Para pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa Jalur Gaza telah terjerumus ke dalam keadaan anarki, yang menghambat upaya penyaluran bantuan kemanusiaan kepada jutaan warga Palestina yang berada dalam kesulitan.
“Kantor kami telah mendokumentasikan dugaan pembunuhan di luar hukum terhadap polisi setempat dan pekerja kemanusiaan, dan pencekaman pasokan yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup penduduk sipil. Anarki sedang menyebar,” kata Ajith Sunghay, kepala Kantor Hak Asasi Manusia PBB untuk Wilayah Pendudukan Palestina.
Berbicara dari Amman, Yordania, Sunghay, yang baru saja kembali dari kunjungan sembilan hari ke Gaza, mengatakan kepada wartawan di Jenewa bahwa kondisi di sana telah memburuk secara signifikan sejak misi terakhirnya ke wilayah kantong Palestina beberapa minggu lalu.
“Rakyat Gaza sangat menderita. Ini benar-benar membuat putus asa. Sekali lagi, orang-orang berpindah dari utara ke selatan, meskipun mereka melakukan perjalanan dengan kesadaran bahwa hal itu penuh dengan bahaya,” katanya.
“Saya melihat sepeda motor dan trailer berisi barang-barang pribadi terbakar di jalan. Tidak ada siapa-siapa,” ujarnya. “Yang jelas tidak ada seorang pun yang selamat dari serangan itu.”
Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan 503 warga Palestina telah tewas, sebagian besar di Gaza tengah, sejak 12 Juli. Selama periode itu, PBB mengatakan tiga insiden korban massal telah terjadi di berbagai wilayah Gaza, di mana dua sekolah yang dikelola UNRWA diserang. Serangan itu menewaskan hampir 200 orang Palestina dan melukai ratusan lainnya.
“Perintah evakuasi Israel pada 9 Juli, salah satu yang terbesar sejak 7 Oktober (2023), telah memaksa keluarga-keluarga tersebut mengambil pilihan yang mustahil – tetap tinggal di tengah kekerasan aktif atau mengambil risiko melarikan diri ke daerah yang masih menjadi sasaran serangan dan hampir tidak ada ruang atau layanan,” kata Jeremy Laurence, juru bicara Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB.
“Tidak ada tempat yang aman bagi masyarakat di Gaza,” imbuhnya.
Militan Hamas secara brutal menyerang Israel pada 7 Oktober, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 250 orang. Israel membalas serangan Hamas dengan ofensif yang keras. Sekitar 120 sandera masih berada di tangan Hamas di Gaza.
Ajith Sunghay menyebut dampak yang ditimbulkan dapat diprediksi mengingat kurangnya keamanan dan populasi orang muda yang besar, dan bergejolak di Gaza.
“Para pemuda yang punya banyak energi, tidak tahu harus berbuat apa. Kalau penegakan hukum sudah dibubarkan, dalam skenario ini, tentu saja terjadi penjarahan,” ujarnya. “Saat masyarakat kelaparan dan tidak ada penegakan hukum, terjadi penjarahan, terjadi kekacauan, terjadi anarki.”
Dia menekankan bahwa perhatian harus diberikan pada situasi yang “sangat berbahaya.”
“Kami ingin polisi kembali turun ke jalan dan menertibkan di sana,” ujar Sunghay.
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kelompok-kelompok bantuan menuduh Israel menutup sebagian besar penyeberangan perbatasan ke Gaza – dan mencegah pasokan bantuan untuk menyelamatkan nyawa lebih dari 2 juta orang yang sangat membutuhkan.
Pihak berwenang Israel menolak tuduhan tersebut, dengan mengatakan bahwa bantuan menumpuk di perbatasan Gaza dan bahwa PBB tidak mengumpulkan serta mendistribusikan pasokan bantuan di dalam Gaza.
Juru bicara Dana Anak-anak PBB (United Nation’s Children Funds/UNICEF) James Elder tidak termakan dengan argumen tersebut.
“Telah ada dan ada pembatasan yang disengaja atas masuknya bantuan,” katanya, seraya mencatat bahwa pasokan yang masuk ke Gaza hanya melalui “satu jalan,” yaitu penyeberangan Kerem Shalom, dan “hal itu dilakukan dengan sengaja.” [ft]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia