JAKARTA, ZOAUTARA.com – Pemilu Serentak 2024 yang berlangsung pada 14 Februari masih menyisakan sorotan terkait kurangnya representasi perempuan dalam perpolitikan di Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Pemilu No. 17 Tahun 2017, Partai Politik harus memperoleh setidaknya 4% suara nasional untuk mendapatkan kursi di parlemen.
Namun hingga saat ini, pelaksanaan Pemilu masih kurang mempertimbangkan tantangan yang dihadapi oleh perempuan. Hal itu tampak nyata, mulai dari tahapan pencalonan calon anggota legislatif hingga kurangnya isu perempuan diangkat dalam kampanye.
Ani Widyani Soetjipto, pengajar di Departemen Hubungan Internasional FISIP dan Program Pascasarjana Studi Gender Universitas Indonesia, saat menjadi pemateri di Pelatihan Peliputan Pemilu Berperspektif Gender dan Inklusi yang digelar Konde.co bekerjasama dengan British Embassy Jakarta, 23-25 Februari 2024, mengatakan bahwa pencalonan perempuan kerap dianggap hanya sebagai pemenuhan syarat administratif belaka, sedangkan daftar calon anggota legislatif masih dipenuhi oleh nuansa kekerabatan, dinasti, dan oligarki.
“Politik representasi cenderung bersifat maskulin, dengan kampanye yang minim membahas isu perempuan. Perempuan dalam Pemilu 2024 hanya dijadikan simbolisme tanpa adanya representasi substantif. Pada baliho dan spanduk, isu-isu perempuan minim terpampang, sementara kampanye caleg lebih sering menyoroti slogan dan foto caleg bersama ketua umum dan calon presiden dengan kata-kata memohon doa dan dukungan,” ujar Ani.
Kekurangan representasi perempuan juga terlihat pada tingkat presiden dan wakil presiden. Tidak ada kandidat perempuan yang mencalonkan diri untuk posisi tertinggi ini, dan agenda-isu perempuan minim tercakup dalam debat capres dan cawapres.
Dari analisis visi misi pasangan capres-cawapres menunjukkan bahwa isu perempuan seringkali dianggap sebagai tempelan atau tokenisme.
“Meskipun beberapa partai seperti PKS, NasDem, dan PKB mencantumkan representasi, atau di TNI, Polri, misalnya, ada cuti melahirkan, cuti ayah dan layanan terintegrasi untuk kekerasan seksual, namun representasi perempuan masih terbatas pada definisi jenis kelamin biologis,” jelas Ani.
Dengan demikian, Ani berpendapat, meskipun Pemilu Serentak 2024 menjadi momen penting bagi demokrasi Indonesia, namun keterbatasan representasi perempuan dan minimnya isu-isu perempuan dalam konteks politik masih menjadi tantangan yang perlu diatasi.
Hal tersebut turut dibenarkan oleh Yuni Sri, Caleg Perempuan dari Partai Buruh. Yuni yang berprofesi sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) mengatakan perjalanannya tidak terlepas dari berbagai kendala.
Yuni mengaku seringkali dihadapkan pada stigma dan stereotip yang menghambat pengakuan dan dukungan masyarakat. Mereka mungkin dihadapkan pada pandangan bahwa profesi sebagai ART tidak relevan dengan kemampuan dan kompetensi politik.
Selain itu, sangat jarang adanya pendidikan politik dan pelatihan politik untuk memberikan bekal yang cukup bagi caleg perempuan.
“Saya belajar secara otodidak dari organisasi atau kelompok yang di dalamnya terdapat banyak ART. Dari sanalah saya mulai didorong untuk bisa menyuarakan asprirasi dan terjun dalam politik,” ucap Yuni.
Meskipun dihadapkan pada sejumlah tantangan tersebut, Yani mengatakan sadar betul pentingnya partisipasi caleg perempuan, terutama yang berprofesi ART di Pemilu 2024, untuk memberikan gambaran mengenai keragaman latar belakang profesi dalam perwakilan politik.
Diperlukan dukungan lebih lanjut dari masyarakat dan pihak terkait untuk memastikan bahwa setiap perempuan, tanpa terkecuali, memiliki kesempatan yang setara dalam perjalanan politiknya.