ZONAUTARA.com – Dalam Rapat Paripurna DPR RI, 12 April 2022 telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Selanjutnya, pada 9 Mei 2022 Pemerintah menerbitkan sebagai Undang-Undang No 12 Tahun 2022.
Langkah konkret yang cepat ini sangat diapresiasi oleh berbagai pihak, masyarakat, organisasi masyarakat sipil, pendamping korban, Aparat Penegak Hukum, kalangan akademisi, dan sebagainya.
Undang-undang ini telah lama dinantikan oleh korban kekerasan seksual, karena angka kasus kekerasan yang terus meningkat dikarenakan kosongnya dan minimnya pengaturan hukum mengenai jenis-jenis kekerasan seksual yang menghambat korban untuk mendapatkan keadilan.
Mandat penting UU TPKS yang perlu segera dilakukan oleh Pemerintah adalah membentuk 7 regulasi turunan, yakni 3 Peraturan Pemerintah dan 4 Peraturan Presiden yang mencakup semua aspek teknis dan operasional sebagaimana diperlukan untuk implementasi UU ini.
Berkaitan dengan beberapa rancangan peraturan diatas, terdapat ketentuan bahwa aturan teknis atau turunan mesti disusun dalam jangka waktu 1 tahun. Tetapi sampai dengan 2 (dua) tahun berjalan, pemerintah baru menyelesaikan 1 Peraturan yakni; Peraturan Presiden tentang penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan TPKS.
Sedangkan yang lainnya masih menunggu penyelesaian tahapan harmonisasi, dan berbagai alasan teknis seperti proses Pemilu dan lainnya dinyatakan menjadi faktor penyebab mengapa Peraturan Turunan lainnya belum dapat dirampungkan.
Padahal, kondisi ini berdampak pada kurangnya efektivitas implementasi UU TPKS serta anggaran dan sarana prasarana dalam penegakan hukum, pelindungan dan pemulihan hak-hak korban kekerasan seksual.
Dalam momentum Hari Kartini, Jaringan Masyarakat Sipil Kawal Implementasi UU TPKS kembali menyuarakan urgensi hadirnya negara untuk memastikan korban dan kelompok rentan dan masyarakat secara lebih luas dari kekerasan seksual.
Mengambil kutipan Surat Kartini yang dikirimkan kepada sahabatnya Rosa Abendanon, dan Estella Zeehandelaar “…Jangan biarkan kegelapan kembali datang, jangan biarkan kaum perempuan kembali diperlakukan semena-mena.” sebagai pengingat bahwa upaya memastikan keadilan dan mewujudkan dunia yang bebas dari kekerasan berbasis gender masih belum menjadi hal yang serius dilakukan oleh Pemerintah.
Sebagai dasar seruan kami terkait dengan belum efektifnya implementasi UU TPKS baik di tingkat nasional dan daerah antara lain :
1. Dalam lingkungan masyarakat, sejak UU TPKS disahkan sampai saat ini, kita ketahui baik melalui media dan pendataan, angka kekerasan seksual belum mengalami penurunan yang berarti.
Masyarakat belum memperoleh informasi yang cukup mengenai adanya kebijakan penanganan dan pencegahan kekerasan seksual.
Artinya sampai saat ini belum ada sosialisasi yang dilakukan secara luas untuk membantu masyarakat dan pihak-pihak pemangku kepentingan memahami substansi dari UU TPKS, termasuk informasi bagaimana masyarakat dapat melaporkan kasus TPKS dan mendapatkan akses layanan bagi korban.
2. Dalam Upaya Layanan Bagi Korban dan Keluarga Korban, peran dan fungsi UPTD PPA sebagai penyelenggara pelayanan terpadu, lintas dinas, Aparat Penegak Hukum (APH) dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan, Kementerian Agama, Rumah sakit dan pengada layanan berbasis masyarakat belum optimal, terlebih dalam hal koordinasi lintas lembaga.
Diperlukan pedoman untuk memudahkan koordinasi dimaksud; upaya penyediaan layanan yang belum optimal di sini mencakup juga belum tersedianya layanan respon cepat dan sarana prasarana layanan lain seperti sumber daya pendamping, rumah aman dan pemanfaatan layanan perlindungan dari LPSK, hingga penganggaran penanganan kasus TPKS.
Ini semua menyebabkan penanganan kasus tidak tuntas dan kerap kali menjadi “beban” pendamping dan lembaga layanan berbasis masyarakat.
3. Keterbatasan jumlah dan kapasitas sumberdaya organisasi pengada layanan, juga organisasi berbasis komunitas dalam merespon kasus-kasus kekerasan seksual.
Khususnya di daerah dan wilayah 3T ( Tertinggal, Terpencil, dan Terluar), dimana akses layanan penegakan hukum dan perlindungan korban belum merata antar pulau.
Polres, dimana UPPA berada, terdapat di pusat kabupaten yang sulit dan memerlukan biaya tinggi.
Di beberapa wilayah, untuk kasus-kasus TPKS ditangani secara langsung di tingkat POLDA, sehingga laporan di tingkat POLRES maupun POLSEK akan dilimpah Unit PPA POLDA, sehingga pendampingan justru tidak bisa maksimal.
4. APH belum memahami substansi UU TPKS sebagai Undang-Undang Lex Specialis; nampak dari adanya kehati-hatian, keengganan bahkan kebingungan dari Aparat Penegak Hukum khususnya dalam penerapan UU TPKS menjadi pasal utama dalam menjerat pelaku.
Akhirnya APH menggunakan pasal-pasal dalam KUHP untuk menindak pelaku seperti Pasal 286 tentang Persetubuhan, Pasal 289 tentang Pencabulan, Pasal 477 tentang Perkosaan, Pasal 351 tentang penganiayaan, serta pasal-pasal lain.
Berkenaan dengan fakta-fakta yang menjadi tantangan dan hambatan dalam upaya pelaksanaan UU TPKS, kami Jaringan Masyarakat Sipil menyatakan:
- Mengingatkan dengan tegas kepada Pemerintah untuk segera menuntaskan proses penetapan 3 Rancangan Peraturan Pemerintah dan 3 Rancangan Peraturan Presiden dengan serius demi kepentingan akses keadilan korban dan masyarakat kelompok rentan dari kekerasan seksual.
- Mendesak pemerintah segera mengimplementasikan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual
- Mendesak Pemerintah untuk memastikan tersedianya anggaran, mekanisme dan sistem koordinasi efektif, Sumber Daya Manusia semua pihak dan lembaga terkait dan Pengada Layanan yang memadai untuk penanganan kasus TPKS secara komprehensif, tuntas dan setara di seluruh wilayah Indonesia.
Kontak Person:
Kekek ADH (081381149022)
Katrin Wokanubun (081240035794)
Rena Herdiyani (08129820147)