Di sebuah kelas sekolah menengah pertama, para siswanya belajar tentang ilmu keplanetan mulai dari gas di Planet Jupiter hingga eksosfer atau lapisan luar Planet Merkurius.
Pelajaran itu mungkin terlihat tidak berbeda dengan pembelajaran di banyak sekolah di seluruh dunia. Yang membedakan, pelajaran tentang astronomi itu diadakan di pusat pembelajaran bagi para pengungsi di Indonesia.
Afnaan Guleid, seorang remaja berusia 13 tahun asal Somalia, menyimak dengan serius pelajaran itu. Bersama keluarganya, Afnaan melarikan diri ke Indonesia. Dia mengatakan di negara asalnya keluarganya khawatir akan kekerasan, tapi sekarang dia bisa fokus untuk meraih mimpinya.
“Saya ingin menjadi ilmuwan ketika saya besar nanti karena saya suka melakukan eksperimen dan menemukan banyak hal,” kata Guleid.
Remaja putri itu adalah salah satu dari 85 siswa di Pusat Pembelajaran Pengungsi Cisarua. Seluruh kurikulum menggunakan bahasa Inggris, baik ketika siswa belajar matematika, sains, ilmu pengetahuan sosial (IPS), atau keterampilan hidup dasar. Dan mulai tahun ini, siswa yang memenuhi syarat dapat mengikuti program daring untuk berupaya mendapatkan ijazah sekolah menengah Amerika Serikat.
Massoud Azimi, 15, adalah salah satunya. Azimi adalah pengungsi asal Afghanistan yang telah berada di Indonesia selama delapan tahun. Namun bersama keluarganya, Azimi dijadwalkan akan dimukimkan kembali di Amerika Serikat (AS) dalam beberapa bulan ke depan.
“Program-program di pusat pembelajaran ini membantu saya mempersiapkan diri untuk bersekolah di Amerika,” kata Azimi. “(Progam-program) itu memperkuat keterampilan akademis saya.”
Cisarua, yang bisa ditempuh kurang dari dua jam dari Jakarta, telah menjadi pusat hunian bagi banyak pengungsi di Indonesia.
Juru bicara badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan kepada VOA, bahwa dari sekitar 12.600 pengungsi dan pencari suaka di Indonesia, sekitar 1.300 di antaranya tinggal di Cisarua.
Para pengungsi mengatakan Cisarua menjadi tempat favorit untuk tinggal karena suhu kota yang lebih sejuk dan biaya hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan Jakarta.
Namun sebagian besar, jika tidak semua, pengungsi berharap bahwa akhirnya mereka bisa dimukimkan kembali di negara ketiga. Badan Pengungsi PBB mengatakan Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Selandia Baru menerima pengungsi dari Indonesia. Namun prosesnya biasanya memakan waktu setidaknya tujuh tahun dan penempatannya tidak dijamin.
Meskipun Indonesia mengizinkan pengungsi untuk mendaftar di sekolah umum, Pusat Pembelajaran Pengungsi Cisarua menawarkan siswanya kesempatan untuk fokus mengasah bahasa Inggris, yang sangat diperlukan jika mereka menetap di negara tersebut.
“Kami berusaha mempersiapkan mereka untuk menghadapi negara berikutnya yang mereka tuju,” kata Reza Hussaini, kepala sekolah, yang juga merupakan pengungsi dari Afghanistan.
Pusat pembelajaran ini menampung para pengungsi yang melarikan diri dari kekerasan atau penganiayaan di negara-negara di Asia dan Afrika, termasuk Yaman, Irak, Sudan, dan Myanmar.
“Kami memiliki siswa dari budaya berbeda, siswa dari agama berbeda, siswa dari negara berbeda,” kata Hussaini. “Ada keragaman budaya di sini.”
Fasilitas di pusat pembelajaran itu sederhana, tidak ada laboratorium sains berteknologi tinggi. Pusat pembelajaran didanai sepenuhnya oleh sumbangan pribadi. Ada juga kelas bahasa Inggris untuk orang dewasa, yang seringkali menarik perhatian orang tua siswa.
Semua guru adalah sukarelawan, dan sebagian besar adalah pengungsi, termasuk seorang pria berusia 39 tahun yang identitasnya disetujui untuk dirahasiakan oleh VOA karena khawatir akan keselamatan keluarganya di negara asalnya, Myanmar.
Dia melarikan diri dari perang saudara di negara itu empat bulan lalu karena junta Myanmar, yang melakukan kudeta pada 2021, akan mengharuskan dia mengikuti wajib militer.
“Mereka (junta) akan memaksa saya berperang untuk militer mereka. Jadi, saya tidak akan melakukannya karena saya tidak akan pernah membantu militer,” ujarnya. Ia memiliki gelar sarjana di bidang ilmu komputer dan berharap mendapat kesempatan mempelajari kecerdasan buatan di negara baru.
Untuk saat ini, ia mengaku menikmati kesempatan untuk berbagi ilmu komputer dan matematika sebagai relawan di Pusat Pembelajaran Pengungsi Cisarua. Sekolah ini dimulai 10 tahun yang lalu dan telah menjadi model bagi program pengungsi serupa yang telah dibuka di tempat lain di Indonesia.
“Semua pengungsi berhak mendapatkan kesempatan untuk mempersiapkan masa depan mereka,” kata Hussaini. [ft/rs]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia