bar-merah

Menggali akar kemiskinan kronis masyarakat kawasan hutan: sebuah tantangan berkelanjutan

hutan
Ilustrasi dari Pixabay.com
Aun Falestien Faletehan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Masyarakat kawasan hutan seringkali menjadi saksi bisu dari penderitaan kemiskinan kronis. Di dalam struktur masyarakat kawasan hutan yang jauh dari hiruk piruk kota dan akses pengetahuan, ternyata masih banyak beberapa rumah tangga yang terjebak dalam kemiskinan kronis selama bertahun-tahun dan lintas generasi.

Pada 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa 36,7% dari 25.863 desa yang terletak di sekitar kawasan hutan termasuk dalam kategori miskin. Sementara, data Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal menunjukkan bahwa 58% dari seluruh desa tertinggal di Indonesia berlokasi di sekitar kawasan hutan.

Bila ditinjau dari durasi atau lama kondisi kemiskinannya, kemiskinan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu kemiskinan sementara atau transien dan kemiskinan kronis. Kemiskinan sementara cenderung bersifat lebih temporal dan bisa disebabkan oleh faktor eksternal seperti bencana alam, krisis keuangan, atau, seperti yang kita alami baru-baru ini, pandemi Covid-19.

Sementara itu, kemiskinan kronis melibatkan kondisi yang serius, tidak hanya terkait dengan pendapatan yang rendah, tetapi juga melibatkan masalah pembangunan manusia, mental individu, dan isolasi sosial. Kondisi ini dapat bertahan bertahun-tahun bahkan melibatkan turun temurun lintas generasi.

Saya melakukan riset di Dusun Malangbong, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur untuk mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang membuat kondisi kemiskinan ini sulit diatasi dalam kurun waktu yang lama. Lokasi Dusun Malangbong bersebelahan dengan kawasan hutan produksi milik Perhutani yang sedikit terisolasi dengan sumber daya yang terbatas mengingat sulitnya akses transportasi untuk keluar masuk dusun. Terdapat 105 keluarga di dalam dusun tersebut, sebagian besar hidup dalam kemiskinan.

Saya melakukan wawancara dengan 14 keluarga dan sejumlah perangkat desa, observasi lapangan, dan studi kearsipan untuk mendukung penelitian saya.

Temuan saya menjadi alarm bagi pemerintah untuk menggenjot upaya pengentasan kemiskinan terutama bagi warga di sekitar hutan. Indonesia berambisi membuat sektor kehutanan lebih banyak menyerap emisi ketimbang melepaskannya pada 2030. Nah, pemenuhan target tersebut turut bergantung pada kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.

Realitas kemiskinan kronis di kawasan hutan

Riset saya menemukan sebagian besar rumah tangga di Dusun Malangbong mengalami karakteristik kemiskinan kronis yang mengkhawatirkan-–mulai dari mata pencaharian yang tidak menguntungkan hingga pendapatan yang terus merosot, kualitas hidup rendah, dan masalah kesehatan yang memprihatinkan. Mereka menggantungkan hidup sebagai buruh tani di hutan dengan upah minimum. Kondisi ekonomi mereka sangat terkait dengan pemanfaatan kayu hutan, yang kini semakin berkurang.

Sebanyak 85% para laki-laki warga Malangbong bekerja di hutan sebagai buruh tani jagung yang mayoritas berada di tanah sewa milik Perhutani. Namun demikian, pemasukan terbesar mereka malah berasal dari penebangan liar kayu jati yang kini makin sulit ditemukan.

Mayoritas penduduk menghadapi kualitas hidup rendah, terutama dalam hal akses listrik, sanitasi, air minum, dan rumah layak huni. Penggunaan kayu sebagai bahan bakar memasak masih menjadi kebiasaan, bahkan dengan tungku kompor berada dalam satu ruangan dengan kandang ternak dan ranjang tidur. Hal ini menyebabkan bau yang tidak nyaman dan sering kali mencampuri udara rumah tangga.

Sistem sanitasi dapat dikategorikan sebagai buruk, terkait dengan keterbatasan sumber daya air. Semua warga dusun harus bergantung pada satu mata air. Jarak yang harus ditempuh untuk mengambil air, sekitar ratusan meter hingga 1 km, menambahkan beban warga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Fasilitas mandi-cuci-kakus tidak memadai, dengan ruang buang kecil/besar sering kali berada dekat dengan dapur, bahkan dalam kondisi terbuka atau dengan penutup yang sederhana.

Selain itu, aspek kesehatan juga terpengaruh, terutama pola makan. Telur dan daging menjadi barang mewah, dengan sebagian warga hanya mampu mengonsumsinya sekali atau dua kali seminggu. Beberapa keluarga bahkan harus menahan diri selama sebulan lebih tanpa makan telur. Prioritas pengeluaran uang lebih cenderung untuk jamu-jamuan demi menjaga daya tahan tubuh, lebih dari pada membeli protein dari telur.

Faktor internal penyebab kemiskinan kronis

Faktor internal yang menyebabkan kelanggengan miskin kronis adalah rendahnya kualitas pendidikan, terlalu bergantung pada kayu hutan dan rendahnya kreativitas dalam usaha, pola pikir pengelolaan uang rumah tangga yang tidak efektif, dan terbatasnya sumber daya air.

Rendahnya kualitas pendidikan di dusun kawasan hutan menjadi hambatan besar. Di Dusun Malangbong, mayoritas anak hanya mampu menempuh pendidikan hingga tingkat SD dan SMP. Keterbatasan unit pendidikan di dalam dusun membuat anak-anak harus berjuang menempuh perjalanan sejauh belasan kilometer untuk bisa melanjutkan pendidikan ke level SMA.

Pilihan pekerjaan setelah lulus sekolah cenderung terbatas, dengan mayoritas memilih menjadi buruh tani. Inovasi dalam jenis pekerjaan atau usaha baru terhambat oleh tradisi berpikir yang masih mengedepankan pemenuhan kebutuhan makan harian saja.

Penggunaan kayu sebagai sumber pendapatan utama semakin sulit karena hutan pohon jati yang biasa ditebang dan “dicuri” oleh warga sudah mulai habis. Meskipun ada beberapa upaya menanam tanaman alternatif seperti gadung atau umbi-umbian, pola pikir mayoritas warga masih tertahan pada kegiatan pertanian yang menghasilkan langsung. Pemikiran “kerja hari ini untuk makan besok” masih mendominasi, membuat sulitnya berpindah ke jenis pekerjaan jangka panjang seperti peternakan.

Sebagian besar dari mereka hidup dengan filosofi yang menyertainya: “Hari ini, jerih payah hanya untuk menutupi kebutuhan makan besok saja. Uang yang dihasilkan dengan susah payah hari ini harus terasa mengalir dan terasa habis begitu saja. Mereka menganggap bahwa bekerja di hutan hari ini sudah cukup, pulang dalam keadaan lelah lesu, berusaha menikmati hidangan seadanya sampai perut kenyang, dan kemudian tenggelam dalam tidur. Dan begitu matahari menyingsing besok, mereka kembali memulai perjalanan menuju hutan, memulai rutinitas yang tak kunjung usai.”

Aspek perekonomian juga terkait dengan kurangnya pemahaman akan manajemen uang rumah tangga. Mayoritas rumah tangga miskin tidak memiliki tabungan, dan uang yang diperoleh cenderung dihabiskan tanpa pertimbangan untuk kebutuhan mendesak di masa depan. Tidak adanya pola pikir untuk menyisihkan sebagian penghasilan membuat mereka rentan terhadap kondisi darurat seperti sakit atau musibah lainnya.

Faktor eksternal penyebab kemiskinan kronis

Tantangan kemiskinan masyarakat kawasan hutan tidak hanya berasal dari faktor internal, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang menyebabkan terisolirnya masyarakat dari pusat desa/kota. Kondisi ini mencakup rusaknya infrastruktur jalan penghubung antar dusun/desa dan keterbatasan sarana perekonomian di desa.

Fakta ini menunjukkan bahwa kemiskinan masyarakat kawasan hutan berkaitan erat dengan isu kemiskinan struktural akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap kawasan-kawasan tersebut.

Sebagai penduduk pinggiran hutan yang mayoritas petani, mereka menghadapi kesulitan ekonomi tingkat bawah. Kondisi geografis dusun ini membuat sinyal gawai sulit terdeteksi, membatasi akses mereka untuk terhubung dengan dunia luar. Jarak yang harus ditempuh untuk mencapai pusat desa terdekat cukup jauh dan melalui jalan yang tidak layak, dengan kondisi jalan makadam yang rusak dan berbahaya.

Keterbatasan akses jalan ini membuat aktivitas sehari-hari, seperti bertransaksi di pasar desa atau berkomunikasi dengan pihak luar, menjadi sulit dilakukan. Bahkan kepala dusun pun kesulitan untuk rutin datang ke balai desa, yang hanya bisa dilakukan sekali dalam seminggu akibat sulitnya akses jalan.

Selain itu, dusun yang banyak memiliki warga miskin kronis juga kekurangan infrastruktur penting seperti klinik kesehatan, koperasi, dan pasar. Hanya terdapat satu masjid sebagai tempat ibadah, sementara untuk kebutuhan ekonomi lebih lanjut, potensi pemberdayaan ekonomi lokal menjadi terbatas. Keberadaan unit-unit seperti keuangan mikro yang dapat membantu ekonomi masyarakat sangat diperlukan, namun sulit diimplementasikan tanpa infrastruktur dasar yang memadai.

Perlunya mengakhiri siklus kemiskinan kronis

Dari potret kehidupan di dusun dekat hutan, menjadi jelas bahwa pemutusan siklus kemiskinan kronis memerlukan upaya serius dan komprehensif. Tantangan yang dihadapi oleh masyarakat ini tidak hanya terkait dengan faktor internal namun juga eksternal seperti isolasi geografis dan rusaknya infrastruktur.

Oleh karena itu, mendukung akses pendidikan yang lebih baik, diversifikasi mata pencaharian, perbaikan infrastruktur, edukasi manajemen keuangan rumah tangga, dan pemberdayaan ekonomi lokal adalah langkah-langkah krusial untuk memutus siklus kemiskinan kronis.

Salah satu contoh konkret lain sebagai upaya pengentasan kemiskinan yang bisa diterapkan adalah dengan mengimplementasikan konsep perhutanan sosial dan memberikan peluang bagi warga sekitar berperan serta dalam mengelola hutan bersama Perhutani.

Peningkatan kualitas hidup dan kesempatan yang setara bagi masyarakat jenis ini memerlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga non-profit, dan komunitas lokal. Hanya dengan langkah-langkah ini, kita dapat bersama-sama menciptakan perubahan positif dan mengarahkan mereka menuju masa depan yang lebih cerah, bebas dari belenggu kemiskinan yang telah melanda generasi demi generasi.The Conversation


Aun Falestien Faletehan, Lecturer, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com