ZONAUTARA.com – Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menggulirkan rencana penting untuk menangani pandemi di masa depan melalui perjanjian persiapan pandemi yang dikenal sebagai Pandemi Traety atau Traktat Pandemi.
Inisiatif ini bertujuan untuk mempersiapkan dan merespons kemungkinan pandemi baru yang mungkin terjadi di masa mendatang. Namun, rencana tersebut tidak luput dari kontroversi yang melibatkan berbagai pihak.
Perjanjian internasional baru ini dimulai dari inisiatif Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, pada Maret 2021. Melihat perbedaan pendekatan dalam menangani pandemi Covid-19, WHO kemudian mengambil langkah untuk menggulirkan rencana ini.
Perjanjian tersebut mencakup berbagai aspek, mulai dari distribusi vaksin, obat-obatan, hingga alat pelindung diri untuk menghadapi pandemi.
WHO memperkuat argumennya dengan menyatakan bahwa pandemi baru akan muncul di masa depan, dan tidak ada satu pun lembaga pemerintah atau multilateral yang dapat mengatasinya sendiri.
Tujuan utama dari perjanjian internasional baru ini adalah untuk mendorong pendekatan multi-sektoral yang komprehensif untuk memperkuat kapasitas dan ketahanan nasional, regional, dan global terhadap pandemi di masa depan.
Working Group on Strengthening WHO Preparedness for and Response to Health Emergencies (WGPR) telah mengeluarkan laporan “zero draft” pada 28 Oktober 2021.
Rancangan ini kemudian dibahas oleh World Health Assembly (WHA) pada 29 November 2021, yang kemudian melahirkan Intergovernmental Negotiating Body (INB) untuk merancang perjanjian ini.
Laporan “zero draft” kemudian diperbarui menjadi dokumen 56 halaman pada Februari 2023 setelah survei dilakukan kepada pemangku kepentingan pemerintah dan negara anggota WHO.
Perjanjian ini kemudian dirilis pada Februari 2023, dan INB melakukan pertemuan untuk membahas kelanjutannya. Pada akhirnya, perjanjian ini diharapkan dapat diserahkan pada acara peringatan WHA ke-77 pada Mei 2024.
Kontroversi Traktat Pandemi
Namun, perjanjian ini tidak lepas dari kontroversi. Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa perjanjian ini dapat mengancam kedaulatan nasional, terutama dalam hal akses terhadap lokasi wabah dan penyelidikan asal-usul penyakit.
HRW (Human Rights Watch) menyatakan keberatannya terhadap perjanjian ini karena kekhawatiran akan pelanggaran hak asasi manusia selama keadaan darurat kesehatan.
Pada awal 2024, Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengakui bahwa pembahasan tentang perjanjian pandemi terhambat oleh berita palsu dan teori konspirasi di media sosial.
Namun, ia menegaskan bahwa perjanjian ini merupakan tawaran solusi baru untuk masalah baru di masa depan. Negara-negara Eropa dan Afrika telah menyatakan dukungan mereka, dengan fokus pada pendanaan dan akses terhadap penanggulangan pandemi.
Indonesia, sementara itu, tampaknya condong untuk mendukung perjanjian ini. Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi menyatakan dukungannya dalam sebuah forum pada Oktober 2021.
Meskipun begitu, masih ada waktu untuk mengevaluasi lebih lanjut konsekuensi dan keterlibatan Indonesia dalam perjanjian ini. Kementerian Kesehatan RI perlu mempertimbangkan dengan cermat berbagai aspek dalam jangka panjang.
Sejauh ini, pembicaraan terkait pandemic treaty tampaknya belum menjadi perhatian besar di Indonesia. Bisa jadi karena publik dan lembaga pemerintahan masih berkutat pada proses jalannya sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU).
Isu kontroversi pandemic treaty masih belum muncul di lini masa, sehingga berita bohong dan hoaks pun masih dapat diantisipasi.
Sesungguhnya, pandemic treaty memiliki misi luhur, yakni tidak hanya merespons pandemi, tetapi juga dapat mengatasi kesenjangan yang telah ada sebelumnya sebagai langkah kesiapsiagaan.
Dalam pandemic treaty, terdapat instrumen yang mencakup klausul untuk menjamin dan melindungi kepentingan tenaga kesehatan, serta perawatan di berbagai negara. Sistem kesehatan akan menjadi kuat dan tangguh hanya jika kepentingan pekerjanya dijamin.
Pemerintah Indonesia masih ada waktu kurang lebih sebulan untuk mengkaji lebih dalam terkait pandemic treaty, terutama konsekuensi serta kemampuan Indonesia untuk berpartisipasi di dalamnya. Lembaga pemerintah terkait, khususnya Kementerian Kesehatan RI, perlu menimbang berbagai aspek untuk jangka panjang.
Sumber: Kompas.id