SITARO, ZONAUTARA.com – Beralas tanah beratap langit, Fendy Gabriel (43) duduk terpaku memandangi bekas rumahnya. Tak ada benda yang bisa ia selamatkan, selain kenangan akan suasana rumah dan desa yang telah 30 tahun ia tempati.
Sambil meneguk air mineral, ayah dua anak ini bercerita, saat itu, hanya bisa menyaksikan dari jauh, bagaimana muntahan material erupsi Gunungapi Ruang menyapu segalanya.
Fendy merupakan penyintas erupsi Gunungapi Ruang dari Desa Pumpente, Pulau Ruang, Kecamatan Tagulandang, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), Provinsi Sulawesi Utara.
Dirinya sudah banyak menyaksikan perubahan yang terjadi di desa kecil tersebut. Ia bahkan sempat merasakan erupsi Gunung Ruang pada tahun 2002 lalu. Namun, apa yang terjadi kali ini terasa jauh lebih berat.
Menyelamatkan diri
Pada erupsi Gunungapi Ruang pertama yang terjadi tanggal 16 April 2024, Fendy dan keluarganya langsung mengungsi ke Pulau Tagulandang. Mereka mendapat kabar dari karib kerabat dari Pulau Tagulandang, yang mengatakan dari jauh terlihat bahwa Gunung Ruang mulai mengeluarkan material.
Tak lama dari kabar itu, batu dan pasir mulai menghujani atap rumah.
“Kami bergegas meninggalkan desa dan ke luar pulau (Pulau Ruang-red) langsung naik perahu menuju ke Tagulandang,” kata Fendy kepada ZONAUTARA.com, Jumat, 24 Mei 2024.
Saat itu, di Tagulandang, Fendy tinggal rumah singgahnya. Seperti kebanyakan warga Pulau Ruang yang menyekolahkan anak di Pulau Tagulandang, Fendy memiliki rumah singgah yang ia bangun di atas tanah pinjaman.
“Pada erupsi pertama kerusakannya masih agak mendingan, hanya seng yang meleleh dan bocor terkena hantaman batu panas,” kenangnya.
Kala itu Fendy berharap bisa segera kembali dan membangun lagi kehidupan mereka yang sempat terhenti. Namun, harapan itu pupus setelah erupsi lanjutan pada tanggal 30 April 2024.
Rumah dan setumpuk sejarah
Rumah Fendy memiliki banyak sejarah, karena merupakan warisan dari orangtua. Bukan hanya kenangan keluarga kecilnya, akan tetapi juga kenangan semua saudara terutama dari pihak istri.
“Setelah erupsi pertama selesai, saya sudah mengumpulkan bahan bangunan seperti batako dan berencana membangun kembali rumah ini,” ujarnya.
Namun sebelum rencana itu terwujud, erupsi selanjutnya justru meluluhlantakan segalanya.
Erupsi kedua membawa kehancuran yang lebih besar. Bukan hanya atap, bahkan beberapa rumah dan sebuah gereja hilang tanpa jejak.
Fendy kini harus menerima kenyataan bahwa rumahnya, tempat yang penuh kenangan hidup, harus hancur.
Meski berat, Fendy dan keluarganya terpaksa ikut program relokasi dari pemerintah.
Tak berdaya, Fendy harus pindah ke Bolsel
“Ya, hanya bisa ikut saja, itu sudah program pemerintah. Meski sebenarnya agak berat, tapi kami tidak bisa apa-apa lagi,” katanya pasrah.
Relokasi ini akan membawa Fendy dan warga lain di Desa Pumpente dan desa tetangganya yaitu Desa Laingpatehi pinah ke Kabupaten Bolsel, yang menurut informasi membutuhkan waktu delapan jam perjalanan dari Manado.
“Saya tidak bisa membayangkan apa-apa, sebab saya belum pernah ke sana. Saya sendiri tidak tahu, kenapa harus ke Bolsel, mungkin pemerintah ada pertimbangan lain,” ucap Fendy.
Alih-alih memikirkan Bolsel, Fendy mengatakan untuk memikirkan bagaimana makam orangtua serta kerabat yang tertimbun dan harus ditinggalkan saja sudah berat.
Fendy dan keluarganya kini perlahan mulai menyiapkan diri untuk memulai hidup baru di tempat yang asing. Istrinya adalah warga asli Pulau Ruang, sementara Fendy sendiri berasal dari Halmahera. Mereka akan meninggalkan semua kenangan dan sejarah yang telah mereka bangun di Desa Pumpente.
Fendy berusaha tetap tegar demi keluarganya. Fendy tahu bahwa keselamatan keluarganya adalah yang terpenting. Di tengah semua kehilangan, ia bersyukur karena mereka masih memiliki satu sama lain.
“Bersyukur kami bisa selamat, walaupun rumah dan tempat banyak kenangan hidup harus terkubur,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Kini, mereka hanya bisa berharap dan berdoa agar di tempat baru nanti, mereka bisa membangun kembali kehidupan yang lebih baik.