bar-merah

Tak hanya El Nino, beras mahal karena rapuhnya adaptasi iklim pertanian kita

Pedagang beras
Pedagang beras (Foto: Zonautara.com)

Oleh: Angga Dwiartama, Institut Teknologi Bandung

Sejak akhir tahun lalu, banyak masyarakat Indonesia kelimpungan karena harga beras naik begitu tinggi, bahkan sampai ke titik termahal sepanjang sejarah.

Ironisnya, kenaikan harga membuat petani kesulitan mengakses beras untuk konsumsi sehari-hari. Mereka lantas berduyun-duyun mengantre beras murah.

Pemerintah mengklaim harga beras naik karena anomali cuaca El Nino dan perbedaan temperatur permukaan air laut, Indian Ocean Dipole (IOD), 2023 yang menyebabkan gagal panen padi di banyak tempat. Anomali yang memicu cuaca ekstrem tersebut membuat produksi padi Indonesia pada 2023 turun sebesar 0,65 juta ton atau 2,05% lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.

Situasi di atas menunjukkan betapa rapuhnya padi Indonesia terhadap cuaca ekstrem. Di masa depan, kerentanan bisa lebih tinggi karena El Nino dapat terjadi lebih sering dan parah.

Pemerintah perlu mengantisipasi risiko ini sesegera mungkin untuk meredam kenaikan harga beras.

Naik-turun harga beras karena El Nino

Peneliti dari International Rice Research Institute Filipina, David Dawe, menyatakan kenaikan drastis harga beras global selalu terkait dengan kejadian El Nino atau La Nina.

Setahun sebelum Krisis Finansial Asia 1998, misalnya, petani di Indonesia menghadapi tantangan yang menurut mereka lebih membekas: kekeringan panjang tahun 1997. Ini menyebabkan kegagalan panen dan menaikkan harga beras di pasaran.

Kejadian serupa terjadi lagi di tahun 2002, 2009, dan 2015, meskipun dampaknya terhadap kondisi ekonomi relatif lebih rendah.

Tahun 2023 ditengarai menjadi salah satu kejadian El Nino terburuk dalam sejarah dalam kaitannya dengan kenaikan temperatur global. Berbagai studi menyiratkan bahwa perubahan iklim menjadi faktor pendorong meningkatnya intensitas dan tingkat keparahan El Niño di beberapa dasawarsa ke belakang.

Perubahan cuaca sebenarnya bisa terjadi kapanpun, dan petani maupun sistem pertanian masih bisa beradaptasi. Akan tetapi, di dalam kondisi cuaca ekstrem seperti yang terjadi beberapa tahun belakangan ini, kerentanan sistem pertanian padi kita semakin tampak.

El Nino dan kerentanan pertanian kita

Pakar ilmu lingkungan dari University of East Anglia di Inggris, William Neil Adger, mengemukakan ada tiga faktor yang menentukan kerentanan suatu sistem terhadap perubahan lingkungan.

Faktor pertama adalah eksposur, yaitu seberapa sering dan parah kejadian cuaca di suatu wilayah.

El Nino 2023 lebih buruk dibandingkan periode-periode sebelumnya. Kejadian ini memperluas risiko kekeringan berikut gagal panen di kawasan pertanian yang biasanya tidak terdampak oleh perubahan cuaca. Sebagai contoh, di Pulau Jawa, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat jumlah bencana kekeringan per Agustus 2023 naik drastis ke 49 kejadian dari 2022 sebanyak 4 kejadian.

Kedua, sensitivitas, yang menunjukkan seberapa mudah sistem terpengaruh oleh suatu kejadian bencana. Sistem pertanian yang terintegrasi dengan ekosistem alami seringkali mampu menyerap efek dari variabilitas iklim dengan lebih baik karena menciptakan iklim mikro dalam ekosistem tersebut.

Sebagai contoh, pertanian padi di dalam ekosistem pertanian tradisional seperti di Kasepuhan Ciptagelar di Sukabumi cenderung tidak se-sensitif kawasan industri pertanian padi di pantai utara Jawa terhadap eksposur El Nino yang sama.

Video dokumenter Watchdoc yang menayangkan ketahanan pangan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar di Jawa Barat.

Ketiga, kapasitas adaptasi, yang menggambarkan bagaimana petani dapat memanfaatkan situasi yang ada tanpa memperburuk keadaan mereka. Sekalipun cuaca memiliki pengaruh yang sama terhadap produksi pertanian, dampak yang dirasakan oleh petani bisa jadi berbeda. Ini tergantung kapasitas yang mereka miliki dan cara-cara adaptasi yang dilakukan.

Studi oleh sosiolog pertanian asal Australia, Peter R. Brown, dan tim pada 2018 menguatkan bahwa kemampuan adaptasi petani terhadap variabilitas cuaca sangat bergantung pada faktor-faktor seperti ukuran lahan, pengalaman bertani, infrastruktur pendukung, dan akses terhadap sumber daya.

Dalam konteks ini, peran pemerintah dalam mengurangi sensitivitas sektor pertanian dan kemampuan adaptasi para pelaku pertanian menjadi faktor kunci pertanian padi menghadapi cuaca ekstrem.

Resep menaikkan ketangguhan

Mengingat pentingnya produksi padi di Indonesia, pemerintah perlu membuat kebijakan lebih tangguh mengatasi dinamika cuaca dan perubahan iklim.

Cara pikir business as usual dalam produksi pangan perlu kita tinggalkan untuk mengantisipasi dampak terburuk krisis iklim dan membangun keberlanjutan pangan.

Secara garis besar, setidaknya ada tiga rekomendasi langkah utama adaptasi perubahan iklim yang dapat diambil oleh pemerintah untuk sektor pertanian padi di Indonesia:

1. Pembangunan infrastruktur lokal

Pemerintah perlu membangun infrastruktur lokal yang sejalan dengan karakteristik sosio-ekologis di masing-masing wilayah. Setiap area di Indonesia memiliki karakteristik sosio-ekologis yang spesifik dan sensitivitas yang berbeda terhadap guncangan cuaca.

Alih-alih melakukan sentralisasi produksi pertanian yang meniadakan peran penyangga dari iklim mikro dan ekosistem lokal (seperti program Food Estate), pemerintah perlu membangun (atau mendukung dibangunnya) infrastruktur yang tangguh iklim di dalam sistem ekologis-sosial daerah. Contoh yang nyata adalah dukungan pemerintah terhadap sistem irigasi tradisional Subak di Bali yang menjamin keadilan akses air bagi petani.

2. Peningkatan akses sumber daya pertanian

Mayoritas petani padi di Indonesia termasuk ke dalam kategori petani gurem dan paruh waktu yang amat rentan terhadap guncangan ekonomi ataupun iklim. Karena itu, pembangunan ketahanan pangan juga berarti menurunkan kerentanan petani gurem terhadap perubahan iklim.

Pemerintah dapat meningkatkan akses petani gurem terhadap sumber daya pertanian yang mencukupi seperti lahan, sumber daya air, dan sarana produksi pertanian.

3. Penguatan warga desa

Pemerintah perlu mendorong penguatan kapasitas masyarakat pedesaan secara lebih luas melalui praktik baik adaptasi perubahan iklim. Masyarakat pedesaan adalah kunci produksi pangan kita.

Meskipun demikian, kita perlu menyadari bahwa penghidupan masyarakat desa lebih dari sekedar pertanian. Memahami secara lebih luas berbagai strategi penghidupan pedesaan dan berbagai praktik baik adaptasi perubahan iklim di masyarakat desa dapat mendorong pembangunan yang menguatkan ketangguhan/resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim.The Conversation


Angga Dwiartama, Associate professor, Institut Teknologi Bandung

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com