SITARO,ZONAUTARA.com – Pulau Tagulandang yang tenang tiba-tiba berubah mencekam ketika Gunungapi Ruang mulai erupsi. Asap tebal dan debu vulkanik mengancam kehidupan, membuat banyak warga memilih mengungsi. Namun, di tengah kekacauan itu, Neltin Siging (49), seorang pedagang ikan, memutuskan untuk tetap bertahan.
Bagi Neltin, mengungsi adalah sebuah pilihan yang berat, terutama karena dia masih memiliki stok ikan yang harus dijual.
Selama 22 tahun, Neltin berjualan ikan di Pasar Enam Enam Tagulandang. Ikan-ikan yang ia jual didatangkan dari Manado dan Siau. Kini, dengan nelayan yang enggan melaut karena takut, usahanya sangat terpuruk.
“Omset berkurang jauh, syukur-syukur dapat Rp200 ribu. Bisa dikatakan parah sekali, sebab kami butuh es juga,” ungkap Neltin pada ZONAUTARA.com, Sabtu, (25/5/2024).
Meski takut, Neltin memilih menjauh ke bagian pegunungan untuk menghindari bahaya erupsi. Ketakutan dan kekhawatiran selalu menyertai hari-harinya, terutama karena rumahnya di Desa Lesah dan Balehumara hancur akibat letusan.
Yang lebih menyesakkan adalah kenyataan bahwa dia tidak terdata sebagai korban karena dianggap hanya berdomisili di sana.
“Saya tidak didata sebab katanya saya hanya berdomisili, padahal rumah saya juga hancur, saya juga korban,” keluhnya.
Ia sempat mempertanyakan hal ini kepada petugas di Desa Lesah. Menurut penjelasan yang ia terima, mungkin saja ada kesalahan karena ia memiliki rumah di dua tempat berbeda.
Namun, di Desa Balehumara, tempat ia lebih sering tinggal, Neltin tetap tidak dimasukkan dalam data korban.
“Rumah adalah hunian, itu adalah hak saya. Memang rumah saya ada di dua tempat, di Balehumara dan di Lesah, semuanya rusak terkena erupsi,” tegasnya.
Neltin memilih membangun rumah di Balehumara agar lebih dekat dengan pasar, memudahkan pekerjaannya sebagai pedagang ikan. Dari Desa Lesah ke pasar, jaraknya sekitar 2 kilometer, membuat mobilitasnya semakin sulit.
“Jadi jauh, kan harus ke sana, ke mari,” keluhnya.
Penderitaan Neltin tidak berhenti di situ. Selama masa tanggap darurat, bantuan yang diterimanya sangat minim.
“Selama 2 minggu saya hanya dapat beras 3 kg, beberapa bungkus mie instan, dan air mineral. Untuk bertahan hidup sehari-hari, saya mencoba berhemat, padahal saya tidak ada uang sama sekali,” jelas Neltin.
Suatu hari, ketika ia pergi ke posko untuk meminta air mineral, ia hanya mendapatkan satu botol.
“Saya sempat ketemu dengan para petugas, tentara-tentara di sana. Mereka bilang bantuan masih sangat banyak, tetapi penyalurannya bukan makin hari bertambah, makin hari berkurang,” keluhnya lagi.
Di tengah segala keterbatasan dan ketidakpastian, Neltin tetap bertahan. Harapannya hanya satu: agar pemerintah dan pihak terkait lebih memperhatikan nasibnya dan korban lainnya.
Kehidupan di Pulau Tagulandang mungkin tidak akan pernah sama lagi, namun semangat Neltin untuk terus berjuang tetap menyala di tengah abu dan debu Gunungapi Ruang.