SITARO, ZONAUTARA.com – Defni Tatemba (52), warga Desa Laingpatehi, baru saja kembali ke Pulau Ruang setelah mengungsi di Kelurahan Sumompo, Kecamatan Tuminting, Kota Manado akibat erupsi Gunungapi Ruang.
Sejak erupsi pada 16 dan 30 April 2024, Defni bersama warga lainnya harus mengungsi, meninggalkan rumah dan harta benda mereka.
Kali ini, ia kembali untuk pertama kalinya pada Jumat, 24 Mei 2024, dengan hati yang berat. Hatinya hancur melihat semua barang berharga tertimbun material erupsi, dan rumahnya rusak parah.
Dengan air mata yang mengalir, Defni mengenang bagaimana ia meninggalkan rumah hanya dengan baju di badan, tanpa sempat membawa barang berharga.
Melihat pekarangan yang rata tertutup pasir dan kebun yang hangus terbakar awan panas, Defni merasakan kesedihan mendalam.
“Mau bagaimana semua sudah kehendak Yang Kuasa, kita tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Defni dengan pasrah.
Ia menyadari bahwa tinggal di Pulau Ruang bukan lagi pilihan. Terpaksa, Defni harus mengikuti keputusan pemerintah untuk pindah ke Bolsel.
Namun, sebelum meninggalkan pulau yang menjadi tempat tinggalnya selama 52 tahun, Defni berencana menggali makam orangtua yang tertimbun material erupsi.
Perpisahan dengan tanah kelahirannya menjadi lebih berat ketika kedua anjing kesayangannya, Cantik dan Morphi, datang menghampirinya.
Air mata Defni kembali tumpah, kali ini karena kebahagiaan melihat kedua anjingnya selamat dari erupsi.
“Syukur kedua anjing ini selamat, saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka berdua bisa selamat. Kasihan, hampir sebulan mereka bertahan di pulau ini tanpa makanan,” ungkap Defni.
Ia bertekad untuk membawa Cantik dan Morphi pindah ke Bolsel bersama dirinya.
Namun, bagi Defni, Bolsel adalah tempat yang asing dan jauh dari segala yang dikenalnya.
“Rasa-rasanya saya tidak mau pergi, 52 tahun lahir, besar dan hidup di sini, semuanya tidak mudah,” ujarnya dengan suara bergetar.
Ia merasa berat hati meninggalkan Pulau Ruang, terutama ketika memikirkan kondisi adiknya, Reyno Tatemba (50), yang memiliki disabilitas psikososial.
Reyno sering mengamuk di pengungsian, meminta untuk pulang ke rumah mereka. Gangguan fungsi pikir, emosi, dan perilaku membuatnya sering lupa bahwa rumah mereka terdampak erupsi.
“Jadi tujuan utama kami kembali, selain untuk melihat makam orangtua dan rumah, adalah untuk meyakinkan Reynol bahwa rumah, desa, dan bahkan pulau tidak bisa menjadi tempat kami untuk pulang lagi,” ucap Defni.
Ia berharap kunjungan ini bisa membantu adiknya memahami situasi yang sebenarnya.
Kekhawatiran Defni semakin besar mengingat di Pulau Ruang dan Pulau Tagulandang, orang-orang sudah mengenal adiknya. Jika Reyno tersesat, mereka akan membantunya kembali. Di Bolsel, situasinya berbeda.
“Kalau di Pulau Ruang dan di Pulau Tagulandang, orang-orang sudah mengenal adik, jadi kalau dia kehilangan arah atau tersesat, dia akan dituntun atau diantar kembali, tapi kalau di Bolsel situasinya berbeda,” keluh Defni dengan cemas.
Sebagai penyintas erupsi Gunungapi Ruang, Defni merasa tidak memiliki pilihan lain. Ia hanya bisa berharap bahwa pemerintah akan menepati janji mereka kepada para penyintas.
“Tidak tahu harus menghadapi hidup ke depan seperti apa. Tapi jika memang harus pindah, semoga pemerintah memberikan tanah dan rumah sebagaimana yang dikatakan,” ujar Defni penuh harap.
Pesimis, Defni mencoba untuk bangkit dan melanjutkan hidup. Ia berniat menggarap tanah yang akan diberikan pemerintah, meski sadar bahwa usianya yang sudah tidak muda lagi akan menjadi tantangan.
“Ya tidak segampang itu juga, usia sudah tidak lagi muda. Memulai lagi, terutama berkebun, menanam kelapa hari ini, tidak bisa langsung dipanen hari ini juga. Saya bersyukur tapi sedih,” aku Defni, mencoba menguatkan diri menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian.