SITARO, ZONAUTARA.com – Desa Laingpatehi, di Pulau Ruang adalah sebuah tempat yang dahulu hanya sekadar perhentian bagi nelayan dari Tagulandang untuk mengamati ombak, kini menghadapi babak baru dalam sejarahnya.
Erupsi dahsyat Gunungapi Ruang pada 16 dan 30 April 2024 telah meluluhlantakkan desa ini. Meninggalkan jejak kehancuran yang begitu dalam pada semua bangunan, termasuk sekolah dan gereja yang menjadi pusat kehidupan masyarakat setempat.
Di masa lalu, Laingpatehi hanyalah tempat singgah. Nama “Patehi” sendiri memiliki makna “kira-kira,” mencerminkan ketidakpastian kondisi laut yang diamati para nelayan sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Manado.
Seiring berjalannya waktu, tempat singgah ini berubah menjadi pemukiman tetap, perlahan-lahan berkembang menjadi desa yang ramai dengan aktivitas dan kehidupan.
Namun, sejarah panjang Laingpatehi harus berhadapan dengan kekuatan alam yang tak terduga.
Erupsi Gunungapi Ruang membawa abu dan batuan piroklastik yang menghujani desa, menghancurkan bangunan dan memaksa penduduknya untuk meninggalkan rumah mereka.
Desa yang pernah menjadi tempat yang tenang dan penuh kehidupan kini berubah menjadi zona bencana.
Deyce Gahibu, Bendahara GMIST Patmos Laingpatehi, merasakan betapa sulitnya meninggalkan desa yang telah menjadi rumah bagi mereka selama bertahun-tahun.
“Pindah dari desa merupakan keputusan yang sangat sulit,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
“Namun, jika bersama Tuhan, segalanya akan jauh lebih baik.” Keyakinan Deyce memberikan kekuatan bagi warga desa yang harus menghadapi masa depan yang tak pasti.
Pemerintah Kabupaten Sitaro memutuskan bahwa warga Desa Laingpatehi harus direlokasi ke Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), mengingat kondisi Pulau Ruang yang tidak lagi aman untuk dihuni.
Ini adalah langkah besar yang diambil untuk memastikan keselamatan dan kelangsungan hidup masyarakat Laingpatehi. Relokasi ini membawa tantangan baru bagi warga, yang harus beradaptasi dengan lingkungan dan komunitas baru.
Namun, semangat kebersamaan dan kepercayaan kepada Tuhan menjadi penopang mereka.
“Kita akan coba beradaptasi dengan saudara kita yang ada di Bolsel. Kerja keras dan penyertaan Allah akan menolong kita,” ujar Deyce dengan penuh harap.
Ia menambahkan bahwa di tempat yang baru nanti, nama Laingpatehi akan tetap digunakan, termasuk nama gereja mereka, sebagai simbol kenangan dan identitas yang tak tergoyahkan.
Saat Yakobus dan beberapa warga lainnya sibuk mengemasi barang-barang yang masih bisa diselamatkan dari reruntuhan, mereka menyadari betapa beruntungnya mereka karena selamat dari bencana ini.
“Semoga warga dikuatkan dan dimudahkan. Saya tahu ini sulit, namun yang harus disyukuri adalah tidak ada korban jiwa,” kata Deyce singkat namun penuh makna.
Kisah Desa Laingpatehi adalah kisah tentang keteguhan dan harapan di tengah bencana. Dari tempat singgah bagi nelayan hingga menjadi desa yang penuh kehidupan, dan kini harus memulai lagi di tempat yang baru.
Laingpatehi bukan hanya sebuah nama, tetapi sebuah cerita tentang keberanian, komunitas, dan keyakinan yang akan terus hidup meski dalam jarak yang jauh dari tanah asalnya.