ZONAUTARA.com – Badan Pekerja Sinode (BPS) Gereja Masehi Injili di Bolaang Mongondow (GMIBM) berkomitmen untuk terlibat dalam aksi pelestarian satwa liar dan habitatnya. Komitmen tersebut dituangkan dalam poin-poin kesepakatan yang ditandatangani bersama oleh BPS GMIBM, Wildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS-IP), Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (BTNBNW) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara pada Jumat, 19 Januari 2024.
Panandatanagan ini merupakan hasil dari rangkaian kegiatan bertajuk, Sosialisasi Perlindungan dan Pelestarian Satwa Liar dan Habitatnya, yang diinisiasi oleh WCS-IP berkolaborasi dengan BTNBNW dan GMIBM.
Saat pembukaan acara yang berlangsung di ruang Kinalang Hotel Sutan Raja Kotamobagu tersebut, Ketua Badan Pekerja Sinode GMIBM, Pdt Fekky W Kamasaan MTh, mengatakan, sudah semestinya ada reorientasi dan reaktualisasi terhadap konsep penciptaan, sebagai bagian penting dari mengembangkan apa yang disebut dengan ekoteologi.
Pdt Fekky menyentil bahwa ekoteologi sebenarnya sudah dipraktikkan oleh warga jemaat GMIBM, yang terekspresikan dalam logo GMIBM, di mana terdapat simbol dua ekor burung maleo, sebagai spirit memelihara keanekaragaman hayati.
“Flora dan fauna di tanah Bolmong luar biasa Tuhan berikan. Maka, sudah seharusnya kita menjaganya sebagai anugrah Allah, untuk keberlanjutan kehidupan. Kita harus berpikir secara global, tapi berpraktik lokal dalam melestarikan alam. Jangan sampai punah. Sebab, kalau maleo punah, juga akan berpengaruh ke GMIBM,” ujarnya.
Pdt Fekky mengimbau para pendeta yang hadir untuk mengambil peran dalam bentuk aksi-aksi nyata.
“Kalau Maleo punah, bagaimana kita berteologi kontekstual GMIBM? Sesudah hari ini, mari kita bertindak,”imbaunya.
Tak hanya itu, Wakil Ketua Badan Pekerja Sinode GMIBM, Pdt Jhony K. Rumondor S.Th, dalam paparan meterinya tentang Peran GMIBM Dalam Melindungi Keanekaragaman Hayati di Sulawesi Utara, secara gamblang mengajak para pemuka agama sebagai corong dalam melayani umat untuk berhenti mengonsumsi satwa liar.
“Sejak lama GMIBM sudah mengambil peran terhadap pelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan, namun secara spesifik ke satwa liar memang belum. Oleh karena itu, mari kita semua yang ada di sini, sebagai corong dan pelayan umat untuk tidak lagi mengonsumsi satwa liar,” ucap Pdt Jhony.
Butuh kesungguhan lindungi satwa liar
Kepala Seksi Konsevasi Wilayah 1 BKSDA Sulut, Yakub Ambagau, yang juga menjadi pemateri, menjelaskan bahwa tingginya konsumsi daging satwa liar di Sulawesi Utara, menjadi ancaman kepunahan satwa liar. Sejak tahun 2018 hingga 2023, dalam upaya penyelamatan satwa yang dilakukan oleh BKSDA Sulut, ada 691 ekor satwa liar yang berhasil diselamatkan dalam keadaan hidup. Terdiri dari 100 ekor primata, 21 ekor mamalia,73 ekor reptil, dan 497 ekor aves.
Sementara untuk daging satwa liar, dalam setiap patroli rutin tahunan di bulan Desember, selalu ditemukan berton-ton daging satwa liar yang hendak masuk sulut untuk diperjualbelikan di pasar-pasar.
“Jumlah daging-daging satwa liar ini hanya hasil operasi dalam 3 hingga 4 malam saja. Coba bayangkan. Dan yang miris tidak hanya satwa liar, tapi juga banyak daging satwa yang dilindungi,” jelas Yakub.
Menanggapi hal tersebut, Pdt Tellie Sambuaga, pelayan Jemaat Imanuel Mogoyunggung mengatakan, manusia sebagai bagian tertinggi di rantai makanan harusnya menjaga keseimbangan sehingga mungkin perlu pertobatan.
Pendeta yang mengaku sudah lama tidak mengkonsumsi daging satwa liar ini, terang-terangan mengakui jika ada jemaatnya yang masih melakukan perburuan satwa liar.
“Penting untuk bertobat. Pertobatan masal. Karena kita harus jujur, rasa-rasanya kurang wah jika saat hari besar tidak lengkap masakan satwa liar di atas meja. Saya sendiri dulu makan semua itu, istilahnya hanya kaki meja yang tidak. Namun, sejak ayah saya meninggal saya takut, dan mulai berpikir siapa tahu saja yang saya makan itu anjing gila, misalnya, atau daging yang memang tidak sehat,” akunya.
Kendati demikian, Pdt Tellie mengatakan jika pihaknya tidak boleh egois.
“Jujur saja, banyak jemaat saya yang pekerjaannya berburu. Tapi pada dasarnya mereka tidak tahu mana yang boleh dan tidak boleh diburu, butuh sosialisasi. Mereka juga menjadikan perburuan sebagai sumber ekonomi, sehingga tidak bisa langsung ditindak,” ucapnya.
Alternatif ekonomi
Tanggapan Pdt Tellie banyak menuai pertanyaan baru bagi para pendeta lain, tentang solusi yang bisa ditawarkan kepada jemaat yang menggantungkan hidup dari berburu.
Menangapi hal itu, Kepala Seksi Konsevasi Wilayah 1 BKSDA Sulut, Yakub Ambagau mengatakan, tidak berarti usai kegiatan ini, tidak ada lagi konsumsi satwa liar di Sulut, karena menurutnya itu tidak mungkin.
“Butuh waktu, paling tidak kita semua memulai dari diri sendiri dulu. Jadi, saya mengerti, tantangan bagi para pendeta yang ada di sini,” ucap Yakub.
Selain itu, dalam penindakan, Yakub mengatakan pihaknya selalu berusaha melakukan tindakan persuasif terlebih dahulu. Ada ketentuan, semisal memberi peringatan hingga tiga kali sambil melakukan pembinaan kepada pelaku.
“Nanti kalau sudah tiga kali, tapi tetap masih dilakukan, itu baru akan dilaporkan untuk proses pidana, jadi tidak langsung main ditindak bagitu saja,” jelas Yakub.
Sementara itu Dini Rahmanita, S.Hut, pemateri dari Balai TNBNW mengatakan, jika selama ini pihaknya berupaya untuk memberdayakan warga di sekitar wilayah Taman Nasional untuk bisa memperoleh profesi alternatif sehingga tidak melakukan perburuan.
“Mungkin jalan ini bisa menjadi tawaran solusi kepada para pemburu termasuk mungkin jemaat yang ada di sekitar kawasan,” ucapnya.
Ditemui terpisah, Kepala Balai TNBNW, Ir. Anis Suratin MP, menyambut baik kegiatan yang melibatkan para tokoh agama. Apalagi para peserta dari Badan Pekerja Sinode GMIBM yang merupakan kumpulan gereja di lingkup wilayah pelayanan Bolaang Mongondow Raya (4 kabupaten dan 1 kota).
“Saya sangat meyakini kalau jemaat gereja patuh sekali dengan panutan mereka, sehingga akan memudahkan apabila tokoh-tokoh agama sudah satu pandangan dengan kami, tentang pentingnya perlindungan dan pelestarian satwa liar. Mereka bisa memberikan pemahaman kembali pada keluarga, warga desa, desa tetangga dan seterusnya,” jelas Anis.
Lebih lanjut Anis mengatakan, ancaman terhadap upaya pelestarian satwa liar, salah satunya adalah perburuan.
“Harapannya, dengan ada para tokoh agama ini, ancaman perburuan bisa berkurang. Kalaupun mereka ada kebutuhan utama, misalnya karena murni menambah protein, mungkin lambat laun kita akan mencoba memberikan pemahaman bahwa ada alternatif protein, tidak hanya dari satwa liar. Mungkin pemahaman itu yang bisa disosialisasikan,” kata Anis.
Kegiatan yang berlangsung selama sehari tersebut diisi dengan diskusi yang dimoderatori oleh Ronny Buol (Zonautara.com) dan Herman Teguh dari WCS-IP, serta menghadirkan pemateri Dini Rahmanita dan Ronny Mokoginta dari Balai TNBNW, Yakub Ambagau dari BKSDA Sulut, Afizal Maula Alfarisi dari WCS One Health Team, dan unsur Polsek Kotamobagu.
Kegiatan diakhiri dengan penandatangan dokumen kesepakatan dan komitmen menjaga satwa liar dan habitantnya, serta penyerahan sertifikat secara simbolis yang diwakili oleh 3 peserta, yakni Ketua Wilayah GMIBM Doluduo, Pdt Franlcin Mitchel S.Th; Ketua Wilayah GMIBM Tungoi, Pdt, Joganis Nayoan S.Th dan Ketua Jemaat GMIBM Sioan Makaruo, Pdt Merlin D. Pakasi. Selanjutnya, ditutup dengan doa dan gaung yel-yel dari para pendeta yang berbunyi: kami berkomitmen menjaga dan melestarikan satwa liar dan habitatnya, yes,yes,yes!