Oscar Rueda, Leiden University dan Laura Scherer, Leiden University
ZONAUTARA.com – Suplai daging, susu, dan produk lain yang bersumber dari hewan mungkin akan jauh berkurang pada beberapa dekade mendatang. Sebab, semakin banyak orang-orang beralih ke berbagai produk alternatif. Berkurangnya produk daging bisa membuka peluang penggunaan lahan luas yang saat ini masih digunakan untuk beternak hewan dan bercocok tanam untuk memberi makan mereka.
Baru-baru ini, kami menerbitkan penelitian untuk melihat apa yang mungkin terjadi jika permintaan produk hewani benar-benar menurun sehingga lahan untuk produksi serta kebutuhan pendukungnya digunakan untuk menghasilkan sumber energi terbarukan dan penghilangan karbon.
Ternyata, potensi manfaatnya sangat besar.
Penggantian produk hewani dalam skala besar mungkin tampak mustahil saat ini. Namun, alternatif baru, seperti daging tiruan nabati atau daging hasil laboratorium, bisa sangat mirip daging asli dalam hal rasa dan tekstur. Seiring waktu, bukan tidak mungkin keduanya mengalahkan daging betulan dalam hal biaya.
Untuk saat ini, penggantian produk berbasis hewan masih berbiaya mahal dan sering mengorbankan rasa. Mayoritas konsumennya adalah kelompok-kelompok tertentu yang peduli terhadap kesehatan, lingkungan, atau kesejahteraan hewan.
Namun, di masa depan, pengalaman serupa dengan biaya lebih rendah bisa jadi akan menjadikan ‘daging’ alternatif lebih populer.
Membuka potensi lawas
Pengurangan daging dapat membebaskan lahan dan mengurangi kebutuhan air dalam jumlah besar. Sebab, kebutuhan lahan ternak sapi, ayam, babi, atau lahan produksi tanaman pakan juga berkurang.
Riset kami memperkirakan bahwa penggantian sepenuhnya produk-produk hewani akan membebaskan lebih dari 60% lahan pertanian dunia. Peneliti lain bahkan mengungkapkan potensi yang lebih besar, yaitu sebanyak 75%.
Peternakan mungkin tidak akan hilang sepenuhnya. Namun, laporan dari sejumlah lembaga konsultan setidaknya menunjukkan bahwa pasokan daging dapat menurun hingga 10%-30% pada 2030 atau 30%-70% pada 2050.
Jumlah segitu, tetap saja, akan membuka lahan pertanian yang luas.
Apa yang akan kita lakukan dengan seluruh lahan itu? Dalam banyak kasus, membiarkannya saja mungkin menjadi solusi paling masuk akal. Dengan cara ini, lahan dapat kembali secara bertahap ke keadaan aslinya, menyimpan karbon, mengatur iklim, dan menyediakan habitat bagi satwa liar.
Namun, kita juga dapat memanfaatkan lahan tersebut untuk menghasilkan energi sekaligus menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer, melalui proses yang dikenal sebagai bioenergi dengan penangkapan dan penyimpanan karbon (Beccs).
Beccs sudah ketinggalan zaman
Tanaman energi, yang ditanam di lahan pertanian yang baru dibebaskan, akan menangkap CO₂ dari atmosfer dan menyimpannya sebagai karbon (tumbuhan dan hewan sebagian besar tersusun dari air dan karbon). Hasil panen akan digunakan sebagai bahan bakar untuk menghasilkan energi, yang akan mengubah karbon kembali menjadi CO₂.
Namun, alih-alih melepaskannya kembali ke atmosfer (seperti yang dilakukan sistem bioenergi konvensional saat ini), CO₂ dapat ditangkap dan disimpan secara permanen jauh di bawah tanah. Dengan cara ini, sistem Beccs akan menghasilkan penyerapan bersih CO₂ dari atmosfer.
Sejak Beccs pertama kali diusulkan dua dekade lalu, banyak ilmuwan yang menerima gagasan tersebut dan memasukkannya ke dalam rencana untuk mengatasi perubahan iklim. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, mereka menyarankan untuk tidak melakukan hal tersebut karena menanam lebih banyak tanaman berarti mengonversi lebih banyak hutan dan ekosistem alami lainnya menjadi lahan pertanian. Sementara air yang digunakan untuk mengairi hasil panen berarti mengurangi jatah bagi manusia dan ekosistem. Mereka menekankan bahwa persaingan lahan dapat mengancam ketahanan pangan.
Beccs dapat mengatasi tantangan utamanya
Penelitian kami memperkirakan bagaimana peralihan dari produk hewani dapat membantu mengatasi tantangan persaingan lahan tersebut dan membuka potensi besar bagi Beccs.
Dengan menggunakan lahan peternakan menganggur, Beccs dapat menghindari kebutuhan perluasan lahan pertanian atau kekurangan air. Artinya, masih tersedia cukup makanan untuk semua orang.
Jika 50% produk hewani digantikan pada tahun 2050, akan ada lahan yang cukup bagi Beccs untuk menghasilkan listrik sebanyak yang dihasilkan pembangkit listrik energi batu bara saat ini (sekitar sepertiga dari total produksi global). Listrik tersebut turut menghilangkan jumlah karbon yang hampir sama dengan emisi batu bara saat ini.
Alternatifnya, Beccs dapat memproduksi sekitar setengah dari proyeksi permintaan hidrogen global pada tahun 2050, dengan jumlah “emisi negatif” — emisi yang tak jadi terlepas — yang serupa.
Kami menaksir emisi negatif dengan menghitung jumlah karbon yang diambil Beccs dari atmosfer dan disimpan di bawah tanah, lalu dikurangi emisi dari penanaman tanaman bioenergi dan konversinya menjadi energi. Jumlah itu lalu kami kurangi dengan jumlah karbon yang tersimpan dalam tanaman — jika kita hanya membiarkan lahan peternakan yang dibebaskan.
Kami juga menemukan bahwa banyak negara, termasuk para penghasil polusi terbesar, dapat menyimpan semua CO₂ yang ditangkap jauh di bawah tanah di dalam wilayah mereka.
Semua ini terdengar sangat menarik. Kita tidak bisa menganggap remeh potensi yang dimiliki Beccs untuk benar-benar dimanfaatkan.
Tantangan keberlanjutan produk hewani yang ada mungkin dapat kita atasi dengan mengurangi konsumsi daging. Namun, berbagai tantangan teknis, sosial, dan politik bisa saja menghambat penerapannya.
Kita juga masih belum mengetahui secara pasti bagaimana daging nabati dan daging hasil bioteknologi akan dikonsumsi dan apa dampaknya.
Kabar baiknya, alternatif daging nabati yang tersedia saat ini sudah menawarkan potensi yang lebih pasti untuk membebaskan lahan dan air dalam jangka pendek. Seberapa jauh pemanfaatannya akan tergantung pada negara dan individu.
Oscar Rueda, Doctoral Researcher, Institute of Environmental Sciences, Leiden University dan Laura Scherer, Assistant Professor, Institute of Environmental Sciences, Leiden University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.