bar-merah

Beberapa PR terkait pelaksanaan aturan ‘publisher’s rights’ di Indonesia

publishers rights
Ilustrasi digenerate dengan AI Image (Midjourney / Ronny Buol)
Oleh : Ignatius Haryanto, Universitas Multimedia Nusantara

ZONAUTARA.com – Bertepatan dengan peringatan Hari Pers Nasional pada 20 Februari lalu, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 32 Tahun 2024 yang meminta perusahaan (platform), seperti Google, Meta, dan X (dulunya Twitter), untuk membayar media lokal atas konten berita yang mereka bagi ke publik. Aturan ini merupakan upaya untuk melindungi media, atau yang lebih dikenal dengan sebutan publisher’s rights

Wacana publisher’s rights sudah muncul di Indonesia empat tahun lalu melalui artikel opini yang ditulis oleh Agus Sudibyo, yang kala itu menjadi koordinator kelompok kerja Keberlanjutan Media di Dewan Pers.

Agus berpendapat bahwa perusahaan platform raksasa seperti Google dan Facebook memiliki kekuatan yang lebih besar dari perusahaan media. Oleh karena itu, sudah semestinya mereka membagikan sebagian pendapatannya kepada perusahaan media yang menghasilkan konten yang mereka gunakan.

Perpres yang baru saja diterbitkan oleh pemerintah Indonesia ini mengikuti langkah Australia dan Kanada yang sudah lebih dulu menerapkan aturan serupa. Jerman dan Prancis juga berupaya memberlakukan aturan ini, tetapi gagal karena ada penolakan dari platform.

Australia yang sering menjadi rujukan keberhasilan aturan ini juga tengah mendapat tantangan dari Facebook yang baru saja mengumumkan kebijakan mereka yang tidak akan fokus lagi ke berita.

Sebagai ahli dan peneliti media, saya melihat Indonesia juga menghadapi sejumlah pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan sebelum menjalankan Perpres ini.

Respons perusahaan platform

Perusahaan platform yang paling berkepentingan dengan Perpres ini adalah Google dan Meta. Pendistribusian konten media lewat Google dan Facebook (milik Meta) mencapai lebih dari 80%.

Merespons Perpres kemarin, Meta mengatakan mereka sudah berkonsultasi dengan pemerintah Indonesia dan mereka yakin bahwa mereka tidak diwajibkan untuk membayar konten berita, karena konten berita dalam Meta diunggah oleh perusahaan media secara mandiri untuk kepentingan traffic bagi berita-berita mereka. Dan untuk itu, Meta merasa tak perlu membayar kepada perusahaan media.

Sementara itu, pihak Google memilih untuk mempelajari terlebih dahulu Perpres tersebut.

Menurut info dari seorang redaktur media nasional yang tidak ingin disebutkan namanya, sejak akhir tahun 2021, Google sudah melakukan perjanjian dengan sejumlah perusahaan media, dengan kondisi bahwa isi perjanjian tersebut tidak boleh diumumkan ke publik.

“Jadi bagi Google, Perpres ini tidak terlalu berarti karena mereka sudah melakukan perjanjian ke sejumlah media. Mereka concern [khawatir] pemerintah banyak campur tangan dalam hal ini,” ujar redaktur tersebut dalam komunikasi pribadi dengan penulis.

Hal ini menyisakan pertanyaan terkait komitmen pihak platform dalam membayar kompensasi untuk konten berita dari media lokal di kemudian hari.

Aturan Perpres, tidak seperti UU, bersifat tidak mengikat. Artinya tidak ada sanksi atau denda jika pihak terkait tidak melakukan kewajibannya. Pertimbangan mengapa pemerintah mengeluarkan Perpres alih-alih UU karena proses pembuatan UU yang memakan waktu dan rumit karena melibatkan kepentingan politik berbagai partai.

Pembentukan komite

Dewan Pers mengatakan akan segera membentuk komite yang akan memastikan pemenuhan kewajiban perusahaan platform digital.

Jumlah anggota komite tersebut disebutkan maksimal ada 11 orang dengan komposisi lima orang anggota Dewan Pers yang bukan dari nonperusahaan pers, satu orang perwakilan pemerintah, dan lima orang pakar. Masa tugas komite ini tiga tahun, dan dapat dipilih kembali.

Jumlah anggota Komite hingga 11 orang menimbulkan pertanyaan. Mengapa harus sampai 11 orang? Apakah tidak cukup jika 3-5 orang saja?

Perpres tersebut tidak menjelaskan mengapa anggota komite perlu ada 11. Padahal lebih sedikit jumlahnya akan membuat pengambilan keputusan lebih efektif dan efisien. Terlebih lagi, anggota Dewan Pers hanya ada sembilan orang, jadi lebih dari separuh anggotanya akan terlibat dalam komite ini.

Pertanyaan yang lebih serius: akankah komite ini akan berhasil menciptakan ekosistem media yang lebih baik ke depannya dan memberikan keadilan kepada para pemilik konten media, baik itu media besar maupun media kecil?

Perpres terbaru mengatur hanya media yang terverifikasi di Dewan Pers yang bisa mendapatkan kompensasi dari platform, sementara media yang belum terverifikasi, banyak di antaranya adalah media kecil, belum bisa. Padahal justru media-media kecil yang menghasilkan produk jurnalistik yang berkualitas tinggi yang membutuhkan pemasukan tambahan untuk mendukung kegiatan operasional mereka.

Data dari Dewan Pers menunjukkan bahwa hanya 1.700 media yang terverifikasi dari total 47.000 media dari seluruh Indonesia. Jadi ini tantangan buat pelaksanaan Perpres nantinya dalam memastikan bahwa sistem kompensasi berjalan adil.

Harapan ke depan

Apapun kondisinya, kita berharap Perpres ini bisa memberikan kesegaran dan perbaikan bagi ekosistem industri media di Indonesia.

Kita memang butuh waktu untuk membuktikan hal ini.

Peneliti media dari Reuters Institute for the Study of Journalism
University of Oxford di Inggris, Rasmus Kleis Nielsen dan Sarah Anne Ganter, menjelaskan bagaimana perusahaan platform menjadi sebuah kekuasaan baru dalam industri media yang menyebabkan ketergantungan perusahaan media pada platform.

Nick Denton, pendiri grup media di Inggris, Gawker Media, menambahkan bahwa media saat ini menjadi budak-budak algoritma. Artinya, media selalu berusaha mengikuti algoritma yang diciptakan platform ketika membuat konten. Hal ini tentu berpengaruh pada kualitas berita yang diterbitkan.

Kita tetap berharap jurnalisme berkualitas akan tetap terjaga dan makin mendapat tempat setelah didukung oleh perjanjian yang adil dan transparan. Jurnalisme berkualitas merupakan bagian dari upaya memelihara tradisi demokrasi Indonesia saat sekarang dan seterusnya.The Conversation


Ignatius Haryanto, Lecturer of media and journalism, Universitas Multimedia Nusantara

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com