ternak, berupa telur, berbagai perdagingan, olahan daging dan kulit.
“Kalau ayam atau babi, ya kami periksa, tapi kalau satwa liar, biasanya kami biarkan saja melintas. Lagi pula, mereka jumlahnya banyak, sedangkan petugas yang berjaga kurang,” kata Oneng.
Tak hanya itu, kendala lain menurut Oneng adalah, semua petugas di pos perbatasan beragama muslim, sehingga enggan membongkar kendaraan yang memuat satwa liar.
“Kadang kami minta sopir untuk membongkar atau memotretnya sendiri, sebagai dokumentasi. Kami kan tidak enak, kami tidak mengonsumsi daging-daging itu, sementara harus memegangnya,” aku Oneng.
Sebagai lembaga yang berwenang atas satwa liar terutama yang dilindungi, Kepala BKSDA Sulut, Azkhari Dg Masikki, saat ditemui di kegiatan repatriasi satwa liar dari Filipina baru-baru ini, mengatakan bahwa pihaknya saat ini sedang berupaya membangun kerja sama lintas sektor untuk bisa mengupayakan keterwalikan di pos cek poin perbatasan.
“Memang tidak bisa terelakkan, jika konsumsi daging satwa liar di Sulut sangat tinggi. Sejauh ini kami baru bisa melakukan upaya sosialisasi dan penyadartahuan, termasuk pembinaan kepada para pemburu yang kami dapati. Selanjutnya, saya pikir penting juga memperhatikan hulu dengan melakukan pencegahan di pos masuk. Kami sementara mencoba menginisiasinya,” kata Askhari.
Zoonosis dan Hilangnya Keragaman Hayati
Proses pengambilan satwa liar dari alam yang dilakukan begitu saja, tanpa pengawasan dan pengetahuan pemburu tentang dampak terhadap kesehatan, dan ketidaktahuan konsumen tentang kondisi daging yang rusak, karena sudah sekitar berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, berpotensi menyebabkan terjadinya zoonosis.
Zoonosis adalah penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia ataupun sebaliknya. Zoonosis disebabkan oleh mikroorganisme parasit yang dapat berupa bakteri, virus, jamur, serta parasit seperti protozoa dan cacing. Penularannya dapat melalui 3 cara yaitu langsung, tidak langsung dan konsumsi.
Dilansir dari Mongabay.co.id, peneliti Kelelawar dari Laboratorium Konservasi Sumber daya Hutan, Universitas Hasanudin, Risma Illa Maulany mengatakan, dari 74 jenis kelelawar, terdapat 66 jenis virus yang teridentifikasi, termasuk lyssavirus, rabies, hendra/nipah virus, ataupun bat corona.
Hal itu sejalan dengan penelitian Ageng Wiyatno (2017) yang berjudul “Interaksi Kelelawar dan Manusia: Potensi Zoonotik di Indonesia”, yang menemukan satwa liar seperti kelelawar memiliki kandungan jumlah virus yang tinggi. Total virus yang ditemukan pada seluruh spesies kelelawar berjumlah 61 jenis virus.
Menurut Ageng, saat ini bahkan lebih dari 248 virus baru telah berhasil diisolasi atau terdeteksi pada kelelawar selama 10 tahun terakhir dan beberapa virus tersebut memiliki potensi zoonosis cukup besar. Sebagai contoh adalah virus dari keluarga Coronaviridae, Herpesviridae, Paramyxoviridae, Adenovirus, dan Astrovirus.
Sulut terutama Tomohon dan Minahasa berpotensi besar menjadi tempat muncul dan menyebarnya penyakit zoonotik.
Dokter hewan di Dinas Pertanian Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Minahasa, drh Louis Kumaunang, bahkan mengungkap jika penyakit zoonotik seperti rabies tergolong tinggi di Kabupaten Minahasa. Hal tersebut menjadikan wilayah ini sebagai wilayah endemik rabies di Sulut.
“Bukan hanya itu, banyak ancaman lain, nipah misalnya. Harusnya pandemi Covid-19 kemarin bisa menjadi contoh bahwa ini penting untuk memperhatikan keseimbangan alam, menjaga habitat serta melakukan penegakkan hukum,” jelas Louis.
Dengan kondisi seperti ini, ia sangat yakin jika ancaman dan potensi zoonosis di Sulut sangat tinggi. Katanya lagi, konsumen sudah tahu juga bahwa banyak daging satwa liar itu sudah rusak, tapi banyak yang bilang justru yang rusak itulah yang enak.
“Ya, tinggal menunggu waktu,” ujarnya.
Belum lagi, bercampurnya berbagai daging dalam satu wadah saat pengangkutan membuat banyak kemungkinan ancaman lainnya. Contohnya ASF (African Swine Fever), di mana sudah ditemukan di Sulut. Meski bukan penyakit zoonotik, tapi Louis berharap semua pihak tetap harus hati-hati dan tidak boleh masa bodoh karena menganggap ini bukan penyakit zoonotik.
“Kita tidak tahu bagaimana kedepannya nanti. Memang penelitian belum menemukan zoonotik di ASF, tapi kan virus bisa bermutasi menjadi lebih kuat. Dalam perkembangannya kita tidak tahu,” kata Louis.
Menurutnya, jika dikaitkan dengan konsep One Health, sudah seharusnya keseimbangan hubungan antara hewan, manusia dan lingkungan menjadi prioritas. Sebab populasi manusia bertambah dan kebutuhan konsumen meningkat, tapi tanpa memakan satwa liar juga, manusia tidak akan mati.
“Selama ini kita sering dengar Yaki (Monyet hitam sulawesi) misalnya turun mengganggu dan jadi hama, padahal kalau kita renungkan, bukan satwa yang datang mencuri, melainkan manusia yang telah merusak habitatnya. Alih fungsi lahan salah satunya. Bisa jadi ladang kita, rumah kita, dan tempat kita beraktivitas ini, sebelumnya adalah rumah bagi satwa liar,” tegasnya lagi.
Ditemui di tempat berbeda, Kepala Laboratorium Konservasi Keanekaragaman Hayati, Fakultas Pertanian, Universitas Sam Ratulangi Manado, Dr. John Tasirin mengatakan tidak ada jalan lain untuk menjaga keseimbangan biodiversitas di Sulawesi, selain menghentikan perburuan.
Terlepas dari dampak lain berupa potensi zoonosis, akan tetapi penting juga untuk mempertimbangkan dampak lain yang selama ini terabaikan, yakni keanekaragaman hayati. Generasi yang hidup di era perburuan saat ini banyak yang tidak sadar akan dampak ekologi yang terjadi, sehingga merasa baik-baik saja.
“Tidak usah mundur ratusan tahun, 30 tahun lalu saja, banyak sekali tumbuhan dan satwa yang dulunya ada, tapi sudah tidak bisa ditemui sekarang. Ini adalah contoh kecil dari berubahnya rantai makanan di alam, yang diakibatkan oleh perburuan dengan tujuan perdagangan,” kata Dr John Tasirin.
Pasokan satwa liar yang terus menerus ke Sulut dan peningkatan perburuan membuat kepunahan, bukan hanya satwa melainkan juga beberapa jenis tumbuhan.
“Beberapa jenis yang saya lihat saat kecil, sudah susah saya temui, termasuk satwa. Banyak yang telah menghilang secara lokal dan bukan tidak mungkin akan terjadi dalam skala besar, jika melihat saat ini pasokan daging satwa liar sudah berasal dari luar pulau,” ujar John Tasirin.
Upaya Penanganan Lewat One Health
Pentingnya penanganan penyakit zoonotik, perlu menjadi perhatian banyak pihak. Covid-19 yang sempat melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia dan Sulut perlu diantisipasi lebih lanjut dengan pengimplementasian konsep One Health.
Terkait hal tersebut, Kepala BKSDA Sulut, Ashkari Dg Masikki mengatakan jika pihaknya telah bekerjasama dengan multi stakeholder termasuk Wildlife Conservation Society (WCS) untuk mengatasi kemungkinan munculnya zoonosis.
“Kami kemarin bekerja sama dengan FAO, WCS, melakukan kajian bagaimana menanggulangi risiko zoonosis yang bisa datang dari satwa liar ke manusia mau pun sebaliknya. Kami sudah ada kajian itu, sejak dari pemburu, pengepul dan konsumen,” kata Askhari.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM dan Ketua One Health UGM, Prof. Wayan Tunas Artama, saat Workshop Jurnalis Dapatkah Kita Mencegah Pandemi Berikutnya?, yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, pada 10-11 September 2023, di Jakarta, menjelaskan jika konsep One Health adalah pendekatan yang terbaik untuk jadi jalan keluar sebagai bentuk pencegahan terjadinya pandemi lagi.
“Kenapa One Health sebagai pendekatan terbaik untuk penyakit zoonosis, karena itu berikatan dengan kolaboratif, multisektoral dan transdisiplin untuk mencapai kesehatan yang optimal dengan menimbang keterhubungan antara manusia, hewan dan lingkungan sekitar,” jelas Wayan.
Pembicara lainnya Alexandra Tatgyana Suatan, dari Indonesia One Health University Network (INDOHUN), menjelaskan pentingnya koordinasi lintas sektor dalam dunia kesehatan.
“One Health merupakan pendekatan terpadu yang bertujuan untuk menyeimbangkan dan mengoptimalkan kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem secara berkelanjutan,” ungkap Alexandra.
Melalui konsep One Health, Alexandra mengatakan jika ada pengakuan kesehatan manusia, hewan peliharaan dan hewan liar, tumbuhan dan lingkungan yang lebih luas (termasuk ekosistem) saling terkait erat dan saling bergantung.
“Melalui konsep ini, kita bekerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan dan mengatasi ancaman terhadap kesehatan dan ekosistem, mengatasi kebutuhan kolektif akan makanan, air, energi dan udara yang sehat,” kata Alexandra.
Sementara itu, Drh Dedi Candra dari Direktorat Konservasi Keanekaragmaan Hayati Spesies dan Genetik, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan bahwa One Health adalah sebuah pendekatan kolaboratif dan terintegrasi dengan memobilisasi sektor disiplin ilmu dan komunitas terkait di berbagai tingkatan masyarakat.
Menurutnya, melalui komunikasi, kordinasi, kolaborasi dan peningkatan kapasitas dapat mengoptimalkan kesehatan manusia, hewan, satwa liar dan ekosistem secara berkelanjutan.
Konsep One Health penting diimplementasikan agar lebih mudah menjangkau masyarakat luas, terutama para konsumen satwa liar, penjual, pengepul, transporter dan bukan tidak mungkin, bisa menyentuh hingga ke level pemburu seperti Enti, guna mempertahankan keseimbangan.
“Saat masih berburu dulu, kadang ada rasa kasihan melihat kelelawar yang masih membawa anaknya lalu terjerat, tapi mau bagaimana? Saya juga punya anak yang harus saya hidupi, syukurlah saya sudah bisa melaut saat ini, ” ucap Enti. ***